Oleh: Dominikus Zinyo Darling
Mahasiswa Program Sarjana Ilmu Filsafat, IFTK Ledalero
Dalam sebuah catatan pinggiran, Goenawan Muhammad, seorang sastrawan Indonesia pernah menulis begini: “Lima tahun sekali, mereka mencari rakyat. Mereka datang dengan mobil atau pesawat terbang.. mereka melakukan hal-hal yang hampir tak pernah mereka lakukan.. misalnya berjoget, bernyanyi, atau lain hal…Tujuannya; Menarik perhatian. Menarik hati. Meminta… Dan akhirnya, rakyat itu pun tahu bahwa orang-orang nun jauh di atas sana juga ternyata membutuhkan simpati rakyat” (Ah Rakyat. Tempo, 2 Mei 1987).
Sebenarnya saya ingin menulis artikel ini pada masa-masa kampanye jelang Pilkada 2024.
Namun, sengaja saya tunda sampai hari ini karena hemat saya, kalimat ini bisa menjadi suatu bahan refleksi bagi kita dalam melihat dan mengawal kepemimpinan daerah satu periode ke depan.
Di sini saya ingin menambahkan suatu pertanyaan reflektif yang barangkali bisa melanjutkan apa yang pernah dituliskan oleh Goenawan puluhan tahun silam.
Saya rumuskan begini: Ke manakah mereka setelah peristiwa lima tahunan sekali itu selesai? Apakah mereka tetap di ada pada rakyat, atau kembali ke tempat nan jauh di atas?
Pilkada telah selesai. Di beberapa daerah, KPU pun sudah menyelesaikan pleno dan menetapkan paslon yang keluar sebagai pemenang.
Jika kita jeli melihat sejarah demokrasi kita, biasanya di masa ini para kandidat yang sebelumnya berlomba-lomba menarik perhatian rakyat akan sibuk dengan agenda pribadi atau partai.
Janji-janji yang dulu dikumandangkan dengan penuh semangat mulai tergerus oleh realitas.
Rakyat, yang dulu diperlakukan sebagai pusat perhatian, sering kali kembali ke statusnya sebagai “penonton pasif” dalam panggung politik.
Pasca-pilkada, perhatian terhadap rakyat cenderung berkurang. Para politisi yang telah memenangkan kursi sibuk mengamankan posisi mereka, merancang kebijakan yang lebih sering menguntungkan elit daripada masyarakat luas.
Sementara itu, mereka yang kalah biasanya lenyap dari sorotan, meninggalkan konstituen tanpa jawaban atas janji-janji yang belum terpenuhi.
Di sini, rakyat tidak lagi menjadi “pemilik kuasa,” melainkan alat yang dimanfaatkan untuk mencapai kekuasaan. Dalam pandangan yang lebih populer, fenomena ini disebut sebagai “amnesia politik,” yang kemudian dilanjutkan oleh Goenawan Muhammad sebagai konsekuensi logis dari “romantisme demokrasi” yang berlebihan selama masa kampanye.
Padahal, demokrasi semestinya memberi ruang bagi partisipasi rakyat secara aktif. Rakyat bukan hanya menjadi penonton atau pendengar pasif, melainkan juga mitra dalam proses pengambilan keputusan.
Namun, kenyataannya, pasca-pilkada sering kali justru menjadi periode di mana rakyat merasa diabaikan. Suara mereka tidak lagi diutamakan dalam kebijakan, dan partisipasi mereka dibatasi oleh birokrasi yang tidak inklusif.
Mewanti-wanti peristiwa ini terulang kembali, apa yang bisa kita lakukan?
Menuju Politik yang Lebih Berintegritas
Tentu sangatlah disayangkan jika hal-hal di atas terulang kembali di masa sekarang, di mana umur reformasi yang sudah dewasa. Sekarang adalah momentum bagi negara untuk menunjukkan kedewasaan dalam berpolitik.
Setidaknya, politik harus lebih berintegritas dari masa-masa sebelumnya. Politik yang berintegritas adalah jalan menuju kedewasaan demokrasi, karenanya ia membutuhkan membutuhkan komitmen dua pihak, yakni rakyat dan pemerintah (pemimpin).
Politik yang berintegritas membutuhkan pemimpin yang mampu menjadikan rakyat sebagai mitra sejati.
Dalam hal ini, diperlukan keberanian untuk mendengar kritik dan masukan dari rakyat, bukan sekadar menyampaikan klaim sepihak tentang keberhasilan.
Transparansi dalam pemerintahan, akuntabilitas atas kebijakan, dan keterbukaan terhadap dialog adalah langkah-langkah yang harus diambil untuk mengembalikan kepercayaan rakyat.
Namun, rakyat juga tidak bisa sekadar menjadi penonton. Dalam demokrasi, kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Oleh karena itu, rakyat perlu lebih kritis terhadap para pemimpin mereka.
Jika janji kampanye tidak dipenuhi, rakyat harus berani menyuarakan protes. Jika kebijakan tidak berpihak pada kepentingan publik, rakyat harus mampu mengorganisasi diri untuk menuntut perubahan.
Kesadaran politik rakyat adalah kunci untuk membangun demokrasi yang sehat. Jika rakyat terus membiarkan diri mereka dilupakan pasca-pilkada, siklus “politik lima tahunan” seperti yang diungkapkan Goenawan Mohamad akan terus berulang.
Namun, jika rakyat mampu menjadi aktor aktif, mereka tidak hanya akan menjadi alat politik, tetapi juga penggerak perubahan. Rakyat harus tetap aktif dalam berpolitik, misalnya dengan memberikan kritik.
Tak peduli apakah yang menjadi pemimpin adalah sosok yang dipuja dan disanjung saat kampanye, ketika ia sudah menjadi pemimpin, bukan tanggung jawab kita lagi untuk memujanya. Lebih dari itu, kita hadir untuk mengontrolnya melalui kritikan.
Kutipan Goenawan Mohamad memberikan refleksi yang dalam tentang realitas politik Indonesia. Pasca-pilkada sering kali menjadi periode di mana rakyat kembali dilupakan, dan janji kampanye memudar di tengah hiruk-pikuk kekuasaan.
Namun, kondisi ini bukanlah sesuatu yang tidak dapat diubah. Dibutuhkan komitmen dari para pemimpin untuk membangun politik yang berintegritas, serta keberanian rakyat untuk menuntut hak mereka.
Hanya dengan cara ini, demokrasi dapat menjadi alat pembebasan, bukan sekadar panggung bagi permainan kekuasaan.