Oleh: Rosfila Sinar
Mahasiswi STIPAS Santo Sirilus Ruteng
Dalam ajaran iman Katolik, manusia dipandang sebagai ciptaan ilahi yang unik, yang diberkati dengan keistimewaan, dan yang diciptakan menurut Gambar dan rupa Allah.
Dalam keagungan-Nya, Tuhan menciptakan manusia dengan cinta dan kehendak sendiri, memberikan martabat yang tak ternilai kepada setiap individu.
Hal ini menegaskan bahwa setiap individu memiliki potensi untuk mencerminkan sifat-sifat ilahi seperti kasih, keadilan, kebenaran dan kreativitas.
Namun kenyataannya bahwa kehidupan manusia sedang tidak baik-baik saja. Manusia sedang mengalami krisis moral. Manusia terlalu serakah terhadap ciptaan Allah lainnya, bahkan terhadap sesama manusia.
Hal ini dapat dibuktikan dengan munculnya masalah-masalah yang perendahan martabat manusia. Di mana manusia bukan lagi makhluk yang istimewa lagi di hadapan sesama manusia.
Salah satu contoh masalah yang sering terjadi adalah masalah kekerasan dalam rumah tangga.
Masalah ini bukan lagi masalah yang baru terjadi tetapi masalah ini sudah lazim terjadi dalam kehidupan rumah tangga.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan salah satu bentuk kekerasan yang terjadi dalam lingkungan rumah tangga antara anggota keluarga atau pasangan.
KDRT termasuk perilaku yang merugikan, mengancam, melukai fisik, emosional dan psikologi dari satu anggota keluarga oleh anggota keluarga lain.
Masalah KDRT bukanlah masalah yang baru terjadi. Tetapi, masalah kekerasan dalam rumah tangga sudah mendarah daging dalam kehidupan berumah tangga.
Masalah KDRT ini bukan hanya di lakukan oleh laki-laki saja melainkan ada juga perempuan yang melakukan kekerasan terhadap suaminya. Tetapi yang lebih dominan pelaku KDRT yang di lakukan oleh laki-laki terhadap istrinya.
Menurut Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Indonesia, kasus KDRT di Indonesia masih cukup tinggi. Data dari lembaga-lembaga sosial dan kepolisian menunjukkan bahwa kasus KDRT cendrung meningkat dari tahun ke tahun.
Adapun beberapa penyebab atau faktor risiko KDRT meliputi ketimpangan kekuasaan dalam hubungan, stereotip gender, ketidaksetaraan sosial dan budaya yang memperkuat norma kekerasan.
Stigma terhadap korban adalah rendahnya kesadaran tentang hak-hak perempuan, serta ketidakmampuan sistem hukum dalam menangani kasus KDRT juga menjadi penyebab utama.
Dampak dari KDRT memberikan dampak serius pada korban seperti cedera fisik, trauma psikologi, ganguan mental dan isolasi sosial.
Berdasarkan data dari Komnas Perempuan menunjukan bahwa jumlah kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan pada tahun 2021 mencapai 338.496 kasus.
Sementara itu, KemenPPPA menerima sebanyak 16.899 aduan kasus kekerasan rumah tangga sepanjang tahun 2022. Jumlah korban, dengan perempuan mendominasi angka korban dengan jumlah 2.397 korban.
Data ini menunjukan bahwa KDRT merupakan masalah serius di Indonesia. Banyak kasus KDRT yang tidak di laporkan sehingga angka sebenarnya mungkin jauh lebih tinggi.
Peningkatan kasus KDRT menandakan perlunya upaya preventif dan penanganan yang efektif untuk melindungi korban dan mencegah terjadinya kekerasan di masa depan baik dari pemerintah maupun dari Gereja.
Berdasarkan masalah ini adapun beberapa tindakan penanggulangan dari pihak pemerintah Indonesia di antaranya pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai program perlindungan dan pencegahan KDRT, termasuk penyediaan layanan konseling, pengadilan keluarga, tempat perlindungan dan pelatihan bagi petugas penegak hukum.
Selain itu, organisasi non-pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat juga aktif dalam memberikan dukungan kepada korban KDRT dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang isu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Selain pemerintah, Gereja juga hadir untuk menanggapi atas masalah yang terjadi. Karena itu melalui ajaran sosial Gereja, Gereja hadir dan berusaha untuk menjawabi semua tantangan dan persoalan itu melalui dokumen-dokumen Gereja.
Ajaran sosial Gereja Katolik telah lama menjadi panduan moral bagi umatnya dalam memandang dan bertindak terhadap isu-isu sosial yang kompleks.
Konsep kebangkitan manusia yang holistik, yang melibatkan pertumbuhan emosional, intelektual dan fisik, sejalan dengan ajaran sosial Gereja yang menekankan pentingnya menghormati setiap manusia sebagai ciptaan Tuhan.
Hal ini di tegaskan dalam beberapa dokumen Gereja. Dalam dokumen Centesimus Annus” adalah sebuah Ensiklik Kepausan yang di keluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 1 mei 1991.
Ensiklik ini dipublikasikan dalam rangka
peringatan 100 tahun dari Ensiklik yang terkenal “Rerum Novarum” karya Paus Leo XIII yang membahas masalah buruh dan hak-hak sosial pada tahun 1891.
Dalam Centesimus Annus Paus Yohanes Paulus II membahas berbagai isu sosial, ekonomi dan politik. Ensiklik ini juga menyoroti nilai-nilai keadilan sosial, martabat manusia, subsidiaritas dan peran negara dalam masyarakat.
Ensiklik ini memang tidak membahas secara khusus tentang kekerasan dalam rumah tangga. Tetapi melalui ajaran ini, Gereja Katolik menentang segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan dalam berumah tangga.
Gereja Katolik mengajarkan nilai-nilai kasih, pengampunan kesetiaan dan hormat dalam hubungan antar individu termasuk kekerasan dalam rumah tangga dianggap dianggap melanggar prinsip-prinsip ini dan bertentangan dengan ajaran moral Gereja.
Gereja Katolik mendorong perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, memberikan dukungan kepada mereka yang terkena dampaknya dari KDRT dan mempromosikan kesadaran akan pentingnya menciptakan lingkungan yang aman, penuh kasih dan saling menghormati dalam keluarga.
Selain itu dalam dokumen “Amoris Laetitia” yang di keluarkan oleh Paus Fransiskus pada tahun 2016 yang membahas berbagai aspek kehidupan keluarga termasuk tantangan-tantangan yang dihadapi oleh keluarga modern, peran orangtua pendidikan anak-anak, persiapan pra nikah dan isu-isu moral seperti perceraian, kontrasepsi dan kehidupan keluarga yang sehat.
Dalam dokumen ini, Paus Fransiskus menekankan pentingnya cinta dalam keluarga, kesetiaan dan komitmen dalam hubungan suami istri.
Amoris Laetitia juga memberikan pandangan pastoral yang mendalam tentang kehidupan keluarga dan menekankan perlunya pendekatan yang sensitif dan penyayang terhadap berbagai situasi yang di hadapi oleh keluarga dalam masyarakat modern.
Dokumen ini juga menyoroti pentingnya memahami kondisi nyata keluarga saat ini dan memberikan dukungan pastoral yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Amoris Laetitia juga mengajarkan tentang nilai-nilai kasih dan pengampunan dan pengertian dalam konteks hubungan keluarga dan menekankan pentingnya membangun keluarga yang kokoh dan penuh cinta.
Ajaran sosial Gereja yang berakar pada ajaran kitab suci dan tradisi gereja, di mana ajaran sosial Gereja mengajak kita untuk melihat bahwa setiap orang sebagai citra Tuhan memiliki nilai dan hak yang sama di hadapan Tuhan, dan siapapun tidak dapat direndahkan.
Oleh karena itu ajaran sosial Gereja mengajak kita untuk memahami kesejahteraan manusia tidak hanya mencakup aspek material, tetapi juga spiritual, mental dan sosial.