Ruteng, Vox NTT – Koordinator tim kuasa hukum pasangan calon bupati dan wakil bupati Manggarai, Maksimus Ngkeros dan Ronald Susilo (Maksi-Ronald), Edi Hardum menilai Marsel Nagus Ahang tidak paham Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-undang Pilkada, serta aturan turunannya, dan sistem hukum pidana Indonesia.
Marsel Ahang sendiri merupakan pelapor atas kasus dugaan kampanye hitam yang dilakukan Maksi Ngkeros saat kampanye di Rampasasa, Desa Wae Mulu, Kecamatan Wae Ri’i beberapa waktu lalu.
Menurut Edi, dalam kasus tersebut Marsel Ahang ngotot tidak terima akan dikeluarkannya
Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
“Saya menyayangkan rekan saya ini (Marsel Ahang) tidak paham. Mungkin belum sempat membaca beliau ini,” kata Edi kepada media, Senin, 25 November 2024.
”Penetapan tersangka yang dilakukan oleh kepolisian hanya dapat ditiadakan atau dihapuskan berdasarkan putusan hakim melalui proses praperadikan (Vide Pasal 77 UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP),” kata Edi mengungkap kembali pernyataan Marsel Ahang yang dirilis media swarantt.net, Senin.
Marsel Ahang, kata Edi, tidak membaca pasal lain dalam KUHAP yang mengatur khusus soal SP3 yakni Pasal 109 Ayat (2).
Dalam pasal tersebut berbunyi, ”Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.”
Dari bunyi Pasal 109 Ayat (2) KUHAP itu, kata Edi, maka alasan penerbitan SP3 ada tiga alasan yaitu: (1) tidak cukup bukti; (2) peristiwa tersebut bukan tindak pidana dan (3) demi hukum.
Alasan SP3
Edi kemudin menjelaskan alasan penyidik terpaksa harus mengeluarkan SP3 dalam kasus Maksi Ngkeros karena berkasnya ditolak kejaksaan.
“Kenapa ditolak? Karena tidak memenuhi unsur antara lain unsur minimal dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka. Kalau berkas dikembalikan berarti tidak memenuhi unsur,” tegasnya.
Hal lain, lanjut Edi, Marsel Ahang berkata, “polisi tidak dapat membatalkan putusan pengadilan.”
Menurut Ahang, tersangka Maksi Ngkeros sudah mengajukan praperadilan untuk menguji sah atau tidaknya penetapan tersangka.
Hakim PN Ruteng telah menyidangkan permohonan praperadikan tersebut. Hakim memutuskan menolak permohonan praperadilan dan menyatakan sah penetapan Maksi Ngkeros sebagai tersangka.
Rangkaian proses ini, penyidikan sudah selesai dengan penetapan tersangka terhadap Maksi Ngkeros.
“Mana bisa proses yang sudah selesai justru diperintahkan dihentikan dengan adanya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Di sini polisi berpotensi melakukan tindakan yang melampaui wewenangnya dengan menerbitkan SP3 ini,” ujar Edi mengutip pernyataan Marsel Ahang.
Edi kembali menegaskan, Marsel Ahang tak paham soal sistem hukum pidana di Indonesia.
Ia menjelaskan, sistem hukum pidana adalah proses penegakan hukum yang terintegrasi, di mana dalamnya terdiri dari lembaga-lembaga yang saling kait.
Sistem hukum pidana terdiri dari penyidik (Polri/Jaksa), Jaksa (Penuntut Umum) dan Hakim (Pengadilan).
Penyidik tidak bisa dengan hasil penyidikannya langsung memvonis orang bersalah, dan memenjarakannya.
Hasil penyidikan penyidik harus dinilai oleh jaksa penuntut umum.
Bila menurut jaksa bahwa prosedur sudah benar dan sudah memenuhi dua alat bukti yang cukup baru dinyatakan lengkap (P-21) dan diserahkan ke pengadilan untuk diperiksa dan diadili melalui persidangan.
Sebaliknya bila berkas tidak lengkap atau tidak cukup bukti maka harus dikembalikan ke penyidik untuk dilengkapi.
Kalau penyidik belum bisa melengkapi, maka jaksa menolak berkasnya dan tidak bisa dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan.
“Ingat, jaksa tidak bisa langsung memenjarakan orang dengan dakwaan dan tuntutannya,” tegas Doktor Ilmu Hukum ini.
Edi melanjutkan, setelah hakim memeriksa bukti-bukti dari jaksa dan terdakwa, baru hakim memutus bersalah atau tidak.
“Itulah yang namanya sistem hukum pidana,” kata dia.
Mengenai SP3, kata Edi, tidak hanya bergantung pada hasil praperadilan.
Praperadilan, jelas dia, hanya soal prosedur dan dua bukti permulaan yang cukup. Penolakan berkas penyidik oleh jaksa juga menjadi koreksi putusan praperadilan hanya mungkin hakim tunggal tak teliti atau ada persoalan lain.
Ketidakpahaman Marsel Ahang berikut, kata Edi, terdapat dalam pernyataannya yang masih dipublikasikan swaranet.com.
Sesuai ketentuan UU Pemilu, kata Marsel, dalam 5 (lima) hari setelah menerima berkas perkara dari penyidik, Jaksa Penuntut Umum harus sudah melimpahkan berkas perkara ke pengadilan untuk disidangkan.
Keputusan untuk menghentikan penuntutan ada di tangan jaksa, bukan di tangan polisi lagi. Berkas perkara sudah dilimpahkan oleh penyidik ke Jaksa Penuntut Umum pada 15 November 2024, maka paling lambat 20 November 2024 Jaksa Penuntut Umum harus sudah melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan untuk disidangkan lebih lanjut.
Ahang juga menyebutkan, Jaksa Penuntut Umum dapat saja menggunakan haknya untuk menetapkan penghentian penuntutan. Tetapi wewenang penghentian penuntutan itu adalah wewenang jaksa dan bukan wewenang polisi lagi.
Edi mengatakan, perkara yang menjerat dan memproses Maksi Ngkeros adalah UU Pilkada serta aturan turunannya yakni Peraturan Bawaslu RI bukan UU Pemilu.
Sesuai UU Pilkada kasus sudah kadaluwarsa karena dihitung sejak Bawaslu Kabupaten Manggarai meneruskan laporan ke SPKT Polres Manggarai pada 23 Oktober 2024 sampai dengan 21 November 2024.
“Jadi Kejaksaan seharusnya melimpahkan kasus ini ke Pengadilan Negeri Ruteng paling lambat pada 21 November 2024,” tegas Advokat dari Kantor Hukum Edi Hardum and Partners ini.
Edi menegaskan, sesuai hukum acara Pilkada maka perkara ini tidak bisa diproses lagi dan penetapan tersangka gugur.
“Lah, mau protes apalagi? Sudah kasusnya, sudah selesai,” tukas Edi. [VoN]