Ruteng, Vox NTT – Presiden ketujuh Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo masuk nominasi “tokoh terkorup” tahun 2024 versi lembaga Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP).
Lembaga tersebut menyoroti beberapa kasus selama Indonesia dibawa era kepemimpinan Ir. Joko Widodo, mulai dari kasus pelanggaran HAM di Papua, manipulasi Pemilu, penjarahan Sumber Daya Alam (SDA), keterlibatan dalam korupsi, proyek Ibu Kota Negara (IKN) hingga metodologi penilaian survei persepsi korupsi.
Nominasi tersebut dominan berasal dari pembaca, jurnalis, juri dan pihak lain dalam jaringan OCCRP.
Berikut informasi komprehensif mengenai data dan kriteria yang disampaikan oleh OCCRP terkait Joko Widodo dalam nominasi “tokoh terkorup” 2024:
1. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). OCCRP menyoroti beberapa kasus pelanggaran HAM yang terjadi selama masa kepemimpinan Jokowi.
2. Kasus Papua. Banyak aktivis pro-demokrasi dan pembela hak asasi manusia di Papua yang ditangkap dan mengalami kekerasan. OCCRP mencatat bahwa tindakan represif ini sering kali dilakukan tanpa proses hukum yang adil.
3. Kekerasan terhadap warga sipil. Laporan tentang penembakan warga sipil oleh aparat keamanan dalam konteks konflik di Papua meningkat, menunjukkan adanya pelanggaran hak atas hidup.
4. Kekerasan terhadap Jurnalis. OCCRP melaporkan bahwa jurnalis yang meliput isu-isu sensitif sering kali menghadapi intimidasi, penangkapan, atau bahkan kekerasan fisik. Ini menciptakan suasana ketakutan yang menghambat kebebasan pers.
5. Manipulasi pemilu. OCCRP mengidentifikasi beberapa praktik manipulasi pemilu yang mencolok. Penggunaan aparat negara untuk kepentingan politik juga diduga turut dilakukan Jokowi.
6. Intervensi proses pemilu. Terdapat laporan bahwa aparat keamanan digunakan untuk mendukung kampanye Jokowi, termasuk intimidasi terhadap pemilih dan pengawasan ketat terhadap kegiatan politik lawan.
7. Pembatasan kebebasan berpendapat. Penangkapan terhadap tokoh politik oposisi dan aktivis yang kritis terhadap pemerintah meningkat menjelang pemilu, mengurangi ruang bagi oposisi untuk bersuara.
8. Penjarahan sumber daya alam. Tuduhan mengenai penjarahan sumber daya alam mencakup, izin usaha pertambangan dan perkebunan, pemberian izin tanpa transparansi. Banyak izin diberikan kepada perusahaan-perusahan besar tanpa proses evaluasi yang transparan, sering kali melibatkan suap kepada pejabat pemerintah.
9. Konflik agraria. OCCRP mencatat banyak kasus di mana masyarakat adat kehilangan tanah mereka akibat proyek-proyek besar, sering kali tanpa kompensasi yang adil.
10. Keterlibatan dalam korupsi. Meskipun tidak ada bukti hukum yang kuat, OCCRP mencatat beberapa indikasi keterlibatan dalam praktik korupsi proyek infrastruktur.
11. Dugaan Korupsi dalam Proyek Besar. Banyak proyek infrastruktur, seperti pembangunan jalan tol dan bandara, dikaitkan dengan dugaan korupsi. Misalnya, ada laporan tentang mark-up harga dan penggunaan kontraktor yang tidak kompeten.
12. Audit keuangan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan ketidaksesuaian dalam penggunaan anggaran di beberapa proyek pemerintah, meskipun tidak semua kasus berujung pada tindakan hukum.
13. Proyek Ibu Kota Negara (IKN). OCCRP menyoroti proyek pembangunan Ibu Kota Negara baru sebagai contoh potensi kebocoran anggaran hingga Biaya proyek yang tinggi. Proyek ini diperkirakan memerlukan biaya ratusan triliun rupiah.
14. Dampak lingkungan. Proyek IKN menghadapi kritik terkait dampak lingkungan, termasuk penggusuran masyarakat lokal dan kerusakan ekosistem. Ada kekhawatiran bahwa pembangunan ini akan merusak habitat alami.
15. Metodologi penilaian. Metodologi OCCRP dalam penilaian ini mencakup survei persepsi korupsi. Menggunakan survei dari lembaga-lembaga independen untuk mengukur persepsi publik tentang korupsi di kalangan pejabat tinggi.
16. Data dari Jurnalis dan Aktivis. Mengumpulkan masukan dari jurnalis investigatif dan aktivis anti-korupsi mengenai tindakan pemerintah dan dampaknya terhadap masyarakat.
17. Analisis kebijakan. Menilai dampak kebijakan pemerintah terhadap masyarakat dan lingkungan serta bagaimana kebijakan tersebut berkontribusi pada korupsi.
Tanggapan Pengamat Hukum Agus Kabur
Menanggapi nominasi itu, seorang pengamat hukum, Agus Kabur menilai kriteria OCCRP merupakan “gempa politik” di awal tahun yang berpotensi memporak porandakan tatanan kehidupan sosial di Indonesia.
Joko Widodo terancam menjadi sasaran dampak gempa politik tersebut yang digetarkan di awal tahun ziarah pengharapan ini.
Ia lantas mengaitkan pengumuman OCCRP itu dengan penyelenggaraan kebijakan di Kabupaten Manggarai yang terkesan banyak korup.
Pengumuman nominasi OCCRP itu, kata Agus, menginspirasinya untuk mengolah rasa dan pikiran terhadap penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Manggarai.
Menurut dia, pemerintah daerah harus introspeksi diri dan mencermati beberapa kriteria yang menghantar Jokowi ke status terkorup agar bahan introspeksi itu dijadikan landasan untuk tidak korup.
Sebab, secara mutatis mutandis kriteria itu juga pasti dan bahkan harus berlaku dalam penyelenggaraan kebijakan pemerintah kabupaten manggarai dalam perspektif NKRI.
Beberapa contoh dapat dilihat banyak hak konstitusional dan hak hukum masyarakat sipil dan ASN yang menjadi korban dendam politik, ASN dinonjob, penentuan pembangunan yang tidak sesuai kebutuhan masyarakat, masih ada proses hukum yang belum jelas penyelesaian, penjinakan terhadap aparat hukum, kasus PT MMI yang memalukan, kasus dugaan suap proyek APBD yang melibatkan istri bupati, dan beberapa kebijakan publik lainnya yang tidak transparan.
Tak hanya itu, Agus juga menyentil soal kasus kekerasan terhadap jurnalis dan warga di Poco Leok yang dilakukan aparat kepolisian telah mencoreng tatanan kehidupan sosial dan menguburkan kebebasan pers untuk bersuara.
Kebijakan nasional yang menempatkan proyek geothermal di Kabupaten Manggarai rupanya menjadi ladang kekerasan dan intimidasi oleh pemerintah terhadap jurnalis dan masyarakat sipil.
“Pendek kata apa yang dilakukan Jokowi seturut temuan OCCRP bukan tidak mungkin kita temukan juga dalam penyelenggaraan pemerintah daerah, terutama di Manggarai. Pemerintah daerah dan kepolisian harus introspeksi diri,” kata Agus.
Dengan berbagai introspeksi itu Agus pun mengajak masyarakat sipil, perguruan tinggi, lembaga agama, organisasi mahasiswa dan pemuda, partai politik, tokoh agama hingga akademisi untuk menjaga harapan serta peduli, peduli dan peduli demi kesejahteraan bersama.
“Dum spiro spira. Selagi masih bernapas ada harapan. Mari kita menghidupi masa ziarah pengharapan ini dengan peduli terhadapa sesama,” ungkap Agus.
Penulis: Berto Davids