(Telaah Kritis atas Pengaruh Revolusi Artificial Intelligence)
Oleh: Paulus Ola Putra Hansen
Anggota Komunitas Tutur Karya
Aristoteles, seorang filsuf terkemuka mendefinisikan manusia sebagai animal rationale atau binatang berakal budi.
Alasannya cukup jelas bahwa hanya manusia yang secara hakiki menyadari perkembangan baik dalam dirinya sendiri, sosial maupun lingkungannya.
Hal ini tentu tidak lain dari status human being yang memiliki akal budi.
Sebagai binatang berakal budi, eksistensi manusia menempati posisi stategis karena menjadi pengendali atas seluruh sistem alam semesta.
Terwujudnya bonum commune universal tidak terlepas dari peran manusia yang konstruktif.
Sebaliknya, penderitaan terjadi merupakan bagian integral yang seringkali terjadi karena kecendrungan manusia yang destruktif.
Saat ini, dunia sedang berada pada periode industrialisasi 4.0. Periode yang menandakan suatu transformasi besar dalam peradaban manusia.
Perkembangan dunia industrialisasi yang signifikan ini, tidak dapat dielakkan. Dengan kata lain, sulit (bahkan mustahil) dieliminasi dari keseluruhan konteks kehidupan manusia.
Periode ini juga menandakan suatu prestasi besar manusia dalam bingkai modernisasi.
Manusia berhasil keluar dari sikap hidup tradisional dan berevolusi menuju kehidupan modern.
Manusia pun sedang berada pada pembuktian bahwa hidup itu tidaklah statis melainkan dinamis.
Dalam perkembangan itu, dunia yang luas sekalipun seolah-olah sempit oleh kecanggihan teknologi yang dewasa ini disebut Artificial Intelligence atau kecerdasan buatan. Manusia sedang berjaya di atas kasur teknologi.
Berhadapan dengan kedua realitas di atas, muncul sebuah pertanyaan yang fundamental.
Apa peran Artificial Intelligence dan dampaknya bagi kehidupan manusia? Pertanyaan tersebut kiranya menjadi acuan dalam meyelesaikan seluruh tulisan ini.
Manusia: Pencipta Artificial Intelligence dalam Bingkai Modernisasi
Peter L. Berger dalam bukunya “Facing Up to Modernity” sebagaimana dikutip dalam Bernard Raho, mengemukakan empat ciri yang menandai lahirnya modernisasi.
Pertama, berkurangnya masyarakat tradisional yang senantiasa memegang teguh prinsip solidaritas dan sistem kepercayaan yang diwariskan secara turun-temurun.
Kedua, runtuhnya pandangan manusia yang merasa diatur oleh sebuah kekuatan supra-indrawi. Dewasa ini, pandangan tersebut perlahan hilang sebab manusia memilki kebebasan yang (mungkin) absolut terhadap tawaran-tawaran hidup.
Ketiga, lahir dan berkembangnya kaum sekular yang perlahan meruntuhkan peran agama-agama sebagai standar melakukan tindakan baik.
Keempat, manusia modern ditandai dengan sikap futuristik dan progresif yang tentunya berbeda dengan manusia tradisonal yang selalu konservatif.
Tampak jelas bahwa modernisasi merupakan hal yang tidak bisa dihindari manusia.
Mungkin saja sebagian manusia muak dengan cara hidup masyarakat tradisional yang selalu mengedepankan norma dan takut mencoba hal-hal baru sehingga modernisasi menjadi jawaban sentral demi terwujudnya manusia modern.
Manusia tidak perlu bekerja keras sebab dengan diciptakannya Artificial Intelligence, manusia akan hidup lebih baik tanpa harus berkerja ekstra seperti yang dilakukan manusia tradisional. Eksistensi manusia pun hanyalah sebagai pengontrol terhadap AI itu sendiri.
Pengaruh Revolusi Artificial Intelligence: Anugerah atau Ancaman?
Kehadiran AI patut diapresiasi sebab manusia sebenarnya telah membuktikan diri sebagai animal rationale di satu pihak, namun menjadi momok menakutkan karena melahirkan fakta-fakta negatif bagi manusia itu sendiri di pihak lain.
Sebagai sebuah tulisan yang mengerucut pada dampak negatif dari sistem AI, penulis akan memaparkan beberapa dampak buruk yang terjadi di tengah masyarakat modern kontemporer sekarang ini.
Pertama, kemajuan teknologi sebagai produk mutakhir dunia modern rupanya akan melahirkan mental-mental instan dalam diri manusia baik secara personal maupun kolektif.
Hal ini tidak lain karena teknologi menggeser esensi manusia sebagai subyek dan bertransisi menjadi objek teknologi. Seyogiyanya, manusia telah menciptakan teknologi namun setelahnya diatur oleh ciptaannya sendiri.
Fakta ini melahirkan mentalitas instan bagi masyarakat seperti hadirnya berbagai media gratis non kredibilitas yang menyurutkan minat masyarakat mengunjungi media berbayar yang mempunyai kredibilitas tinggi.
Hal ini pun akan berdampak pada integritas informasi sebab media non kredibilitas menekankan aspek pemasukan dan keuntungan ketimbang kesesuain informasi dengan fakta empiris.
Selain itu, dalam dunia politik orang dengan bebas memanipulasi realitas demi menaikan atau menurunkan elektabilitas politisi tertentu di hadapan publik.
Sehingga bukan kenyataan baru lagi jika banyak pemimpin destruktif berkeliaran di panggung kepemimpinan.
Kedua, Melemahnya sikap kritis. Kehadiran AI menyebabkan daya berpikir masyarakat menjadi lemah karena segala sesuatu pasti ditanyakan pada sistem.
Fenomena ini akan sangat dirasakan dalam dunia pendidikan. Misalnya, para agen-agen pendidikan dalam hal ini pendidik dan kaum terdidik sulit menyuplai tulisan orisinal karena sistem telah menyediakan kemudahan dalam menyelesaikan tulisan yang mustahil dideteksi sebagai hasil plagiasi.
Di samping itu, kehadiran perpustakaan offline dinilai sebagai fakta klasik sehingga presentase pengunjung dari ke hari cendrung menurun.
Penyebabnya jelas, karena orang dengan mudah mengakses informasi melalu jejak digital tanpa bersusah payah mengunjungi perpustakaan.
Ketiga, dominasi teknologi dan minimnya peran manusia. Kenyataan absolut yang tidak bisa ditentang di era industrialisasi 4.0 dewasa ini ialah dominasi teknologi dalam hal pekerjaan.
Contohnya: hadirnya kedai kopi yang dikendalikan oleh robot. Pembeli tidak harus berinteraksi dengan manusia tetapi dengan sistem.
Secara positif hal ini tentu sangatlah baik namun para peracik kopi profesional sebenarnya kehilangan lapangan pekerjaan. Mereka mengalami kesenjangan ekonomi karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Akhirnya, persentase pengangguran semakin hari semakin meningkat. Bahkan keterampilan seseorang yang diolah secara khusus dalam dunia pendidikan merelahkan diri dikolonialisasi oleh sistem bukan karena ketiadaan skill namun karena manusia tidak eksis lagi bekerja di era teknologi sekarang ini.
Selain itu masalah sosial seperti kemiskinan dan konflik dalam masyarakat meningkat secara signifikan karena ruang manusia untuk bertahan hidup selalu dikuasai oleh sistem.
Tiga dampak buruk di atas merupakan bingkisan kecil dari pengaruh AI terhadap kehidupan manusia.
Bingkisan itu, mungkin tidaklah berarti karena dinilai sebagai realitas yang tidak terlalu destruktif bagi kehidupan modern.
Namun, hal tersebut setidaknya menjadi bahan refleksi sekaligus referensi demi menentukan arah hidup. Membangun peradaban ber-genre bonum commune atau malah sebaliknya.
Tentu masih banyak dampak lain yang mungkin mempunyai kapasitas destruktif yang signifikan ketimbang pelbagai dampak yang telah dipaparkan sebelumnya.
Oleh karena itu, diskursus seputar Aertificial Inteligence, tetap menjadi polemik yang tidak (akan) pernah dianggap sepele oleh pihak mana pun.
Semua orang berada pada dualisme antara kemampuan intelektual dan ketakutan karena terobjektivasi oleh kemampuannya sendiri.
Manusia sulit menentukan langkah pasti dalam rangka menyikapi fenomena ini. Maka, hal paling penting adalah menyikapi kemajuan dengan bijak.
Setiap kemajuan mesti difilter secara rasional dengan tidak menghilangkan nilai-nilai kemanusian agar manusia tidak menjadi budak dari kemajuan.
Daftar Pustaka
Buku dan Artikel
Deni, Melki. “Homo Digitalis,” Jurnal Ledalero, vol. 20, no. 2, Juni 2022.
Nurudin. Media Sosial: Agama Baru Masyarakat Milenial. Malang: Intrans Publishing, 2018.
Rahmawati, Devie dan Adi Ahdiat, Penelitian Sosial Digital: Menelaah Kehidupan Masyarakat Di Era Teknologi Informasi. Depok: Linea, 2014.
Raho, Bernard. Sosiologi. Maumere: Penerbit Ledalero, 2016.
Ritzer, George. dan Goodman, Douglas J. Teori Sosiologi Modern, a.b. Alimandan. Jakarta: Kencana, 2004.
Sudibyo, Agus. Jagat Digital: Pembebasan dan Penguasaan. Jakarta: Kepustakaan Populer, Gramedia, 2019.
Internet
Gitiyarko, Vincentius. “Grafikota Perpustakaan Masih Sepi Pengunjung”. dalam Kompas https://www.kompas.id/baca/metro/2022/08/24/grafikota-perpustakaan-masih-sepi-pengunjung.
Siti Naharotun Nikmah, “Pandangan Filsuf Barat Tentang Manusia,” dalam 14Kompasiana, https://www.kompasiana.com/Sitinaharotunnikmah/54f7c72ea33311661b8b4926/pandangan-filsuf-barat-tentang-manusia?