Oleh: Rikardus Mbusa
Nusa Tenggara Timur (NTT) sering kali diidentikkan dengan kemiskinan, keterbatasan infrastruktur, dan ketertinggalan dalam pembangunan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 menunjukkan bahwa sekitar 20% penduduk NTT masih hidup di bawah garis kemiskinan, dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang berada di peringkat ketiga terendah secara nasional.
Di tengah kompleksitas masalah tersebut, kehadiran “Koperasi Merah Putih” di NTT patut mendapat perhatian.
Program yang digagas pemerintah ini dianggap sebagai salah satu strategi untuk memperkuat ekonomi kerakyatan, mengurangi kesenjangan sosial, dan mendorong kemandirian masyarakat.
Namun, pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana koperasi ini mampu menjawab tantangan struktural di NTT? Apakah model koperasi konvensional masih relevan untuk diterapkan di wilayah dengan karakteristik geografis, sosial, dan kultural yang begitu unik seperti NTT?
Koperasi Merah Putih: Solusi atau Sekadar Simbol?
Koperasi Merah Putih digadang-gadang sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk merevitalisasi gerakan koperasi di Indonesia.
Berbeda dengan koperasi umumnya, program ini diklaim memiliki pendekatan yang lebih terintegrasi dengan dukungan teknologi, pembinaan intensif, serta akses permodalan yang lebih mudah melalui kolaborasi dengan perbankan.
Tujuannya jelas, memberdayakan UMKM, menyerap tenaga kerja lokal, dan menciptakan rantai nilai ekonomi inklusif.
Di NTT, program ini diharapkan dapat menyentuh sektor-sektor krusial seperti pertanian, perikanan, peternakan, dan pariwisata. Misalnya, di Kabupaten Sumba Timur yang memiliki potensi besar dalam produksi jagung dan sorgum, koperasi bisa menjadi wadah penguatan modal dan pemasaran.
Di Flores dan Alor, sektor perikanan yang masih tradisional membutuhkan dukungan teknologi dan manajemen modern. Sementara di Labuan Bajo, koperasi bisa menjadi penggerak ekonomi masyarakat di tengah geliat pariwisata yang kerap didominasi investor besar.
Namun, pertanyaan kritisnya adalah apakah model koperasi yang “diimpor” dari pusat ini sesuai dengan realitas lokal NTT?
Potensi Ekonomi NTT: Antara Kekayaan Alam dan Ironi Kemiskinan
NTT adalah wilayah paradoks. Di satu sisi, provinsi ini memiliki kekayaan alam melimpah.
Dari lahan pertanian yang subur di Manggarai, tambak garam di Rote Ndao, hingga wisata bahari kelas dunia di Komodo, potensi ekonomi NTT sebenarnya sangat menjanjikan.
Namun, akses terbatas terhadap teknologi, infrastruktur yang buruk, dan minimnya kapasitas SDM menyebabkan sumber daya ini belum mampu diolah secara optimal.
Di sinilah Koperasi Merah Putih bisa berperan sebagai katalisator. Dengan pendekatan kolektif, koperasi dapat membantu petani dan nelayan mengakses pasar yang lebih luas, mendapatkan harga jual yang adil, serta mengurangi ketergantungan pada tengkulak.
Contoh sukses seperti Koperasi Tani Mbay di Kabupaten Nagekeo yang berhasil meningkatkan produksi kopi organik menunjukkan bahwa model koperasi bisa bekerja jika dikelola secara profesional dan transparan.
Tantangan yang Tak Boleh Diabaikan
Meski potensinya besar, penerapan Koperasi Merah Putih di NTT tidak bisa lepas dari sejumlah tantangan berat:
Pertama, Infrastruktur yang Memprihatinkan. Jalan rusak, listrik yang belum merata, dan akses internet terbatas menjadi penghambat utama distribusi barang dan layanan koperasi.
Misalnya, petani di pedalaman Sumba kesulitan mengangkut hasil panen ke pasar karena jalur transportasi yang buruk. Tanpa perbaikan infrastruktur, koperasi hanya akan menjadi “menara gading” yang tidak menyentuh akar rumput.
Kedua, Mentalitas dan Budaya. Masyarakat NTT, terutama di daerah pedesaan, masih kuat memegang sistem ekonomi subsisten dan pola pikir tradisional.
Koperasi membutuhkan budaya kolektivitas dan kepercayaan terhadap sistem manajemen modern, yang mungkin bertentangan dengan adat setempat.
Misalnya, di beberapa wilayah, keputusan ekonomi masih didominasi oleh kepala adat, bukan berdasarkan musyawarah koperasi.
Ketiga, Kapasitas SDM dan Manajemen. Minimnya literasi finansial dan keahlian manajerial menjadi kendala serius.
Banyak koperasi di NTT gagal karena salah urus, korupsi, atau ketiadaan pembukuan yang transparan.
Program Koperasi Merah Putih harus disertai pelatihan intensif bagi pengurus dan anggota, serta pendampingan berkelanjutan.
Keempat, Intervensi Pemerintah yang Tidak Tepat Sasaran. Sejarah menunjukkan bahwa program pemerintah kerap terjebak dalam proyek seremonial tanpa keberlanjutan.
Jika Koperasi Merah Putih hanya fokus pada pencairan dana tanpa membangun sistem yang mandiri, program ini berisiko menjadi “koperasi instan” yang mati setelah anggaran habis.
Kelima, Membangun Koperasi yang Kontekstual. Agar Koperasi Merah Putih tidak sekadar menjadi slogan, diperlukan pendekatan yang adaptif terhadap karakteristik NTT.
Integrasi dengan Kearifan Lokal
Koperasi harus menghormati sistem nilai lokal. Misalnya, di Manggarai, model “lingko” (pembagian lahan adat) bisa diadaptasi menjadi basis pengelolaan koperasi pertanian.
Di Rote, koperasi garam bisa menggabungkan teknik modern dengan pengetahuan tradisional pembuatan garam.
Koperasi perlu melibatkan pemerintah daerah, LSM, akademisi, dan sektor swasta. Universitas di NTT bisa menjadi mitra dalam riset dan pengembangan produk, sementara perusahaan swasta bisa membuka akses pasar.
Kemudian, digital untuk pemasaran, pembukuan, dan pelatihan daring bisa mengatasi keterbatasan geografis. Contohnya, aplikasi e-koperasi yang terhubung dengan pasar online nasional.
Fokus pada Sektor Unggulan
Koperasi harus spesifik sesuaipotensi daerah. Di Timor Tengah Selatan yang kering, koperasi bisa fokus pada pengolahan hasil ternak seperti susu dan kulit.
Sementara di Flores, pengembangan koperasi wisata berbasis komunitas bisa menjadi solusi.
Keberhasilan Koperasi Merah Putih di NTT tidak bisa diukur hanya dari angka statistik, tetapi dari seberapa besar ia mampu memberdayakan masyarakat marginal.
Koperasi harus menjadi alat untuk mendistribusikan akses ekonomi secara merata, terutama bagi perempuan dan kelompok rentan yang sering termarjinalkan dalam pembangunan.
Di sisi lain, program ini juga harus menjadi momentum untuk mengoreksi paradigma pembangunan di NTT yang selama ini cenderung eksploitatif.
Koperasi sejatinya adalah bentuk perlawanan terhadap sistem ekonomi yang meminggirkan rakyat kecil.
Dengan semangat gotong royong, masyarakat NTT bisa bangkit dari ketergantungan menjadi pelaku ekonomi yang mandiri.
Koperasi Merah Putih masuk NTT adalah langkah progresif, tetapi ia bukan solusi ajaib.
Kesuksesannya bergantung pada keseriusan semua pihak dalam membangun sistem yang inklusif, berkelanjutan, dan berbasis kebutuhan lokal.
Jika dijalankan dengan prinsip transparansi, partisipasi, dan keadilan, koperasi ini bukan hanya akan mengubah wajah ekonomi NTT, tetapi juga menjadi bukti bahwa ekonomi kerakyatan bisa menjadi pondasi kokoh untuk memutus mata rantai kemiskinan.
Harapannya, merah putih bukan hanya warna bendera, tetapi simbol semangat masyarakat NTT untuk meraih kemandirian dan kesejahteraan.