Oleh: Rian Kapitan, S.H.,M.H
Dosen Ilmu Pidana Universitas Kristen Artha Wacana, Kupang
Pernyataan Marsel Ahang pada 14 November 2024 di media online Swarantt.net dengan judul: “Menanggapi Pernyataan Rian Kapitan, Ahang: Jangan Gadaikan Klaim Kepakaran Hukum”. [Bisa klik pada link ini>>>]
Maka perlu kiranya saya sebagai Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Artha Wacana memberikan tanggapan terhadap Marsel Ahang yang sempat viral di berbagai media, karena menabrak pintu masuk Pengadilan Negeri Ruteng dengan mobil.
Kasus ini telah dilaporkan oleh pihak Pengadilan Negeri Ruteng ke Kepolisian.
Pertama, kepakaran dalam bidang ilmu hukum pidana tidak dapat digadaikan.
Pernyataan Ahang yang menyatakan saya menggadaikan “klaim kepakaran dalam bidang ilmu hukum pidana” dalam mengomentari penetapan calon bupati Manggarai Maksi Ngkeros sebagai tersangka oleh penyidik Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) adalah pernyataan yang tidak logis.
Sebab kepakaran seorang dosen dalam bidang ilmu apapun adalah keilmuan yang secara hukum tidak dapat digadaikan, melainkan diaplikasikan untuk mewujudkan salah satu cita-cita bangsa Indonesia, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pernyataan Ahang tersebut berpotensi menjebak dirinya sendiri, sebab kepakaran dosen yang tidak dapat digadaikan, menurut Ahang disebut sedang digadaikan oleh saya, sehingga perbuatan “menggadaikan” kepakaran tersebut “mungkin” sering dilakukan oleh Marsel Ahang sebagai seorang pengamat.
Kedua, pengamat yang ambivalen. Ahang yang prinsipnya menyatakan saya tanpa otoritas memberikan kritik terhadap penetapan Maksi Ngkeros sebagai tersangka oleh penyidik Gakkumdu.
Bagi saya statement Ahang sangatlah tidak logis. Sebab nyatanya saya telah dihadirkan oleh tim penasihat hukum Maksi Ngkeros sebagai ahli.
Saya telah diambil keterangan oleh penyidik Sentra Gakkumdu Manggarai. Saya pun kembali diajukan oleh tim penasihat hukum Maksi Ngkeros sebagai ahli hukum dalam sidang praperadilan sah tidaknya penetapan Maksi Ngkeros sebagai tersangka oleh Penyidik Gakkumdu Manggarai di Pengadilan Negeri Ruteng secara online.
Oleh sebab itu, sebagai akademisi yang dihadirkan sebagai ahli oleh Maksi Ngkeros berhak memberikan pandangannya terhadap penetapan tersangka yang dilakukan oleh negara terhadap warga negaranya.
Kemudian, sikap saya dalam memberikan komentar beberapa waktu lalu dalam penetapan tersangka Maksi Ngkeros didasarkan kepada prinsip, teori dan interpretasi hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil.
Sebagai akademisi dalam bidang hukum yang selalu konsisten dalam menyatakan pendapat sudah seharusnya saya memberikan pandangan berdasarkan keilmuan dan pengalaman saya, tidak terkecuali pandangan terhadap proses penegakan hukum yang sedang berlangsung .
Sikap dan konsistensi saya berbeda dengan Ahang yang secara membabi-buta menyerang argumentasi saya sembari melupakan bahwa dirinya pernah tanpa otoritas (istilah Ahang terhadap saya) menuduh Kejaksaan Tinggi NTT digunakan oleh politisi lawan politik Jonas Salean dalam kasus dugaan pengalihan barang milik daerah yang ditangani oleh Kejati NTT sebagaimana dapat dilihat dalam berita ini: Marsel Ahang: Jonas Salean Harus Melawan “Lawan Politik” Yang Menggunakan Tangan Jaksa Dan Minta Perlindungan Di Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Artikel ini dipublikasikan pada 30 Januari 2024. [Bisa klik pada link ini>>>].
Kemudian Ahang juga memberikan komentar pada 21 September 2024 terhadap kinerja Kejaksaan Tinggi NTT dalam penegakan hukum sebagaimana termuat di Koran Timor berjudul: Kajati NTT Dinilai Tak Bertaring Tangani Kasus MTN Rp50 Miliar Bank NTT, Tapi Minta Percepat Penanganan Kasus Korupsi di Mabar. [Bisa klik pada link ini>>>]
Pernyataan-pernyataan Marsel Ahang tersebut jelas-jelas merupakan tuduhan yang serius terhadap lembaga penegak hukum (Kejaksaan Tinggi NTT) yang sementara menangani suatu perkara pidana.
Sementara Marsel Ahang sendiri hanya berkapasitas sebagai seorang pengamat.
Namun dalam kritik saya terhadap penetapan Maksi Ngkeros oleh Gakkumdu Manggarai justru dalam kapasitas sebagai akademisi yang telah memberikan keterangan sebagai ahli hukum dari Fakultas Hukum Universitas Kristen Artha Wacana pada Gakkumdu Manggarai, yang bukan sekadar pengamat seperti Ahang.
Sikap Ahang yang menyerang saya sembari melupakan perilakunya sebagai pengamat yang sering memberikan kritik terhadap proses penegakan hukum oleh lembaga hukum kiranya dapat memulihkan ingatan Ahang supaya ke depannya sebagai seorang pengamat janganlah ambivalen, dalam pengertian pada kondisi yang sama namun sikapnya berbeda.
Perbedaan sikap Ahang tersebut semoga tidak berdasarkan kepada pertimbangan “kebutuhan dan kepentingan”.
Ketiga, penetapan Maksi Ngkeros sebagai tersangka. Selain argumentasi hukum yang telah saya sampaikan pada pemberitaan sebelumnya yang ditanggapi oleh Ahang, sekiranya perlu ditambahkan bahwa berdasarkan fakta yang saya kaji, Maksi Ngkeros tidak layak untuk ditetapkan sebagai tersangka.
Sebab pernyataan Maksi pada 7 Oktober 2024 di halaman rumah Gendang (rumah adat) Kampung Rampasasa, Maksi Ngkeros sendiri memahami bahwa apa yang disampaikannya itu bukanlah menyerang pribadi.
Hal ini terbukti dari adanya kalimat yang disampaikan oleh Maksi Ngkeros saat itu setelah menyampaikan kalimat-kalimat yang diduga menyerang pribadi Hery Nabit, bunyinya: “sebut namanya kalau dia tidak setuju, asal jangan serang pribadinya”.
Pernyataan Maksi Ngkeros ini membuktikan bahwa yang bersangkutan sendiri menyadari/memaknai bahwa kalimat-kalimat yang disampaikan sebelumnya bukanlah serangan terhadap pribadi dan kehormatan Hery Nabit sebagai salah satu calon bupati Manggarai.
Oleh karena itu, tidak tepat Maksi Ngkeros ditetapkan sebagai tersangka, sebab Pasal 187 ayat (2) UU Pilkada mensyaratkan adanya unsur kesengajaan (adanya niat) Maksi dalam memfitnah, menghina dan menghasut.
Karena itu seandainya pun (quot non) jika kemudian, kalimat-kalimat Maksi sebelumnya ditafsirkan oleh penyidik Gakkumdu sebagai serangan terhadap pribadi Hery Nabit, maka nyatanya Maksi Ngkeros tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
Sebab justru yang terjadi hanyalah kelalaian (kurang hati-hatinya) Maksi Ngkeros yang dibuktikan dengan pemahamannya terhadap kalimat-kalimat sebelumnya dengan menyatakan : “Sebut namanya kalau dia tidak setuju, asal jangan serang pribadinya.”