Oleh: Mateus Karmilus
Mahasiswa STIPAS St. Sirilus Ruteng
Beberapa bulan belakangan ini, jagat kembali heboh menyambut pesta demokrasi dengan percaturan politik dalam rangka pemilihan gubernur dan bupati.
Masing-masing partai politik berlomba-lomba memporakporandakan gaungan suara kepemimpinan, baik melalui kampanye langsung maupun promosi paslon dalam bentuk visualisasi.
Namun, rupanya pelaksanaan yang demikian justure diboncengi oleh beberapa isu pelanggaran, seperti netralitas, data pemilihan tetap, dan money politic.
Gerakan semacam ini rupanya tidak luput dari pesta rakyat yang akan datang ini. Salah satu isu krusial yang paling diminati khalayak umum adalah praktik membagi-bagi uang atau money politic.
Hasil survei Indikator Politik Indonesia yang dirilis usai pencoblosan Pileg 2024, pada 14 Februari 2024 menyebut, ada 35 persen responden yang menentukan pilihannya karena uang di Pemilu 2024. Pada Pemilu 2019, kelompok pemilih ini hanya 28 persen.
Survei ini dilakukan di 3 ribu tempat pemungutan suara (TPS). Sebanyak 2.975 responden yang dipilih dengan stratified two stage random sampling. Wawancara responden dilakukan dengan tatap muka. Margin of eror sekitar 1,8 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.
Tindakan membeli suara menjadi sebuah tren yang hidup di tengah perpolitik kita saat ini, bahkan subur dipelihara.
Politik uang bahkan tidak saja bergerak di putaran membeli suara, menjanjikan materi tertentu maupun memberi sumbangan terhadap suatu komunitas, tetapi berpengaruh besar terhadap seluruh dinamika pemilihan, seperti proses perhitungan hasil pemilu maupun proses rekapitulasi data akhir pemilihan.
Pelanggaran berupa money politic dapat mencederai demokrasi serta esensi politik yang sesungguhnya.
Selain itu praktik politik uang juga membatasi hak masyarakat untuk memilih dan mempertimbangkan kualifikasi pasangan calon dengan alasan hak suara yang telah dibeli dengan uang.
Rupanya agenda ini cukup kejam untuk pemilih pemula, karena sejak dini sudah menanamkan konsep politik uang sebagai suatu hal yang menguntungkan.
Politik hadir dengan wajah ganda di tengah-tengah kehidupan masyarakat, mendestruksi konsep awal politik itu sendiri.
Penyelenggaran pemilu yang bersih merupakan sebuah tanda wajah peradaban suatu negara. Hal ini mau mempertegas bahwa pemilu bukan hanya sebagai jembatan untuk mensuksesi kekuasaan dari golongan dan kepentingan tertetu, tetapi gambaran wajah peradaban suatu negara yang kredibel atas hasil pemilihan yang bersih dan jujur.
Maka, perlu diusahakan proses penyelenggaraan yang didasarkan pada nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi masyarakat.
Sejauh ini praktik membeli suara masih menjadi tren, namun apakah kita membatasi diri untuk keluar dari cara pikir serta praktik demoralisasi ini?
Tentu banyak hal yang bisa dilakukan untuk memperbaiki strukturalisasi demokrasi kita saat ini, dan cukup menyita waktu serta proses yang lama dalam menemukan penangan yang tepat untuk membentengi strategi pemutusan mata rantai politik uang.
Maka, perlu diupayakan sebuah gerakan anti politik uang yang dimulai dari kelompok dan unit kecil masyarakat, terutama langkah antisipatif atau pertolongan segera bagi pemilih baru.
Pemilih baru menjadi tonggak untuk membantu proses perbaikan sistem dan tatanan politik kita.
Pertolongan segara ini dapat dilakukan dengan mensosialisasikan pendidikan politik serta praktik-praktik politik yang asli.
Pemilih baruu menjadi sarat atau tolak ukur kemajuan dari setiap usaha-usaha.
Seperti kata-kata Soekarno “berikan aku sepuluh pemuda, maka akan ku guncang dunia ini”.
Kutipan ini menerangkan posisi pemuda yang strategis dalam membantu peradaban dan kemajuan bangsa.
Pemuda merupakan tokoh paling sentral untuk memulihkan bangsa Indonesia. Mari kita pulihkan citra politik kita dengan mengatakan, “stop politik uang!”