Oleh: Fridolin Abu
Sore itu hujan lebat mengguyuri kota Ruteng,lantunan hujan gemericik di seng memenuhi rumah-rumah di wilayah itu.
Air tergenang di mana-mana. Rumah-rumah pun terselubung kabut tebal. Aku membranikan diri keluar dari rumah untuk mencari obat sakit perut buat ema.
Dengan payung hitam beralaskan sandal meli, aku menyusuri gang demi gang tuk mencari apotek.
Tiba-tiba di pertengahan jalan aku berjumpa seorang pastor yang masih mengenakan jubah putih dan stola terlilit pada lehernya.
Ter, sapakuh dengan lembut dan canggung. Pater itu menjawab dengan senyuman manisnya. Lalu aku menawarkan untuk menggunakan payung yang aku bawah.
Sambil bercakap-cakap,tiba –tiba Pater itu bertanya dengan dialek khas orang Ruteng ”nana tadi mau ke mana?”.
Akupun menjawab sambil tergesa-gesa ”saya mau cari obat untuk sap ema Pater.
“Belakangan ini ema selalu sakit pada bagian perut,” lanjutku untuk melengkapi jawaban.
Pater pun bertanya untuk ke sekian kalinya” di mana rumahnya nana, kalo nana mau izinkan Pater untuk melihat Bapa.
Dengan hati gembira bercampur sedih aku pun mengajak Pater untuk bertemu ema yang sedang berbaring di tempat tidurnya.
Setibanya dirumah dengan sigap aku mengajak Pater untuk masuk ke kamar ema. Raut sedih terpancar di wajah Pater melihat ema bermuka pucat dengan diselubungi kain songke yang tak elok karena pudar warnanya.
Sembari itu, pater melihat sekitar kamar. Aku bisa menerawang bahwa pasti pater menemukan hal aneh di kamar ema.
Sebab dinding kamar ema hanya beralaskan rongsokan kardus. Ter, Pater itu terkejut mendengar panggilan dariku. Ter, jika Pater bersedia tolong sembuhkan ema.
Pater dengan suara terputus-putus memintaku untuk mengambilkan segelas air. Dengan segera aku berlari menuju dapur dan mengambil air yang sudah tersedia di termos hijau peninggalan ende.
Lalu ia memberkati air itu dan memberikan pada ema. Beberapa menit kemudian pater bertanya lagi, nana kalian berapa bersaudara.
Sambil bercucurkan air mata dan dengan suara polosku aku menjawab pater.
Sebenarnya kami empat bersaudara Pater, tapi ketiga saudariku telah kembali ke pangkuan bapa setelah ende meninggal.
Hal itu terjadi begitu cepat, sebuah insiden menimpah ketiga saudariku karena kebakaran rumah dan si jago merah itu merenggut nyawa mereka, hanya aku, ema dan beberapa barang yang selamat dari insiden itu.
“Barangkali Tuhan lebih mencintai mereka”. Mendengar ucapanku pater ikut bersedih dan air mata terurai pada pipinya.
Sembari mengusap air matanya, pater pun pamit pulang. “Nana, hidup ini sebuah rahmat, kita menjalani panggilan Tuhan dan kita harus syukuri.”
Demikian untaian nasihat pater sembari melangkah menuju pintu untuk pulang. Entah ke mana pater itu pergi aku pun tak tahu.
Dalam sesengguk aku meneteskan air mata. Langit telah dirundung gelap kehancuran melanda hidupku.
Sesekali aku terpatut memikirkah kehidupan keluargaku. Jeritan kembali terdengar dalam lorong telingaku.
Aku menghampiri ema, kali ini sakitnya tambah parah. Melihat keadaan ema yang kian parah, aku pun berniat untuk meminta bantuan tetangga kami.
Namun kemalangan menimpa nasibku, tak ada jawaban apa-apa dari mereka. Aku pun melangkah menuju rumah dan mendapatkan bahwa ema telah menghembuskan nafas akhirnya.
Suaraku memecah belah rumah di malam itu, langit gelap seolah ikut bersedih melihat ema yang terbaring mati.
Tangisanku mengundang warga kompleks rumah. Seketika itu juga rumah kami yang berdindingkan bambu dipenuhi warga yang turut berduka dan berkabung atas kematian ema.
Rasa sedih menyelimuti perasaanku kian mencuat merajalela. Air mataku meliuk di pipi, seakan tak siap untuk ditinggalkan ema.
Sosok yang aku cintai dan satu-satunya yang kupunya telah pergi. Lagi-lagi hidupku terasa hampa.
Sejenak aku berdiam diri dan bertanya pada Tuhanku dalam hati. “Tuhan apakah engkau membenciku, apakah engkau senang melihat penderitaanku. Sesekali pertanyaan itu menggambarkan kekecewaan dalam hatiku.
Seminggu berselang kemudian, hari-hariku berlalu begitu cepat dan hidup hanya menambah penderitaan. Derai air mata kembali mengalir di pipiku.
Dedaunan kering terhempas angin menghiasi kuburan ema dan ende. Beberapa lilin berukuran sebesar jariku kunyalakan pada kuburan ende, ema serta ketiga saudariku.
Gempuran sinar lilin itu terang benderang, seakan ende dan ema bersamaku saat itu.
Bayangan kembali muncul ketika menyaksikan anggota keluarga meninggal satu per satu.
Ema dan Ende aku rindu dekapan kalian berdua, andai saja kita bisa bersua rupa kembali.
Sontak aku merasa kaget dengan kehadiran pater yang tiba-tiba muncul dihadapanku.
“Nana biarkan mereka tenang bersama para kudus di sana, mereka pasti mendengar segala rintihan doamu.” Terima kasih banyak pater.
Lalu pater membelai kepalaku sembari bertanya, apa yang ingin kau capai dalam hidupmu nana.
Aku ingin mencapai hidup yang damai yang belum pernah aku temukan dalam hidupku, dan aku ingin mencobanya walau sewaktu-waktu aku dirundung nestapa.
Apakah engkau mau untuk hidup selibat seperti aku. Aku mau pater tapi ini berat buat aku.
Jika kamu mau temui aku besok, aku tinggal di gereja tua. Aku akan memberi isyarat pada lonceng yang kugemakan esok.
Keesokan harinya, bumantara terlihat cerah. Aku menyambutnya dengan ceria, walau kesedihan masih melanda hidupku.
Semalaman aku terjaga, mimpi buruk kian berdenting mengganggu tidurku. Entah apa artinya mimpi itu.
Hidup sebatang kara tak luput dari ketakutan yang kian menjajal teror.
Lonceng gereja sudah menegurku, gemanya terus membalut jiwa. Kutinggalkan rumah lalu beranjak ke gereja tua itu tuk bertemu sang pater.
Akupun tiba di tempat yang dijanjikan pater, lalu aku menyusuri lorong-lorong gereja.
Lukisan terlihat indah di sekujur tembok gereja tua itu. Maklum saja terakhir kali aku menginjak lantai gereja pada saat aku menyambut komuni pertama, sekitar delapan tahun silam.
Lalu aku beranjak beberapa langkah menuju rumah pastoran tempat tinggalnya sang pater.
Ketika bertemu dengannya hatiku terasa tenang, seakan ema sedang bersamaku. Kami pun bercakap-cakap dan bersantai sejenak diteras rumah.
Bias mentari menyisir di dedaunan dan atap rumah berkolaborasi dengan hangatnya kopi dan kompiang khas Ruteng.
Sembari menikmati itu, pater pun melanjutkan pertanyaan yang dilontarkannya kemarin.
Ia bertanya sambil tak lepas senyum yang terpantul penuh dibibirnya. Aku pun dengan nada ragu menjawab . “Saya bersedia pater. Mendengar jawaban itu pater terlihat senang sambil memeluk erat tubuhku.
Hari-hari berlalu begitu cepat perjumpaan kami semakin erat dengan pater, tak sungkan aku memanggilnya bapa, karena bagiku dialah sosok seperti ema.
Kehadirannya laksana mawar beraroma pekat. Pada bulan pertama tahun itu, aku pun masuk di tarekat, tempat di mana pater di didik sebelum menjadi imam.
Pater memperkenalkan aku pada segenap penghuni tarekat. Betapa senangnya perasaanku waktu itu.
Kini aku menjalin hubungan dengan keluarga baru. Setelah lama mengelilingi biara dan berkenal pada hamparan taman yang dipenuhi dengan berbagai jenis bunga.
Matahari pun tersibak ke arah barat. Burung pipit bercerucit riang memanggil kawanannya tuk kembali ke sarang.
Pater pun kembali ke Ruteng. Lalu meninggalkan nasihat penuh makna yang tak pernah kulupa dalam menjalani panggilanku yaitu kata setia.
Waktu berlalu secepat terpaan angin di musim gugur. Bagaikan puisi tanpa makna. Aku menjalani semua kehidupanku di tarekat ini dengan damai.
Semuanya kujalani dengan bahagia. Rasa rindu dengan ema dan ende tak bersarang lagi di liang pikiranku. Hanya berharap mereka damai di surga.
Aku pun bersandu lalu melantunkan nada penuh makna. Mengucapkan terima kasih kepada pater yang telah membawa aku kesurga kecil di dunia.
Keterangan
Ema: Sapaan untuk bapa di Manggarai
Ende: Sapaan untuk seorang ibu di Manggarai
Kompiang: Kue khas yang banyak dijual di Ruteng Manggarai
Songke: Kain adat di Manggarai
Cerpen ini saya buat dari inspirasi saya setelah memaknai hidup membiara. Mengenai kematian yang diceritakan bukan berarti mereka mati meninggalkan dunia namun saya ingin mengajak para pembaca, bahwasannya orang yang hidup membiara seutuhnya harus meninggalkan anggota keluarga.