Ruteng, Vox NTT – Advokat dan dosen hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Tama Jagakarsa, Jakarta, Dr. Edi Hardum menduga pihak Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) Kabupaten Manggarai menerima pesanan bahkan sogokan dari pihak tertentu untuk menaikkan penyelidikan ke penyidikan kasus dugaan kampanye hitam dari Maksi Ngkeros, salah satu calon bupati Manggarai periode 2024 – 2029.
“Saya menduga mereka terima pesanan dari pihak tertentu untuk merusak nama bahkan menggagalkan Maksi Ngkeros menang Pilkada. Hal seperti ini harus dilawan. Saya juga meminta Polres Manggarai agar SP3-kan kasus tersebut,” kata Edi, Jumat, 25 Oktober 2024.
Edi mengatakan seperti itu ketika diminta pendapatnya mengenai kasus yang diduga melakukan kampanye hitam oleh Maksi Ngkeros saat kampanye terbuka ajak warga Rampasasa, Kecamatan Wae Ri’i beberapa waktu lalu.
Dugaan Edi bukan tanpa alasan. Pertama, kata dia, pemilihan kepala daerah yakni gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi UU.
“Dalam UU ini tidak diatur secara jelas mengenai kampanye Pilkada terutama mengenai kampanye hitam dan kampanye negatif,” kata dia.
Aturan kampanye Pilkada diatur secara jelas pada Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2024 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
”Hanya kelemahan dalam Peraturan KPU ini tidak mengatur ketentuan sanksi baik administratif maupun pidana bagi yang melanggar,” kata Edi.
Dalam Peraturan KPU itu juga tidak diatur secara eksplisit soal kampanye hitam atau black campaign.
Pasal 57 ayat (1) Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2024 berbunyi,”Dalam Kampanye dilarang: (a) mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (b) menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon gubernur, calon wakil gubernur, calon bupati, calon wakil bupati, calon wali kota, calon wakil wali kota, dan/atau partai politik; (c) melakukan kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba partai politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat; selanjutnya poin (d) melarang menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan, atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada perseorangan, kelompok masyarakat, dan/atau partai politik; (e) mengganggu keamanan, ketenteraman, dan ketertiban umum; (f) mengancam dan menganjurkan penggunaan kekerasan untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan yang sah; (g) merusak dan/atau menghilangkan alat peraga Kampanye; (h) menggunakan fasilitas dan anggaran pemerintah dan pemerintah daerah; (i) menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan; (j) melakukan pawai yang dilakukan dengan berjalan kaki dan/atau dengan kendaraan di jalan raya; dan/atau (k) melakukan kegiatan kampanye di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
“Peraturan KPU itu tidak mengatur sanksi baik sanksi pidana maupun administratif. Kalau demikian mengapa Gakkumdu Manggarai menaikkan status kasus naik ke penyidikan? Karena itu saya menduga mereka terima pesanan atau dijanjikan sesuatu,” tegas Edi.
Ia mengatakan, Gakkumdu Manggarai sepertinya memakai UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. “Jelas ini salah,” tegas Advokat dari kantor hukum “Edi Hardum and Partners” ini.
Kalau mengacu pada UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, kata Edi, juga tidak mengatur secara eksplisit soal kampanye hitam atau black campaign.
Pada Pasal 280 ayat (1) mengatur tentang larangan dalam kampanye, yaitu pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang: (a) mempersoalkan dasar negara Pancasila, Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia; (b) melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (c) menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain; (d) menghasut dan mengadu domba perseorangan atau pun masyarakat; (e) mengganggu ketertiban umum; (f) mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau peserta pemilu yang lain; (g) merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye peserta pemilu; (f) menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan; (i) membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut selain dari tanda gambar dan/atau atribut peserta pemilu yang bersangkutan; dan (j) menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu.
Dari bunyi pasal-pasal tersebut, baik Peraturan KPU dan juga UU Pemilu, kata Edi, kata-kata Maksi Ngkeros tidak termasuk dalam kategori kampanye hitam.
“Kalau dikatakan menghina juga tidak masuk, karena memang tindakan Nabit yang salah selama ini. Kita harus kritis dan ingatkan masyarakat agar jangan pilih orang yang salah untuk menjadi bupati,” kata alumnus S3 Ilmu Universitas Trisakti, Jakarta ini.
Menurut Edi, pernyataan Maksi Ngkeros saat kampanye terbuka ajak warga Rampasasa untuk tidak memilih Hery Nabit, calon bupati Manggarai nomor urut 2 “karena telah menghancurkan Manggarai” dinilai bukan masuk dalam kategori kampanye hitam atau black campaign.
Pernyataan Maksi Ngkeros tersebut masuk dalam kategori kampanye negatif atau negative campaign.
“Kampanye negatif sah-sah saja dalam politik dan dibenarkan secara hukum,” katanya.
Menurut Edi, kata “menghancurkan” Manggarai tidak boleh dimaknai secara denotatif, tetapi juga secara konotatif/asosiatif. Artinya banyak fakta yang bisa dijadikan dasar pernyataan Maksi Ngkeros tersebut. Antara lain, pertama, Hery Nabit membangkang terhadap putusan pengadilan soal gugatan ASN yang telah telah dipecat Nabit.
Para ASN gugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan PTUN mengabulkan gugatan mereka.
Hakim, kata Edi, memerintahkan Nabit agar mengembalikan jabatan para ASN ke jabatan semula. Sayangnya, Nabit tidak melakukannya.
Ia bilang, perbuatan Nabit seperti ini bisa digolongkan sebagai perbuatan yang “menghancurkan Manggarai”.
“Orang Manggarai di mana pun berada atau semua orang Indonesia tentu hatinya hancur karena ada pejabat negara yang bangkang terhadap putusan hakim,” kata Edi.
Kedua, dalam perekrutan aparat desa di beberapa desa di Kecamatan Reok Barat, di mana camat Reok Barat yang merupakan anak buah Nabit meloloskan orang yang tidak lulus dalam tes dan menidakluluskan orang yang lulus dalam tes.
“Perbuatan sang camat sudah diadukan kepada Nabit melalui Sekda namun Nabit tidak berbuat sesuatu atau tidak menindak sang camat. Itu perbuatan menghancurkan Manggarai secara konotatif,” kata Edi.
Ia menegaskan, dua kasus tersebut di atas merupakan sebagian tindakan Nabit yang bisa digolong menghancurkan Manggarai dalam arti yang konotatif atau asosiatif.
Menurut Edi, hampir semua pakar Ilmu Hukum Pidana berpendapat bahwa dalam hukum kepemiluan, kampanye negatif diizinkan. Sedangkan kampanye hitam dilarang dan dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana tertuang di dalam Pasal 280 ayat (1) huruf c dan Pasal 521 UU Pemilu.
Jika kampanye negatif dilakukan dengan menunjukkan kelemahan dan kesalahan pihak lawan politik, maka kampanye hitam adalah menuduh pihak lawan dengan tuduhan palsu.
Kampanye negatif, kata pengajar Ilmu Hukum Pidana ini, berguna membantu pemilih membuat keputusannya.
“Saya minta Maksi Ngkeros tunjukkan semua data kesalahan Nabit serta janji-janjinya tidak dilaksanakan sebagai dasar pernyataan Maksi soal Nabit menghancurkan Manggarai,” kata Edi.
Ia juga menyayangkan, kasus dugaan kampanye hitam dengan terlapor Maksi naik ke penyidikan.
Menurut Edi, Gakkumdu Manggarai juga memakai KUHAP sebagai hukum acara dalam menyelidiki kasus tersebut.
Dalam KUHAP ditegaskan minimal dua alat bukti sebuah kasus naik ke penyidikan.
“Apa ya bukti mereka? Apa mereka sudah minta pendapat pidana soal kata-kata tersebut? Saya minta kuasa hukum tim Maksi lawan secara hukum,” kata dia.
Edi meminta Polres Manggarai agar berhenti menyidik kasus tersebut sebab kasus itu tidak masuk sebagai kampanye hitam.
“Polisi jangan sampai terkesan menerima pesanan dari pasangan calon tertentu. Keluarkan SP3 atas kasus tersebut,” pinta Edi. [VoN}