Oleh: Agus Kabur
Secara mengejutkan Presiden Prabowo menggelindingkan bola panas dengan memberi usulan supaya pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2029 kembali ke DPRD.
Ini mengejutkan karena di samping Presiden melemparkan usulan itu di umur pemerintahannya yang belum 100 hari, juga karena di tengah gonjang ganjing Pilkada yang belum ada titik akhir.
Ada yang masih berproses ke Makhamah Konstitusi (MK) dan hampir semua belum dilantik. Lantas pertanyaannya ada apa ini dan memangnya ada apa?
Dari mulut Presiden keluarlah alasan tunggal, yakni “Pilkada Banyak Menghabiskan Uang”.
Karena itu pertanyaan fundamental dan substantif terbungkus dalam wacana sang Presiden dan secara tak terelakkan harus diucapkan untuk dicari jawabannya.
Pertanyaan itu berbunyi apakah memang goal Pilkada itu adalah terwujudnya penghematan? Padahal semua tahu dan sadar kalau kata kunci Pilkada langsung ini adalah “Hidupnya Demokrasi”.
Membangun demokrasi itu memang mahal karena sama pentingnya dengan pembangunan bidang kesehatan dan pendidikan.
Bagi saya wacana Presiden Prabowo ini mengungkapkan dua fakta penting yg bersifat substantif- fundamental yang terkandung dalam konsep dan praktek pilkada selama ini.
Pertama, ada semacam pengakuan dan pembenaran dari Presiden bahwa Pilkada tidak fungsional lagi.
Pilkada tidak lagi menjadi sarana demokrasi. Sudah jauh dan semakin menjauh dari target tersebut.
Tidak efektif dan tidak efisien, bahkan kontra produktif.
Kedua, menghabiskan uang banyak. Sudah barang tentu yang dimaksud disini adalah habis uang dalam arti luas yang meliputi biaya Pilkada dan ongkos politik.
Biaya pilkada berkaitan dengan anggaran yang disediakan oleh Pemerintah, sedangkan ongkos politik biaya yang dikeluarkan oleh peserta Pilkada.
Sehingga baik biaya politik maupun ongkos politik sama-sama tidak membawa daya guna dan tepat guna baik bagi pembangunan demokrasi dalam hal ini pelaksanaan Pilkada maupun dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan oleh bupati dan wali kota terpilih.
Dalam pelaksanaan Pillkada, masalah yang membawa implikasi biaya bersumber dari Penyelenggara yg tidak profesional.
Sebagai contoh kita bisa sebut emungutan suara ditunda, pemungutan suara ulang, proses hukum oleh Gakkumdu, gugatan ke MK, demo-demo terhadap KPU, Bawaslu dan lain sebagainya.
Semuanya juga membutuhkan biaya. Biaya aparat Gakkumdu, biaya pengamanan untuk TNI Polri kalau ada demo, biaya Penyidik Kejaksaan dan Hakim.
Sementara di satu sisi kinerja bupati dan walikota terpilih melalui Pilkada dengan biaya pemerintah itu justru mengecewakan dan gagal dalamm tatakelola pemerintahan.
Artinya, kata biaya tidak sebanding dengan kinerja.
Lantas bagaimana dengan ongkos politik dalam Pilkada?
Tidaklah sulit untuk kita temukan fakta bahwa praktek Pilkada langsung ini justru menjadi arena demokrasi semu, menjadi pintu masuk dan bertumbuh suburnya praktik oligarki, jadi sarana melanggengkan kekeuasaan pemilik modal.
Kalau tidak terjun langsung dalam Pilkada merebut kekuasaan,biasanya mereka menggunakan tangan lain.
Dengan demikian pentas panggung Pilkada menjadi pentas dan milik kaum berduit yang menanggung atau memiliki ongkos politik.
Saya kira di sinilah substansi dan relevansi wacana Bapak Presiden kita, sehingga demikian apakah solusinya kembali ke Pilkada melalui anggota dewan lagi atau tetap Pilkada oleh rakyat.
Konstitusi hanya menegaskan “dipilih secara demokratis. Dewan juga adalah lembaga Demokrasi. Wait and See.