Oleh: Fransiskus Bustan
Guru Besar Linguistik Universitas Nusa Cendana
Sebagaimana kita ketahui bersama, pendidikan mengemban peran sangat penting dalam meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan manusia dalam kerangka peningkatan dan pemertahanan harkat dan martabat manusia sebagai makluk ciptaan
Tuhan paling mulia di muka bumi ini. Kebermaknaan peran pendidikan tersebut menyatu dan menyata secara jelas dalam tujuan pendidikan, memanusiakan manusia (to make humans human), yang muaranya disasarkan pada pemanusiaan manusia.
Dalam upaya mencapai tujuan dan sasaran pendidikan dimaksud, peran sekolah dalam berbagai jenjang pendidikan mulai dari jenjang jendidikan anak usia dini sampai dengan jenjang pendidikan tinggi niscaya sangat penting.
Mengapa? Karena selain sebagai suatu lembaga pendidikan formal, sekolah juga mengemban peran sebagai pusat kebudayaan dan pusat peradaban bagi manusia.
Karena itu, tidak heran jika persoalan kualitas merupakan titik incar utama yang mesti menjadi sasaran perhatian dalam proses dan mekanisme pengelolaan pendidikan di setiap jenjang pendidikan sekolah.
Menyadari pentingnya peran yang diemban sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, pusat kebudayaan, dan pusat peradaban bagi manusia, pemerintah Indonesia
tidak ketinggalan kereta dalam membenahi proses dan mekanisme pengelolaan pendidikan sekolah dalam berbagai jenjang pendidikan.
Salah satu ancangan operasional yang digagasi adalah perbaikan gaji dan pemberian tunjangan untuk tenaga pendidik seperti guru dan dosen agar mereka selalu menampilkan kinerja yang lebih baik demi menghasilkan luaran yang mumpuni sesuai tuntutan dan kebutuhan masyarakat.
Ancangan itu bertalian secara maknawi dengan pandangan Hofstede, seorang pionir dalam bidang budaya sepesialisasi psikologi lintas budaya Belanda, yang menyatakan, organization is good, but performance is better, yang secara leksikal berarti organisasi boleh baik, tetapi kinerja mesti lebih baik.
Mengapa? Karena kesuksesan manajemen suatu organisasi, tidak terkecuali organisasi yang berkiprah dalam dunia pendidikan, ditakar secara empiris dari kinerja staf, tidak terkecuali kinerja staf pengajar sebagai tenaga pendidik dalam satuan pendidikan.
Karena itu, menengarai pentingnya kinerja sebagai salah satu kunci sukses suatu organisasi pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan sesuai resapan asa kita bersama, kinerja dosen sebagai staf pengajar mesti dihargai secara layak melalui pemberian tunjangan kinerja (tukin).
Akan tetapi, entah apa lacur, resapan asa dosen ASN Kemdiktisaintek menerima tunjangan kinerja sebagai penghargaan atas jerih payahnya sebagai tenaga pendidik di kampus milik pemerintah ternyata menuai angin.
Mengapa? Karena fakta menunjukkan bahwa sudah beberapa tahun, tunjangan kinerja (tukin) dosen ASN Kemdiktisaintek tidak atau belum dibayar sepeser.
Karena itu, suatu hal yang wajar jika dosen ASN Kemdiktisaintek seluruh Indonesia yang tergabung dalam Aliansi Dosen ASN Kemdiktisaintek Seluruh Indonesia (ADAKSI) menggelar unjuk rasa di depan kantor Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, beberapa waktu silam menuntut pembayaran tukin.
Aksi unjuk rasa itu digelar dalam kemasan unjuk akal melalui aksi simbolik berupa pengiriman karangan bunga sebagai tanda duka dan sekaligus sebagai media pengingat kepada pemerintah melalui ini Kemdiktisaintek dan para elit politik terkait agar jangan lupa janji yang sempat dikuakkan ketika mereka tampil di atas pentas selama kontestasi pesta demokrasi berlangsung.
Banyak fakta menunjukkan, selama kontestasi pesta demokrasi berlangsung, berbagai janji manis diumbar ke sana ke mari dengan substansi pesan adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui jalur pendidikan sekolah, termasuk pendidikan tinggi sesuai kapasitas perannya sebagai wadah persemaian meteor intelektual calon pemimpin masa depan.
Akan tetapi, ibarat kata pepatah lidah tak bertulang, setelah pesta demokrasi usai digelar dan kemenangan sudah dicapai, sebagian janji manis yang dikuak selama pesta demokrasi berubah rupa menjadi tetesan air tuba.
Dosen ASN Kemdiktisaintek adalah kelompok tenaga pendidik yang merasakan pahitnya tetesan air tuba tersebut karena tunjangan kinerja (tukin) tidak diterima sepeser dalam beberapa tahun sementara tumpukan urusan administrasi pendidikan dijejali setiap saat sehingga hampir tidak ada waktu tersisa menyiapkan materi perkuliahan yang berkualitas sesuai selera kurikulum merdeka.
Sebagaimana dilansir beberapa media elektronik, kemungkinan pegelaran aksi unjuk rasa dan unjuk akal Adaksi akan dilanjutkan lagi sampai mendapat jawaban pasti dari pihak pemerintah.
Tambahan pula, disinyalir tunjangan kinerja untuk tahun 2025 masih sebuah tanda tanya karena perangkat hukum sebagai sumber rujukan dan acuan yuridis sebagai dasar pembayaran masih dalam proses penyelesaian. Sampai kapan proses penyelesaian perangkat hukum tersebut tuntas juga masih merupakan sebuah tanda tanya.
Karena itu, aksi unjuk rasa Adaksi wajar digelar lebih marak karena dosen, sebagai halnya dengan tenaga pendidik yang lain, berada di garda depan sebagai ujung tombak yang mesti bekerja berdarah-darah sembari menguras peluh demi mensukseskan pendidikan di Indonesia sesuai resapan harapan yang sempat diumbar melalui janji manis selama pesta demokrasi berlangsung.
Aksi simbolik melalui pengiriman karangan bunga yang digelar Adaksi tentu bukan sekadar unjuk rasa, tetapi juga merupakan sebuah unjuk akal.
Mengapa? Karena Adaksi tidak mau diakali lagi dengan pepatah lidah tak bertulang sehingga tinggi gunung seribu janji, namun ternyata lain di bibir, lain di hati.
Adaksi menggelar aksi tentu bukan bertujuan mencari sensansi agar diakomodasi dengan posisi basah yang meski gajinya kecil, tetapi pendapatannya niscaya besar.
Substansi aksi yang digelar Adaksi adalah mencari keadilan dan pemerataan demi kesuksesan pendidikan yang selalu didengungkan dan didendangkan sebagai wadah yang mewahanai proses pemanusiaan manusia Indonesia sesuai hakikat dan tujuan pendidikan.