Oleh: Dion Kese
Kebudayaan merupakan refleksi dari identitas sebuah kelompok masyarakat. Ia mencakup berbagai aspek kehidupan manusia, mulai dari bahasa, ras, tradisi, hingga ekspresi simbolis seperti pakaian adat, ritual keagamaan, dan karya seni.
Dalam konteks upacara tahbisan Uskup Perdana Labuan Bajo, Mgr. Maximus Regus, kita melihat bagaimana aspek-aspek budaya setempat dipadukan dengan liturgi keagamaan, menciptakan sebuah harmoni antara spiritualitas dan identitas kultural masyarakat setempat.
Jika ditanyakan perasaan mengenai tahbisan uskup perdana Labuan Bajo ini, tentu semua umat Katolik pada umumnya, dan penulis khususnya merasa bangga dan senang. Hal ini dibenarkan dengan beberapa argumen yang lazim, di antaranya: Labuan Bajo yang dikenal dengan kota parwisata super premium yang dihuni oleh ribuan umat Katolik memiliki keuskupan tersendiri, dan uskup yang dipilih berasal dari imam dioses keuskupan Ruteng. Akan tetapi, jika penulis menilik lebih dalam, aspek yang membuat penulis bangga dan senang ialah; Uskup perdana Labuan Bajo terpilih adalah figur yang amat bijaksana, sederhana dan selalu mengedepankan nilai humilitas. Figur lain dari Mgr.
Maximus Regus adalah sosok yang berintelek. Beliau telah berkontribusi besar dalam mengembangkan pengetahuan banyak orang dengan buku dan artikel-artikelnya yang berbobot.
Untuk diketahui pula sebelum beliau dipilih sebagai uskup ia menjabat sebagai rektor UNIKA Ruteng.
Dalam upacara tahbisan uskup perdana Labuan Bajo hari ini (01/1124), penulis melihat beragam pakaian adat dari berbagai daerah digunakan oleh para imam dan umat.
Pakaian adat yang paling menonjol dan banyak digunakan ialah pakaian adat setempat yang bermotif songke. Motif khas daerah Manggarai.
Aspek ini menandakan dan melibatkan partisipasi aktif dari kalangan masyarakat Manggarai pada umumnya.
Jika ditilik dari sudut pandang antropologis, penggunaan pakaian adat dalam upacara keagamaan ini menggambarkan sebuah proses yang dikenal sebagai sinkretisme kultural, di mana aspek budaya lokal dan universalitas agama Katolik bersatu dalam satu peristiwa ritual.
Selain sebagai sarana simbolis untuk menghormati kebudayaan setempat, tindakan ini juga mencerminkan upaya gereja lokal untuk mengakui dan merangkul keberagaman kultural yang ada di tengah-tengah umat.
Pakaian Adat sebagai Identitas Budaya
Pakaian adat memiliki fungsi yang lebih dari sekadar penutup tubuh. Dalam masyarakat Manggarai, pakaian adat mengandung banyak makna simbolis yang mendalam.
Yakni menunjukan bahwa, motif-motif pada pakaian adat daerah Manggarai menggambarkan nilai estetika dan filosofi hidup masyarakat.
Di mana motif banyak kali melambangkan kisah atau nilai-nilai tertentu, seperti selalu berjalan bersama dalam cinta dan kasih.
Penggunaan pakaian adat dalam tahbisan uskup perdana Labuan Bajo ini menegaskan akan pentingnya identitas budaya sebagai elemen yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Manggarai.
Di setiap motif dan corak pakaian adat, tersirat nilai-nilai dan filosofi kehidupan masyarakat setempat, yang secara turun-temurun diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Akan tetapi dalam misa pentahbisan uskup perdana Labuan Bajo penulis juga amat tertarik dengan motif songke yang ada di stola dan jubah para imam.
Motif songke yang ada dan dipakai dalam stola dan jubah para imam merupakan sebuah representasi visual dari kekayaan budaya Manggarai.
Setiap motif tidak hanya memiliki nilai estetis, tetapi juga sarat akan makna-makna historis dan spiritual.
Motif songke ini sebagai contoh, beberapa motif kain yang umum di wilayah Manggarai. Hemat penulis, motif yang ada di jubah dan stola imam adalah motif jok dan motif mata manuk.
‘Motif jok yang melambangkan persatuan baik persatuan menuju Allah, maupun persatuan dengan sesama manusia dan dengan alam semesta.
Sedangkan motif mata manuk berkaitan erat dengan Tuhan yang berkuasa untuk umat-umat-Nya’.
Pada umumnya motif-motif ini sering kali mengandung simbol-simbol alam, leluhur, dan hubungan manusia dengan dunia spiritual.
Penggunaan motif pada jubah imam menegaskan bahwa kehidupan spiritual dan kultural di Manggarai tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Lebih jauh lagi, penggunaan pakaian adat dalam upacara keagamaan semacam ini juga mencerminkan bentuk penghormatan terhadap leluhur dan tradisi yang telah membentuk identitas komunitas tersebut.
Dalam konteks ini, tahbisan uskup bukan hanya sekadar upacara keagamaan, melainkan juga sebuah momen penting di mana masyarakat Manggarai merayakan dan mengukuhkan kembali warisan budaya mereka.
Partisipasi Seluruh Lapisan Masyarakat
Upacara tahbisan uskup Labuan Bajo melibatkan partisipasi berbagai elemen masyarakat, mulai dari anak muda (yang bertugas sebagai penari dan misdinar) hingga kalangan tua yang ambil bagian dalam tugas-tugas khusus.
Partisipasi seluruh lapisan masyarakat dalam upacara ini mengingatkan akan pentingnya kolektivitas dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Manggarai spesifiknya.
Aspek ini juga menandakan bahwa umat setempat benar-benar memberikan kasih kepada Mgr. Maximus Regus.
Mereka bekerja dan berjuang bersama dalam kasih dan mengaplikasikan kasih tersebut dalam realitas kehidupan.
Sebagaimana, terungkap dalam homili Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC, banyak orang membutuhkan uluran tangan belas kasih Tuhan. Tanpa karya dan gerakan belah rasa kekudusan hanyalah sebuah identitas ideal.
Kekudusan harus menjadi aktivitas aksi sehari-hari dalam tindakan. Maka darinya, masyarkat setempat memberikan sumbangan besar dalam kelancaran acara pentabisan.
Diketahui bahwa, dalam budaya Manggarai, setiap peristiwa penting dalam kehidupan, baik itu upacara keagamaan, pernikahan, atau pemakaman, semua komunitas diharuskan untuk ambil bagian.
Apalagi dalam aspek yang berkaitan langsung dengan gereja. Semangat masyarkat amatlah membara.
Hal Ini mencerminkan nilai kebersamaan yang sangat dihargai dalam budaya masyarakat Indonesia pada umumnya, dan masyarakat Manggarai pada khususnya.
Dalam pandangan antropologis, keterlibatan dan keaktifan semua generasi dalam ritual keagamaan ini juga mencerminkan proses transmisi budaya yang terjadi secara berkelanjutan.
Anak-anak yang ikut serta dalam upacara tahbisan ini tidak hanya diajarkan nilai-nilai keagamaan, tetapi juga nilai-nilai budaya dan identitas lokal mereka.
Ini adalah cara kelompok masyarakat mengajarkan nilai-nilai fundamental yang menjadi dasar kehidupan sosial dan spiritual mereka kepada generasi berikutnya.
Partisipasi aktif berbagai kelompok usia ini memastikan bahwa budaya setempat akan tetap hidup dan terus diwariskan secara turun temurun.
Sinkretisme dalam Ritual Keagamaan
Penggunaan elemen-elemen budaya lokal seperti pakaian adat dan motif tradisional dalam upacara tahbisan ini menunjukkan bagaimana agama dan budaya dapat berinteraksi dengan baik.
Seperti diketahui Gereja Katolik pada umumnya, telah lama mengadopsi pendekatan inkulturasi (1977), yakni upaya menggabungkan elemen-elemen budaya lokal ke dalam praktik-praktik keagamaan Katolik tanpa menghilangkan esensi ajaran agama.
Dengan cara ini, iman Katolik dapat diterima secara lebih mendalam oleh masyarakat setempat, karena mereka merasa bahwa budaya dan identitas mereka dihormati dan diakui.
Inkulturasi ini sangat penting dalam konteks kebudayaan Manggarai. Di mana masyarakat Manggarai memiliki ikatan yang kuat dengan adat dan tradisi leluhur.
Dalam perspektif teologis, inkulturasi bukan sekadar upaya untuk membuat agama lebih dapat diterima oleh masyarakat, tetapi juga merupakan pengakuan bahwa kebudayaan lokal memiliki nilai-nilai yang dapat memperkaya kehidupan spiritual.
Dalam hal ini, gereja tidak berperan sebagai agen yang mencoba menggantikan budaya lokal dengan budaya-budaya Barat, melainkan sebagai jembatan yang menghubungkan iman dengan identitas kultural masyarakat.
Simbolisme dalam Stola dan Jubah Imam
Di satu sisi stola dan jubah yang dikenakan oleh para imam, yang dihiasi dengan motif daerah setempat (songke), memiliki makna simbolis yang mendalam.
Dalam konteks ini, stola dan jubah imam tidak hanya berfungsi sebagai pakaian liturgis, tetapi juga sebagai representasi dari kesatuan antara agama dan budaya.
Penggunaan motif daerah pada stola dan jubah imam menunjukkan bahwa meskipun agama Katolik berasal dari tradisi Barat, tetapi masih dapat beradaptasi dengan konteks lokal tanpa kehilangan substansi spiritualnya.
Ini merupakan bentuk penghargaan terhadap kekayaan budaya setempat sekaligus memperlihatkan keterbukaan agama terhadap konteks yang beragam.
Di sisi lain, stola dan jubah imam yang dihiasi dengan motif lokal juga menjadi simbol bahwa gereja merupakan bagian integral dari komunitas setempat.
Dalam pandangan masyarakat Manggarai pada umumnya, para imam bukan hanya pemimpin spiritual, tetapi juga representasi dari nilai-nilai budaya dan tradisi lokal.
Mereka adalah sosok penting yang berdiri di antara dunia spiritual dan dunia budaya, menjembatani keduanya dalam setiap tindakan liturgis yang mereka lakukan.
Dengan demikian, tahbisan Labuan Bajo, Mgr. Maximus Regus, Pr, telah menjadi sebuah momen di mana kedua dunia tersebut (budaya dan agama) bertemu dan bersinergi.
Kesimpulan
Tahbisan Uskup Labuan Bajo (Mgr. Maximus Regus) dengan rangkaian upacara yang melibatkan penggunaan pakaian adat dan motif daerah setempat merupakan sebuah perwujudan dari sinergi antara agama dan budaya.
Ini menunjukkan bahwa kebudayaaan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan spiritual masyarakat setempat, melainkan menjadi aspek yang saling melengkapi.
Pakaian adat yang dikenakan oleh para imam dan umat, serta keterlibatan semua lapisan masyarakat, menegaskan pentingnya identitas kultural dalam setiap peristiwa penting dalam kehidupan komunitas.
Dalam perspektif yang lebih luas, tahbisan ini juga mencerminkan bagaimana manusia dan kebudayaan selalu saling terkait dalam setiap aspek kehidupan.
Kebudayaan bukan hanya sebuah warisan dari masa lalu, tetapi juga sebuah elemen dinamis yang terus berkembang dan beradaptasi dengan konteks baru, termasuk dalam praktik-praktik keagamaan.
Upacara tahbisan ini menjadi bukti bahwa identitas kultural masyarakat Manggarai tetap hidup dan berkembang di tengah-tengah perubahan zaman, dan bahwa agama (Katolik), memiliki peran penting dalam menjaga dan memperkuat identitas tersebut.