Oleh: Dominikus Zinyo Darling
Mahasiswa Program Sarjana Ilmu Filsafat IFTK Ledalero
Pilkada serentak 2024 tinggal satu hari lagi. Peristiwa yang menjadi momen penentuan nahkoda pemerintahan daerah periode 2024-2029 ini adalah suatu peristiwa penting yang perlu disambut gembira oleh masyarakat Indonesia.
Menurut data dari Litbang Kompas (Selasa, 8 Oktober 2024), pilkada 2024 akan digelar di 545 daerah di Indonesia, dengan perincian sebagai berikut: 37 di tingkat provinsi, 415 di tingkat kabupaten, dan 93 di tingkat kota.
Dalam negara demokrasi pilkada bukan hanya perayaan seremonial lima tahun-an yang hanya diisi dengan acara hura-hura belaka. Lebih dari itu ia menjadi tonggak penting yang menentukan arah jalan pemerintahan daerah untuk satu periode elektoral (2024-2029).
Oleh karena itu, pilkada harus dijalankan dengan sungguh-sungguh, baik oleh pihak penyelenggara (KPU), pengawas (BAWASLU), para pasangan calon (paslon), dan yang paling penting adalah masyarakat.
Namun, sering terjadi dalam sejarah demokrasi kita, banyak pihak hanya menggunakan pilkada sebagai suatu medan pertarungan ambisi pribadi yang bertendensi mencederai demokrasi. Beberapa hal di antaranya adalah praktik “calon boneka” dan strategi “serangan fajar.”
Mengenal Calon Boneka
Untuk memahami dan mengidentifikasi “Calon Boneka” dalam suatu momentum pilkada, alangkah baiknya jika kita memahami kata “boneka.” Boneka adalah benda mati yang tidak bisa bergerak, apalagi bernafas.
Boneka hanya bisa memiliki fungsi sejauh mana ia diperlakukan oleh manusia. Secara lebih kasar, saya dapat mengatakan bahwa boneka adalah mainan (anak-anak).
Dalam konteks politik, calon boneka biasanya merujuk pada figur yang maju bukan atas dasar keinginan pribadi sebagai warga negara yang ingin membaktikan diri untuk masyarakat, melainkan karena menjadi perpanjangan tangan orang-orang tertentu.
Mereka maju hanya untuk melayani kepentingan sponsor politik, bukan rakyat. Dalam konteks tertentu, figur ini biasanya tidak memiliki kualitas yang baik, tetapi hanya berdasarkan pada loyalitasnya kepada pihak sponsor.
Hubungan antara Calon Boneka dengan Serangan Fajar
Menggunakan paham di atas untuk mengidentifikasi “calon boneka” memang benar. Namun, menggapai otak (cara kaum elit) dalam berpolitik memang sulit.
Mereka selalu memiliki cara baru, seiring majunya pemikiran masyarakat.
Salah satu praktik yang sering dibuat adalah memasukkan “calon boneka” dalam koridor pilkada untuk memecah-belah suara lawan politik.
Artinya, mereka membangun skema “orang ketiga” sebagai pihak yang sebenarnya hadir tanpa visi untuk memenangkan pemilihan.
Mereka hanya menciptakan kondisi chaos elektoral, suatu suasana dimana arah dukungan masyarakat menjadi tidak terkendali.
Ketika sudah terjadi situasi demikian, mereka mulai menghadirkan suatu cara yang dapat dikatakan “licik,” yaitu mengarahkan basis pemilihnya untuk memilih calon lain, sesuai dengan instruksi dari aktor politik yang menjadi sponsor.
Hal inilah yang kemudian membuat fenomena “serangan fajar” menjadi lebih efektif dan efisien.
Frasa “serangan fajar” memang sudah lazim kita dengarkan setiap momen pemilihan, baik dari tingkat desa hingga tingkat pusat.
Secara sederhana, serangan fajar dapat dikategorikan sebagai praktik money politic (politik uang) yang kerap terjadi menjelang pemilihan umum.
Frasa “serangan fajar” sebenarnya berasal dari kalangan militer. Serangan fajar ini digunakan dalam kalangan militer untuk menyergap musuh di pagi buta.
Karena serangan ini relatif berhasil dalam kalangan militer, praktik ini kemudian diadopsi oleh pihak tertentu yang culas ke dalam dunia politik.
Adapun alasan saya mengatakan mereka sebagai orang culas karena pada dasarnya pemilu bukanlah medan perang yang selalu berujung kehancuran.
Pemiliu adalah amanat konstitusi negara yang “suci.” Karenanya, “praktik politik juga harus suci.” Demikian kata seorang filsuf politik berkebangsaan Italia, Giorgio Agamben.
Bagaimana Sikap Kita sebagai Warga Negara?
Menurut UU No. 7 tahun 2017, masyarakat masyarakat memiliki kewajiban penuh sebagai warga negara untuk
berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemilu. Partisipasi yang dimaksudkan tidak hanya mencakup keterlibatan sebagai pemilih, tetapi juga terlibat aktif dalam penyelenggaraan pemilu.
Artinya, masyarakat juga turut mengambil bagian dalam usaha untuk memastikan pemilihan terjadi secara langsung, bebas, umum, rahasia, jujur dan adil (Luber & Jurdil).
Menegaskan hal yang sama-sama, PKPU tahun 2022 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah…, ditekankan bahwa partisipasi masyarakat dapat ditunjukkan lewat kejujuran sebagai pemilih dan juga mengontrol pelaksanaan proses pemilihan.
Partisipasi yang dimaksudkan bisa meliputi pengawasan (sebagai PPK, PPS, PPLN, dan lainnya), peliputan dan publikasi berita hingga melakukan kajian lapangan (PKPU Pasal 9, ayat 2, huruf sampai c). Jika ditemukan sesuatu hal yang mencurigakan, kita harus berani mengambil sikap dengan melaporkan hal tersebut ke pihak yang berwenang.
Dengan melakukan hal-hal di atas selama pilkada 2024 dan seterusnya, kita dapat sebetulnya sedang memperjuangkan hak-hak kita sendiri sebagai warga masyarakat Indonesia yang demokratis.