Kupang, Vox NTT – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Nusa Tenggara Timur (Walhi NTT) telah mengikuti debat pasangan calon gubernur NTT yang diadakan sebanyak tiga kali. Debat terakhir berlangsung pada 20 November 2024.
Direktur Walhi NTT, Umbu Wulang Tanaamah Paranggi menilai, KPU selaku penyelenggara debat paslon gagal membaca realitas krisis lingkungan hidup, konflik agraria dan kriminalisasi rakyat atau pejuang lingkungan hidup.
“KPU juga seperti tidak peka pada persoalan krisis pangan, air dan energi bersih di NTT,” kata Umbu dalam keterangan yang diterima media, Senin, 25 November 2024.
Padahal sebagai penyelenggara, menurut dia, KPU sebenarnya punya peluang untuk mengakselerasi isu lingkungan hidup di NTT yang merupakan bagian integral dalam dinamika Pembangunan.
Sayangnya, KPU tidak mampu membaca bahwa semua urusan pembangunan di NTT berjalan di atas lingkungan hidup.
Misalnya, mengangkat isu pariwisata tentu juga harus membicarakan residu dan atau dampak negatif dari pariwisata.
Limbah dan sampah yang makin membludak misalnya. Konflik ruang penghidupan antara nelayan dan investor, contoh lainnya.
NTT sebagai provinsi kepulauan yang memiliki kerentanan bencana yang tinggi juga gagal dieksplorasi oleh KPU dalam sesi debat.
Umbu menegaskan, KPU terlihat sangat ekonomi sentris hingga mengabaikan elemen krusial tentang beragam masalah lingkungan hidup di NTT.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan atau dihasilkan para panelis cenderung normatif dan selalu dominan dengan pikiran ekonomi sentris.
Menurut dia, ketidakberpihakan KPU NTT pada isu lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam justru sedikit terselamatkan dengan dinamika para pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dalam sesi tanya jawab. Dinamika terkait kasus konflik sumber daya alam geotermal misalnya.
Bahkan KPU pun seperti mengabaikan tingginya impor sektor konsumsi yang tinggi di NTT. Salah satunya diakibatkan oleh krisis lingkungan dan buruknya tata kuasa dan tata Kelola sumber daya alam.
“KPU NTT seolah-olah menggelar debat tanpa pengetahuan tentang hampir seluruh statistik ekonomi rakyat NTT ditunjang oleh keberadaan daya dukung lingkungan atau sumber daya alam,” ujar Umbu.
Umbu menambahkan, ketidakseriusan KPU pada beragam masalah mendasar rakyat NTT terlihat dari tidak adanya konsep urusan pemulihan ekologis dalam tema maupun sub tema debat.
Dampaknya menurut Umbu, rakyat NTT dirugikan karena tidak dapat mengetahui janji atau program program pemulihan ekologis yang akan dikerjakan para calon Gubernur bila kelak terpilih.
“Karena abainya KPU, rakyat NTT seperti memilih kucing dalam karung untuk problem problem konflik sumber daya alam dan pemulihan lingkungan hidup di NTT,” tambah dia.
Bahkan waktu debat juga bersamaan dengan penyelenggaraan COP atau rapat tahunan PBB untuk membahas isu iklim ke-29 pada November 2024 di Baku, Azerbaijan.
Padahal, lanjut dia, kalau KPU dapat memaksimalkan perannya, rakyat dapat secara gamblang mengetahui rencana rencana para cagub-cawagub terkait kebencanaan, perubahan iklim, konflik agraria atau sumber daya alam, kriminalisasi rakyat kecil, pemulihan lingkungan hidup, kesetaraan gender dalam pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia yang kapabel atau ahli dengan berbagai potensi dan masalah sumber daya alam di NTT.
Misalnya, “apa rencana calon gubernur untuk meningkat SDM dalam konteks NTT yang juga memiliki bentang alam Vulkanik.”
“Sampai sekarang kan NTT belum ada putra daerah sebagai ahli vulcanologi,” tutup Umbu.
Penulis: Ronis Natom