Ruteng, Vox NTT – Nasib tenaga honorer di zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai lebih respek dibanding zaman pemerintahan setelahnya.
Sebanyak jutaan honorer di Indonesia diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tanpa tes dan tanpa ada batasan usia.
Ini kebijakan yang luar biasa seorang pemimpin. Presiden SBY memenuhi janjinya dengan mengangkat terlebih dahulu 870 honorer menjadi PNS.
Berharap Presiden terpilih Prabowo Subianto lebih pro-rakyat dan mau meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Mempermudah honorer diangkat PNS secara otomatis karena latar belakang mereka honorer dengan masa pengabdian panjang.
Guru dan tenaga pendidik honorer diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dan Perjanjian Kerja (PPPK) melalui tes. Selanjutnya diangkat PNS secara otomatis seperti di era SBY.
Refleksi Tokoh Masyarakat
Tokoh masyarakat Manggarai, NTT, Agus Kabur membuat suatu catatan refkeksi terkait diskursus tentang PPPK dan gelombang demonstrasi menentang rekrutmen tenaga PPPK.
Ia menilai gelombang demonstrasi itu sudah bergerak menuju ke arah yang sangat tidak diinginkan.
Dalam diskursus dan demo-demo itu ada ketidakadilan hukum, ada pemalsuan dan ada manipulasi.
Betapa tidak, ada peserta yang tidak boleh ikut seleksi tapi dibuat supaya bisa ikut dengan berbagai cara.
“Seperti dibuat saja SK dan daftar hadir kendati secara defakto yang bersangkutan tidak pernah menjadi pegawai kontrak atau honorer di instansi tertentu,” kata Agus, Sabtu, 11 Januari 2024.
Ada contoh lain sejenis itu yang dinarasikan dalam diskursus dan demo-demo.
Kalau ini benar, maka menurut Agus, hal itu adalah perbuatan korupsi. Pada saatnya nanti aparat harus bersikap tegas untuk mengusut tuntas.
“Terlepas dari benar tidaknya praktik tersebut, ada satu pertanyaan yang dimunculkan dari diskursus dan narasi para demonstran, yaitu nama Presiden SBY hampir selalu disebut,” tegas Agus.
Ia pun menyampaikan beberapa poin antara lain; pertama, latar belakang lahirnya Undang-undang ASN.
Agus mengatakan, dalam rangka reformasi birokrasi, arahan dan kepedulian Presiden SBY waktu itu, jelas bahwa semua tenaga honorer yang bekerja di Instansi Pemerintah, baik PNS maupun yang bukan PNS harus ada dalam satu payung hukum.
Semua diberi nama ASN dengan dua kelompok besar, yaitu ASN yang PNS dan ASN dengan sebutan Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Adapun kelompok PPPK ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan SBY terhadap keberadaan tenaga yang non PNS terutama menyangkut ketenangan dan kenyamanan kerja serta jaminan masa depan istri/suami dan anak anak mereka. Beban kerja mereka terbilang sama berat dengan yang PNS.
Di samping itu setiap kali seleksi CPNS mereka selalu tidak beruntung.
“Maka bersumber aturan UU ini keluarlah kebijakan supaya semua tenaga-tenaga yang secara defacto mengabdi pada Instansi Pemerintah melalui jalur K1, K2 diangkat tanpa test menjadi PNS dan/atau PPPK,” jelas Agus.
Sementara seleksi menyangkut pengalaman kerja, umur, kedisiplinan, tanggung jawab dikaitkan dengan kemampuan keuangan negara.
“Lalu bagaimana kalau jalur K1 dan K2 sudah diangkat semua? Tentu tidak ada lagi dan ada larangan untuk mengangkat tenaga honor atau tenaga harian maupun tenaga kontrak.”
Lantas, fakta menunjukan bahwa tenaga-tenaga kontrak di sejumlah Kabupaten dan Propinsi masih ada.
“Apakah terhadap mereka diberlakukan kebijakan seperti K1 dan K2. Jawabannya, roh dan semangat serta moralnya ya tetapi harus mengikuti seleksi, tidak otomatis lulus,” kata Agus.
Mereka, kata dia, memiliki hak prioritas untuk ikut seleksi melebihi yang bukan tenaga kontrak.
Selain itu Pemda yang mempekerjakan mereka sebagai tenaga kontrak harus bertanggaung jawab secara moral terhadap kehidupan mereka, terlebih yang sudah belasan bahkan puluhan tahun bekerja.
Ia mengatakan, hati nurani dan rasa keadilan terusik apabila mereka yang sudah mengabdi lama tidak lulus sementara yang baru dan yang tidak jelas bukti pengalaman kerjanya diluluskan.
“Nah disinilah asal muasal munculnya gelombang protes. Pantas nama SBY diingat dan disebut sebut secara tak terelakkan,” katanya.
“Tentu SBY tidak mau ikut cawe-cawe karena beliau menghormati kebijakan Presiden penggantinya,” imbuh Agus.
Usul Saran
Berdasarkan refleksi dan hasil pencermatan dinamika sosial terkait gelombang demonstrasi pasca-pengumumang seleksi PPPK ini, maka Agus menyarankan agara sebaiknya pihak berwenang menelusuri secara benar dan faktual dokumen persyaratan untuk yang ikut seleksi PPPK demi cita rasa keadilan dan kebenaran nyata.
Kalau ada ditemukan manipulasi dan pemalsuan dokumen demi mengikutsertakan seseorang untuk ikut tes, maka itu kategori korupsi.
Pihak terkait, kata dia, harus diproses hukum dan peserta seleksi dibatalkan kelulusannya lalu dicabut haknya untuk ikut tes lagi.
“Mari kita peduli dan empati. Saran ini semakin relevan dengan pengumuman lembaga internasional bahwa Jokowi manusia paling korup. Semoga,” tutup Agus.
Penulis: Berto Davids