Oleh: Randi Rasman
Mahasiswa Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero
Suatu Kecemasan
Dewasa ini, berita seputar dekadensi esensialitas generasi milenial menjadi suatu topik diskursus yang sangat ramai.
Generasi milenial atau generasi Y yang sejatinya memiliki nilai-nilai futuristis dan visioner dalam dirinya, telah mengalami distorsi yang sangat hebat.
Hal ini ditandai dengan keterlibatan milenial dalam berbagai aksi-aksi subversif, seperti aktivisme sosial-ekstrem yang bernuansa destruktif, di antaranya adalah aksi tawuran antara pelajar, narkoba, nomophobia, dan berbagai jenis lainnya.
Nomophobia adalah suatu istilah yang digunakan untuk orang-orang yang tidak bisa jauh dengan alat-alat teknologi, seperti HP, Laptop dan berbagai alat teknologi lainnya.
Dalam penggunaan alat teknologi tersebut, bukan lagi untuk hal-hal yang konstruktif, tetapi hal-hal yang nonsense.
Menjadikan alat-alat teknologi sebagai instumen dalam mengkonsumsi berita bohong (fake news).
Penyebaran berita bohong atau hoaks di kalangan generasi milenial menjadi suatu hal yang mencemaskan.
Banyak milenial yang tanpa sadar membagikan berita yang belum terverifikasi, baik karena kurangnya pemahaman tentang cara memeriksa fakta maupun karena dorongan untuk mendapatkan atensi publik.
Generasi milenial menilai tindakan-tindakan tersebut sebagai suatu hal estetis dan ‘wajar’ terjadi pada kehidupan generasi milenial.
Dengan kata lain, nilai etis dalam dunia milenial menjadi tak berguna, karena generasi milenial tidak lagi memandang aksi-aksi subversif sebagai suatu pelanggaran etis, tetapi sebagai suatu seni atau keindahan.
Soren Kierkeegard menyebut manusia estetis sebagai tahap paling rendah dari eksistensi.
Alasannya, karena manusia estetis tidak peduli dengan orang lain dan hanya peduli pada kepentingannya sendiri (Peter Tan, 2018).
Padahal, aksi-aksi subversif tersebut dapat membawa kerugian bagi banyak orang dan diri generasi milenial sendiri, seperti publik akan mulai skeptis dengan eksistensi generasi milenial.
Hal ini menjadi suatu hal yang mencemaskan, berhubung dengan peran generasi milenial yang sangat vital dalam membawa idealisme bangsa ke arah yang lebih baik.
Generasi Parrhesiast
Dalam pengantar bukunya berjudul Politik Era Milenial; Butir-Butir Esai Politik Popular, Rio Nanto menjelaskan bahwa generasi milenial memiliki pelbagi karakteristik.
Pertama, percaya diri (self of confident). Generasi milenial memiliki kepercayaan diri yang tinggi, berani dalam menyuarakan pendapat, dan berani berdiskursus tentang isu-isu sosial di ruang publik.
Kedua, kreatif. Generasi milenial sangat piawai dalam menciptakan peluang kerja baru, memiliki pola pikir yang konstruktif serta memiliki ide-ide berlian-progresif terutama untuk kepentingan komunal.
Ketiga, konsolidasi lintas profesi dan teknologi. Generasi milenial pandai dalam membangun realitas kooperatif di dalam pelbagai komunitas serta pandai mengoperasi teknologi secara intensif. (Rio Nanto, 2020).
Dari pelbagi karakteristik tersebut, dapat disimpulkan bahwa generasi milenial memiliki pengaruh penting dalam kehidupan.
Generasi milenial menjadi agen-agen perubahan (agent of change), terutama dalam menghadapi tantangan global yang kian mendesak, seperti relativisme, post-truth dan berbagai jenis tantangan lainnya.
Namun secara de facto, agen perubahan tersebut hanya suatu jargon bombastis, sebab tidak sesuai dengan kelakuan dan realitas kehidupan generasi milenial itu sendiri.
Generasi milenial hanya menkonstruksikan jargon agen perubahan (agent of change) sebagai sesuatu yang ‘tampak’ saja, tetapi tidak ‘berdampak’.
Artinya, predikat agen perubahan dalam diri generasi milenial sudah ada, tetapi generasi milenial tidak memaknai dan mengkonkretisasinya dalam kehidupan.
Pertanyaannya adalah apakah ditengah realitas nomophobia ini, peran generasi milenial asih terjamin?
Hemat saya di tengah realitas nomophobia, peran generasi milenial masih berfungsi. Asalkan generasi milenial mentransformasi paradigma berpikir tentang teknologi.
Artinya bahwa generasi milenial mesti meninggalkan kebiasaan lamanya dalam menggunakan media sosial yang regresif, seperti menyebarkan berita bohong.
Dengan cara menjadikan media sosial sebagai instrumen untuk menyuarakan kebenaran.
Karena itu, penulis menawarkan konsep dari Michel Foucault filsuf asal Prancis tentang parrhesia.
Parrhesia merupakan suatu term atau istilah yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti “berbicara dengan jujur” atau “berbicara tanpa takut.”
Dalam konteks pemikiran Foucault, parrhesia merujuk pada pengungkapan tentang kebenaran, yang diungkapkan secara terbuka, jujur, tanpa menggunakan manipulasi.
Para penganut parrhesia disebutnya sebagai parrhesiast. Seorang parrhesiast (penutur kebenaran) juga harus memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan tidak skeptis akan kebenaran yang dikatakan atau diungkapkannya, serta berani untuk menanggung risiko yang akan dihadapi (Kondrad Kebung, 1996).
Dengan kata lain, seorang parrhesiast harus menjadi truth teller (penutur kebenaran) yang handal dan kredibel.
Kehidupannya mesti mencerminkan kebenaran itu sendiri dan dijadikan sebagai kompas hidup.
Dalam konteks dengan generasi milenial yang bermental nomophobia, generasi milenial dapat menggunakan platform media sosial untuk menyuarakan kebenaran kepada publik.
Lebih-lebih pada November 2024 mendatang, Indonesia akan menggelarkan pesta demokrasi (Pilkada) di tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota.
Menyongsong pesta demokrasi tersebut, semua paslon sudah mulai getol dalam berkampanye bernuansa persuasif, ditambah dengan pencitraan, demi memenangkan kontestasi ini.
Sebagai generasi yang bernalar kritis, generasi milenial mesti memilih kandidat secara objektif dengan tidak mudah terkooptasi oleh gimik-gimik politik.
Generasi milenial harus memahami mana kandidat yang layak dan dapat menjadi pengendara untuk membawa masyarakat menuju bonum commune.
Jacgues Ranciere (2006) mengatakan, demokrasi adalah kekuatan untuk merobohkan hegemoni kelompok elit oligarkis karena mereka berusaha melanggengkan satus quo kekuasaan.
Hegemoni kelompok elit ini, akan menimbulkan disekuilibrium dalam masyarakat.
Maka, demokrasi hadir sebagai solusi untuk merobohkan disekuilibrium yang dkonstruksikan oleh kaum elit, dan hal ini hanya bisa dilakukan oleh masyarakat sipil yang pelopori oleh kaum muda atau generasi milenial itu sendiri (Rio Nanto, 2020).
Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa generasi milenial mesti menjadi generasi parrhesiast (generasi penutur kebenaran).
Terutama di tengah ruang publik (public sphere) yang penuh dengan narasi politik provokasi dan praktek kamuflase yang dipertontonkan para pemimpin busuk ke ruang publik, yang berusaha untuk memperoleh atensi publik, agar dapat melaksanakan intensi buruknya yang egoistis.
Karena itu, menjadi generasi parrhesiast berarti harus independen, tanpa dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan tertentu seperti kepentingan para elit politik.
Generasi parrhesiast harus menyuarakan dan menyatakan kebenaran yang sesungguhnya ke dalam ruang publik, tanpa didesak oleh kepentingan eksternal (Kondrad Kebung, 1996).
Hal ini selaras dengan tugas generasi milenial sebagai agen perubahan (agent of change), yang bebas dari kepentingan-kepentingan kelompok tertentu.
Hemat penulis dengan menjadi generasi parrhesiast, Marwah demokrasi Indonesia akan kembali ke in se yakni ‘dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Bukan lagi ‘dari elit, oleh elit, dan untuk elit’.
Dengan itu juga, peran generasi milenial sebagai agen perubahan (agent of change) akan sangat ‘berdampak’. Kendatipun kecil dan sederhana, tetapi hal ini dapat membawah dampak yang besar.