Ruteng, Vox NTT – Marselinus Damat, kontraktor di Manggarai akhirnya melayangkan gugatan wanprestasi kepada Bupati Manggarai, Herybertus Geradus Laju Nabit di Pengadilan Negeri (PN) Ruteng.
Nabit selaku tergugat I, digugat Marsel karena enggan membayar uang sisa pengerjaan revitalisasi Pasar Rakyat Rejeng/Ketang di Desa Ketang, Kecamatan Lelak senilai Rp72 juta lebih.
Proyek revitalisasi pasar tersebut bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2019 senilai Rp817.488.090.00 dengan nomenklatur dana Tugas Pembantuan (TP).
Kasus ini bermula ketika pada Agustus 2019 lalu, Marsel menandatangani kontrak dengan empat jenis item pengerjaan Pasar Rakyat Rejeng, yakni los pasar, kios, WC dan tempat sampah.
Batas kontrak pengerjaan tersebut sampai pada 15 Desember 2019 sesuai dengan tahun anggaran.
Namun, dalam perjalanan waktu pekerjaan Marsel mengalami hambatan teknis kendati pengerjaannya sudah mencapai 95 persen.
Akibat hambatan teknis itu pengerjaannya melewati batas kontrak, padahal tinggal sedikit lagi hampir selesai.
Setelah mengetahui pengerjaannya tak sesuai batas kontrak, ia pun berinisiatif mendekati Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk berkomunikasi “apakah revitalisasi Pasar Ketang ini dilanjutkan atau tidak, sementara pembangunan sudah 95 persen.”
Karena itu sesuai dengan prosedur yang termuat dalam Perpres, Marsel dan PPK harus menambah kalender kerja selama 50 hari. Akan tetapi sesuai kesepakatan, Marsel hanya diberi kebijakan sampai 30 hari kerja saja, bukan 50 hari.
Marsel pun langsung melanjutkan pengerjaannya sampai selesai tuntas 100 persen di akhir Januari tahun 2020.
Kemudian setelah selesai kerja, proyek tersebut di-PHO pada 10 Februari 2020. Saat itu ada PHO fisik dan PHO administrasi, mulai dari pembayaran pajak hingga galian C.
Kendati sudah di-PHO anggaran yang dicairkan bukan 100 persen tetapi hanya 95 persen dengan jaminan masa pemeliharaan selama setahun ke depan.
Dari dana 95 persen itu juga ada potongan dana retensi tiap pencairan, yakni sebesar 5 persen.
“Jadi saya punya uang yang masih tertahan di pemerintah sebesar 5 persen lalu ditambah dengan 5 persen fisik, jadinya 10 persen. Kalau 10 persen itu dikonversikan ke pagu anggaran jadinya 72 juta lebih. Itulah uang saya yang belum dibayar pemerintah,” jelas Marsel.
Kelamaan menunggu pencarian 5 persen yang menjadi haknya, Marsel pun langsung berkomunikasi dengan Kepala Dinas Koperasi, Usaha Kecil Menengah dan Tenaga Kerja Kabupaten Manggarai yang saat itu masih dipimpin Ansel Aswal.
Marsel menuntut hak 5 persen yang belum dicairkan. Tetapi jawaban Ansel Aswal saat itu pihaknya harus menyurati Kementerian karena ini dana APBN.
“Bersuratlah mereka ke Kementerian. Akhirnya turunlah berita acara dari sana yang isinya penyerahan aset. Jadi aset Pasar Ketang yang dibangun pakai APBN itu resmi diserahkan ke pemerintah daerah dan menjadi aset tetap. Itu lengkap berita acaranya di mereka,” pungkas Marsel.
Setelah beberapa tahun Pasar Ketang dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah Manggarai, uang Marsel tak kunjung dibayarkan.
Kepada VoxNtt.com belum lama ini, Marsel mengaku bahwa Bupati Nabit lalai dan ingkar janji dengan tidak melakukan pembayaran sisa pekerjaan revitalisasi Pasar Rakyat Ketang kepadanya.
Padahal legalitas pembayaran itu sudah termuat dalam keputusan Bupati Manggarai Nomor: DPPA/A.2/2.170.00.01.0000/001/2023 tentang Dokumen Pelaksanaan Anggaran Perangkat Dinas Koperasi, UKM dan Tenaga Kerja Kabupaten Manggarai.
Dalam DPPA itu, kata Marsel, menunjukan cukup tersedia anggaran untuk melakukan pembayaran sisa pekerjaan proyek APBN revitalisasi Pasar Rakyat Ketang senilai Rp72 juta lebih. Akan tetapi sampai tahun 2024 ini belum ada realisasinya.
Selain sudah ada dalam DPPA, dasar pembayaran itu juga tertuang dalam surat Perihal Hibah Barang Milik Negara Perolehan Dana Tugas Pembantuan dari Sekretaris Kementerian Koperasi Republik Indonesia, Arif Rahman Hakim untuk Kepala Dinas Penanaman Modal, Koperasi, Usaha Kecil Menengah dan Tenaga Kerja Kabupaten Manggarai, pada 19 Januari 2022 lalu.
Isi surat tersebut meminta Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai melalui Dinas Penanaman Modal, Koperasi, Usaha Kecil Menengah dan Tenaga Kerja agar pembayaran revitalisasi Pasar Rakyat Ketang dapat diselesaikan melalui mekanisme APBD.
Mekanisme pembayaran itu dilakukan melalui APBD karena Kementerian Koperasi Republik Indonesia sedang mengalami kekurangan dana saat itu.
Dasar hukum lain yang dipakai Marsel adalah surat DPPA yang dikeluarkan oleh Badan Anggaran DPRD Manggarai bernomor 01/PPK/TP/DPMKU/2019/V/2023. Dalam surat itu uang sisa kontraktor dapat dibayar melalui APBD.
Saat ini Pasar Rakyat Ketang itu juga sudah diserahkan secara resmi oleh Kementerian Koperasi Republik Indonesia kepada Pemerintah Kabupaten Manggarai untuk dijadikan aset daerah. Jadi, pasar tersebut sekarang menjadi aset Pemda Manggarai kendati dibangun pakai dana APBN.
Merujuk beberapa dasar hukum tersebut, Marsel kemudian melayangkan gugatan wanprestasi untuk Kepala Dinas Penanaman Modal, Koperasi Usaha Kecil Menengah dan Tenaga Kerja Kabupaten Manggarai, Frederikus Inasio Jenarut yang selanjutnya disebut tergugat II dan Pejabat Pembuat Komitmen, Bonevasius Bunduk yang selanjutnya disebut tergugat III.
Keduanya ikut digugat dalam kapasitas mereka sebagai penanggung jawab pembayaran proyek.
Marsel berkata, gugatan wanprestasi itu terdaftar di Kepaniteraan PN Ruteng dengan Register Surat Kuasa Nomor: SK.Pdt/VI/2024/PN.Rtg, memberi kuasa kepada tiga orang pengacara, yakni Fransiskus Ramli Boy Koyu, selaku ketua bersama Syuratman dan Yeremias Odin, selaku anggota.
Saat ini, kata Marsel, sidang gugatan itu sudah masuk ke tahap pembuktian saksi.
“Gugatannya terdaftar di Kepaniteraan dan saat ini sidangnya sudah sampai ke tahap pembuktian saksi,” ujar Marsel di kediamannya.
Lebih lanjut pria yang juga diketahui sebagai Perseroan Komanditer CV Karisma Mulya Abadi itu menjelaskan, dalam gugatan wanprestasi termuat gugatan ganti rugi materil.
Gugatan ganti rugi materil itu sesuai dengan pengeluaran Marsel sejak 2023 yang jika dihitung dengan jumlah bunga maka bisa mencapai senilai Rp100 juta lebih.
Jadi dalam gugatan wanprestasinya Marsel menuntut tergugat membayar seketika sekaligus dengan jumlah Rp100 juta lebih.
Ia menambahkan, gugatan tersebut dilakukan sebagai upaya lanjutan untuk menuntut haknya yang wajib dipenuhi oleh para tergugat.
Sebab, ia sudah berupaya untuk melakukan pendekatan secara persuasif sejak tahun 2023, meminta para tergugat untuk melakukan pemenuhan pembayaran, namun tidak dihiraukan.
Marsel mengaku berulang kali mendatangi dan meminta secara persuasif agar para tergugat segera melakukan pemenuhan pembayaran sesuai isi kontrak dan adendum, namun tetap saja diabaikan.
Tak berhenti di situ, Marsel berupaya dengan cara lain, yakni dengan mengirimkan surat somasi pertama dan terakhir sebagai teguran keras agar para tergugatg segera melakukan pemenuhan pembayaran, namun teguran keras itu lagi-lagi tidak dihiraukan.
Karena tak dihiraukan, Marsel pun langsung menempuh jalur hukum dengan mengajukan gugatan wanprestasi ke PN Ruteng untuk diselesaikan.
Bagi Marsel, menggugat ke pengadilan adalah cara terbaik agar lebih bisa dihormati oleh para tergugat.
Selain itu, keputusan menggugat ke pengadilan bermaksud untuk mencegah agar persoalan ini tidak berlarut-larut dan mencegah timbulnya kerugian yang lebih besar.
“Cara terbaik yah ke pengadilan, sebab berbagai pendekatan sudah dilakukan, somasi hingga teguran keras juga sudah dilayangkan, tetapi tetap masa bodoh,” ungkap Marsel.
Sementara itu, Kepala Dinas Koperasi UKM dan Tenaga Kerja, Frederikus Inasio Jenarut mengklaim bahwa alasan yang menyebabkan mereka enggan membayar karena tidak adanya dasar hukum.
Sebab, kata dia, proyek ini adalah proyek pusat, sehingga jalan yang diambil kemarin adalah minta pemeriksaan khusus oleh Inspektorat dan hasil pemeriksaan inspektorat, tidak ada dasar untuk pembayaran, karena bukan utang daerah.
“Sehingga, saya punya kesimpulan terakhir yang saya tidak bisa mengajukan pembayaran karena kalau saya bayar tanpa dasar maka saya bisa kena, karena ada kerugian negara membayar sesuatu yang tidak ada dasarnya,” kata Jenarut.
Ia tidak melakukan penyanggahan terhadap dasar hukum yang dipakai Marsel dalam menggugatnya ke pengadilan. Hal tersebut menurutnya, menjadi hak Marsel dalam menuntut hak, namun Pemda juga tidak punya dasar hukum untuk membayar.
Terkait salah satu dasar hukum yang tertuang dalam surat dari Kementrian Koperasi untuk dirinya, Jenarut tidak membantah hal tersebut. Tapi, ia masih koreksi dengan kata “dapat” yang tertuang dalam surat itu.
“Di dalam surat itu kan tertulis “Dapat Dibayarkan Melalui APBD. Kata Dapat ini tdk bisa dipakai sebagai kepastian hukum, sehingga kalau tidak dapat dibayarkan maka tidak bisa to,” jelas Jenarut.
Soal anggaran yang sudah dianggarkan melalui DPPA, ia bilang, “itu bisa dikembalikan ke kas negara karena belum dipakai.”
“Kan hanya dianggarkan to, uangnya belum dipakai, maka itu kembali ke kas negara,” katanya.
Kontributor: Berto Davids