Oleh: Dede Silviana
Mahasiswi STIPAS St. Sirilus Ruteng
Kesetaraan gender, menjadi tema yang masif diperbincangkan dan tentunya bukan
menjadi hal tabu lagi. Bisa dibilang menjadi lagu lama yang diputar berkali-kali oleh pendengarnya. Karena isu ini, memang sudah bersahabat di telinga masyarakat.
Berbagai upaya telah dilakukan dalam memperjuangkan kesetaraan gender, tetapi budaya sepertinya sulit menyikapi fenomena ini. Kesetaraan gender mengalami puncaknya dalam diskriminasi budaya patriarki.
Bagaimana tidak, perempuan selalu dijadikan objek utama tindakan diskriminasi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Budaya patriarki menjadi suatu sistem sosial budaya dengan peran dominan melekat dalam diri laki-laki. Laki-laki dianggap sebagai orang yang bisa diandalkan daripada perempuan baik itu dalam dunia kerja, keluarga maupun situasi sosial lainnya.
Budaya patriarki dapat berfariasi di berbagai kalangan masyarakat dan budaya, tetapi efeknya semua sama. Seperti membatasi hak dan peluang perempuan, maupun juga tetap menghidupkan ketidaksetaraan gender.
Pada dasarnya bahwa budaya patriarki makin langgeng berkembangbiak di tengah masyarakat. Kebebasan perempuan seperti dibelenggu oleh diskriminasi sosial diamanapun mereka berada. Dalam jurnal tentang “Menyoroti budaya Patriarki di Indonesia” mengatakan ada berbagai macam dampak dari budaya patriarki.
Dampak-dampak tersebut seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Kasus pelecehan Seksual, angka pernikahan dini, serta stigma mengenai perceraian.
Budaya Patriarki
Tak bisa dipungkiri semua negara dominan menganut budaya patriarki. Budaya patriarki menempatkan laki-laki pada posisi sentral kekuasaan. Segala sesuatu pasti dikaitkan dengan laki-laki. Dari berbagai artikel jurnal menyoroti tentang budaya patriarki yang sangat membelenggu ruang gerak perempuan.
Indonesia menganut sistem bilateral tetapi sekaligus juga patriarkal, sehingga dengan sendirinya martabat perempuan direndahkan karena ada stigma bahwa perempuan adalah makhluk lemah yang kedudukannya adalah dibelakang kaum lelaki.
Dengan kata lain, perempuan tidak lebih tinggi dari laki-laki. Sistem patriarkal juga bukan hanya dianut negara berkembang tetapi juga dianut oleh negara-negara maju seperti Amerika. Bertolak dari sistem kepemimpinan di dunia, hampir jarang ada perempuan yang menjadi kepala negara kecuali negara yang menganut sistem kerajaan seperti Inggris, Spanyol, Swedia dan lain-lain.
Negara-negara ini menganut sistem pemerintahan monarkhi atau kerajaan, yang pemimpinnya adalah seorang raja atau ratu. Di Indonesia, hanya kali saja, sistem kepemimpinan negara yang dikepalai oleh perempuan, begitu pula negara-negara lainya.
Amerika sekalipun belum ada perempuan yang menjadi kepala negaranya, demikian juga dengan negara-negara lainnya. Fenomena ini memberikan pemahaman bahwa memang kaum perempuan dianggap tidak mampu untuk menjalankan perannya secara optimal karena stigma-stigma tentang perempuan dalam budaya patriarki masih melekat kental.
Dampak-dampak dari budaya patriarki sudah pasti adalah ketidaksetaraan gender,
subordinasi yang menganggap bahwa laki-laki selalu dan pasti lebih unggul dari perempuan. Selain itu, stereotip terhadap perempuan dengan stigma yang muncul bahwa perempuan identik dengan tiga hal yaitu sumur, dapur, dan kasur.
Marginalisasi terhadap perempuan dalam
berbagai aspek, misalnya aspek ekonomi perempuan seakan terpinggirkan dan identic dengan kemiskinan. Karena sering dibatasi ruang geraknya, perempuan sering dibatasi ruang kerjanya dan pastinya juga ruang kerjanya terbatas.
Dampak yang lain juga yang ditimbulkan yaitu beban ganda yang terima perempuan. Perempuan sekalipun lemah seperti perspektif budaya patriarki, tetapi perempuan juga memiliki beban ganda. Dalam artian bahwa perempuan lebih banyak tanggungan kerjaan daripada laki-laki. Perempuan sangat fleksibel dalam bekerja.
Perempuan bisa melakukan banyak pekerjaan dalam setiap aktifitasnya. Contohnya saja dalam rumah tangga. Segalah pekerjaan mengurus rumah tangga sudah pasti tanggungannya adalah pada perempuan. Perempuan sejatinya diciptakan untuk bisa menahan misteri.
Perempuan bisa menahan segala beban
pekerjaannya dalam dirinya sendiri. Dari sekian banyak dampak, yang paling disayangkan adalah banyaknya kekerasan atau KDRT yang diterima perempuan.
Sungguh sangat disayangkan bahwa hanya karena perempuan dianggap lemah, maka segala diskriminasi dan kekerasan selalu mereka terima bahkan sampai pada era modern ini. Seakan hal ini sudah menjadi takdir mereka.
Berdasarkan data laporan komnas perempuan per 27 Januari 2022, media sosial kembali digemparkan dengan banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.
Tercatat periode tahun 2015-2022 ada sekitar 51 kasus pelecehan seksual yang terjadi. Fenomena yang mengegerkan dunia pendidikanjuga terjadi pada tahun 2022 terjadi kasus pemerkosaan pada belasan santriwati di Bandung. Trauma dan luka mendalam pastinya sangat dirasakan oleh pihak korban dan keluarganya.
Bergeser ke aspek regional, Manggarai sudah pasti sangat dominan dengan budaya patriarki baik secara eksplisit maupun implisit. Semisalnya saja, pada saat melahirkan, sebutan “ata pe,ang dan ata one” secara tidak langsung menggambarkan diskriminasi terhadap
perempuan.
“Ata pe,ang “identik dengan sebutan untuk perempuan, sedangkan “ata one” sebutan yang identic dengan laki-laki. Ata peang memiliki makna bahwa, kelak yang berhak
mendapatkan warisan dari orangtua atau yang menduduki rumah orangtua adalah pihak laki-laki. Sedangkan perempuan dianggap sebagai pihak yang keluar, dan tidak mendapatkan warisan dari orangtua.
Praktik budaya patriarki lainnya dalam kebudayaan Manggrai yaitu, pada setiap
moment acara-acara adat, perempuan selalu idnetik dengan pertahanan belakang.
Perempuan selalu diposisikan dibelakang. Dalam setiap pengambilan keputusan baik sebelum dan setelah acara, perempuan jarang dilibatkan untuk berpendapat. Inilah sebenarnya praktik kebudayaan yang menjurus pada perendahan martabat perempuan di Manggarai.
Dalam situasi makan pada setiap acara, porsi makan yang istimewa dihidangkan untuk laki-laki. Sedangkan perempuan
terkadang menunggu makanan sisa dari laki-laki. Padahal kalau dipikir-pikir, Kesehatan terutama harus diberikan kepada perempuan.
Atensi Kesehatan penuh harus diutamakan
kepada perempuan harus diberikan kepada perempuan karena perempuan ibaratnya adalah ibu bumi. Ibu pemberi kehidupan. Tanpa dia, bagaimana kehidupan dapat terlaksana, bagaimanakah kesehatan anak terjaga kalau ibunya saja kurang asupan. Inilah sebenarnya fenomena praktik-praktik budaya patriarki di Manggarai yang mendiskriminasi perempuan.
Implikasi Kejadian 1:26: Mengubah Diskriminasi Menjadi Inklusi
Dalam agama-agama, tema sentral tentang manusia selalu menjadi garda terdepan. Mengingat bahwa manusia sebagai persona yang bermartabat luhur, berakal budi, berhati nurani, dan berkehendak bebas. Begitupun dalam agama katolik, ajaran tentang martabat manusia terus dicanangkan.
Dokumen-dokumen gereja tuurut memberikan kontribusi besar dalam hal pemenuhan martabat manusia. Dalam dokumen gereja, Dignititas Humanae art 5 secara eksplisit menjelaskan manusia secara peribadi bermartabat: “martabat pribadi manusia semakin disadari oleh manusia zaman kita sekarang.
Bertambahlah juga jumlah mereka yang
menuntut, supaya dalam bertindak manusia sepenuhnya menggunakan pertimbangannya sendiri serta kebebasannya yang bertanggung jawab, bukannya terdorong oleh paksaan, melainkan karena menyadari tugasnya.
Begitu pula mereka menuntut supaya wewenang pemerintah dibatasi secara yuridis, supaya batas-batas kebebasan yang sewajarnya, baik pribadi maupun kelompok-kelompok jangan dipersempit.
Gaudium et spes art 27 turut memberi sumbangsih penghargaan terhadap martabat manusia: Terutama pada zaman kita sekarang ini mendesak kewajiban menjadikan diri kita sendiri sesama bagi setiap orang, siapa pun dia itu, dan bila ia datang melayaninya secara aktif, entah ia itu orang lanjut usia yang sebatang kara, entah tenaga kerja asing yang dihina tanpa alasan, entah seorang perantau, atau anak yang lahir dari hubungan haram dan tidak sepatutnya menderita karena dosa yang tidak dilakukannya, atau orang lapar yang menyapa hati nurani kita seraya mengingatkan sabda Tuhan: “Apa pun yang kamu jalankan terhadap salah seorang saudara-Ku yang hina ini, kamu perbuat terhadap Aku” (Mat 25:40).
Dengan demikian, melihat fenomena yang terjadi, sebenarnya gereja tidak berdiam diri. Ia turut berkontribusi dalam memberikan sumbangsih nilai-nilai moral terkait dengan budaya patriarki, seperti yang tertuang dalam dokumen-dokumen gereja dan juga aksi caritas sosial gereja.
Ditinjau dari aspek biblis teologis, ajaran Kitab Suci yang mendobrak diskriminasi
terhadap perempuan dalam praktik budaya patriarki, salah satunya ada dalam kitab kejadian 1:26.
Kitab ini dengan vokal menyuarakan bahwa manusia baik laki-laki maupun diciptakan
menurit gambar dan rupa Allah. Dengan kata lain, manusia secitra dengan Allah. Ketika mereka secitra dengan Allah, maka manusia pun seharkat dan semartabat sebagai makhluk yang mulia dihadapan Tuhan.
Gagasan ini hendak menegaskan kepada kita tentang pentingnya menghargai martabat manusia, memeperlakukan manusia secara adil tanpa memandamg jenis kelamin, adat kebudayaan, sosial, ekonomi ras dan agama.
Sebagai citra Allah kita hendaknya saling
mengasihi sebagaimana Allah itu sendiri adalah kasih yang menjadikan kita semua sebagai bagian dari ciptaan-Nya yang mulia dan paling istimewa.
Kejadian 1:26 memberikan implikasi bahwa manusia: Seharkat dan semartabat sebagai
satu ciptaan yang paling mulia. Ketika sudah semartabat, maka tidak ada lagi yang Namanya diskriminasi satu terhadap yang lainnya. Baik perempuan terhadap laki-laki ataupun sebaliknya.
Hal lain juga yaitu tidak ada lagi stigma yang menomorduakan perempuan yaitu perempuan harus diberi ruang bebas untuk berekspresi sebagaimana mestinya. Perempuan bukan pribadi tunggal yang harus ditinggal dan dan diperlakukan sewenang-wenang.
Implikasi kejadian 1:26 dalam mengubah diskriminasi menjadi inklusi budaya patriarki tidak secara eksplisit dan sepenuhnya menghapus segalah bentuk diskriminasi tetapi justru memperkuatnya sebagai suatu inklusi. Implikasi dari gagasan kejadian 1:26 lebih menekankan pada upaya kesetaraan gender.
Ketika semua manusia sudah segambar da secitra dengan Allah, maka tidak ada alasan lain untuk melakukan diskriminasi atau mendiskriminasikan salah satu gender. Inilah sebenarnya yang membuat kita tersadar bahwa struktur sosial harus dirombak menuju kebaikan bersama. Kajian kejadian 1:26 bukan bermaksud untuk menghilangkan praktik budaya patriarki seutuhnya.
Tetapi lebih kepada kontribusi kita untuk perlahan dan tersistem untuk mengubah sistem sosial dan menggangtinya dengan sistem-sistem yang mengutamakan kesetaraan martabat dnegan menghargai setiap keunikan manusia tanpa harus membatasi ruang gerak masing-masing terlepas dari perbedaan jenis kelamin.
Narasi yang ada dengan mengubahnya, harus didukung dengan budaya yang mensuport adanya inklusi. Hal ini berarti turut memeberikan perempuan akses yang sama seperti laki-laki baik itu dalam pekerjaan, pendidikan, pengmbilan setiap keputusan serta aspek-aspek yang lain yang tidak mendiskriminasi perempuan.
Keragamaan perspektif dalam mengupayakan kesetaraan gender dapat bermanfaat penuh bukan hanya bagi perempuan semata tetapi kepada semua masyarakat. Kembali kepada aksi nyata bahwa, hal ini tidak mudah, mengubah secara serempak budaya yang sudah melekat kental dalam masyarakat.
Diperlukan upaya ekstra serta kolaborasi dari berbagai pihak untuk terus menumbuhkan kesadaran akan urgennya mengutamakan kesetaraan gender. Pendidikan menjadi lembaga penting dalam menumbuhkan kesadaran ini.
Pecahnya siklus diskriminasi, merupakan konsekuensi logis dari edukasi, advokasi, dan dialog terbuka yang terus dicanangkan, diimplementasikan dan diwujudnyatakan kepada setiap generasi. Dengan demikian, reduplikasi kejadian 1:26 dapat menjadi pedoman kuat dan dorongan reformasi yang menjadi alat bantu kontradiksi tindakan diskriminasi menuju inklusi budaya patriarki.
Menghargai dan mengakui martabat mulia setiap individu dapat membangun kondisi masyarakat yang produktif, inovatif, dan harmonis serta berkeadilan sosial.