Oleh: Agus Kabur
Politisi Partai Demokrat Manggarai
Melihat ke belakang secara refleksif sangat perlu, terutama dalam beberapa peristiwa penting yang kita alami, baik yang berdampak positif maupun berdampak negatif kepada masyarakat.
Daripadanya kita bisa belajar mengambil yang baik dan tidak mengulangi yang buruk lalu disempurnakan.
Pencanangan babak ziarah pengharapan bagi Gereja Katolik sejagat membuat refleksi ini menjadi suatu yang relevan.
Di sini saya mempersembahkan tulisan refleksif sebagai hasil dari pengamatan langsung dan sebagai orang yang pernah, sedang dan berkecimpung langsung dalam seluruh proses demokrasi, baik melalui partai politik maupun dalam pemilu, pileg, pilpres dan pilkada.
Beberapa refleksi kritis Pileg, siapa ada uang dia yang lolos.
Dapat dilihat pada tahap penjaringan dan penyaringan bakal caleg, hampir semua partai peserta pemilu mengalami krisis dalam mengambil keputusan tokoh atau kader mana yang bakal diusulkan untuk menjadi caleg di antara kader dan tokoh yang banyak.
Semua partai ingin menang di parlemen dan di pihak lain kemenangan parlemen identik dengan jumlah kursi yang direbut.
Maka muncullah dua jenis caleg partai, yaitu caleg kader dan caleg non kader.
Di sinilah uang menjadi dasar pertimbangan dominan, dengan implikasi lemahnya ideologi partai dan intervensi partai munculnya caleg yang kerja lintas partai, persaingan caleg internal partai yang tidak sehat, praktek papalele politik atau politik papalele (jalan dari rumah ke rumah).
Demikian pengembalian ongkos politik fokus motivasi kerja. Kursi empuk yang diduduki anggota DPRD tidak datang dari langit, tapi buah dari kerja keras dengan biaya ratusan juta bahkan miliaran, mulai dari proses pencalegan, sosialisasi hingga blusukan alat peraga
Maka tidak heran kalau kerja DPRD menampilkan praktik bagaimana mengatur uang rakyat.
Pengguna anggaran dan pejabat terkait pengadaan barang dan jasa, negosiasi dan deal-deal tertentu baik di forum terbuka maupun dibalik tirai.
Kepentingan partai dan pedoman dalam mekanisme penetapan kebijakan publik diabaikan. Singkat cerita pamit dulu dengan partai tiga atau empat tahun lagi dalam rangka pemilu baru bertemu lagi.
Masih juga ditemui ada anggota DPRD yang selama satu periode belum dikenal dan belum mengenal rakyat dari dapilnya.
Itu hanya salah satu contoh. Yang kita saksikan adalah sandiwara, memang hidup ini adalah “we have to dramatize” palsu dan semu.
Terjadilah demokrasi beku, nepotisme dan kolusi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan hampir pasti ada korupsi di sana.
Praktik korupsi tidak perlu dan tidak harus dibuktikan dengan adanya operasi tangkap tangan (OTT) atau dengan adanya proses peradilan.
Ada kekhawatiran publik karena praktik KKN sudah menjadi pengetahuan dan kebenaran umum maka tidak perlu lagi dibuktikan lewat peradilan.
Karena itu fenomena ini merupakan tantangan bagi aparat hukum dan masyarakat yang peduli termasuk parpol.