Oleh: Filmon Hasrin
Tinggal di Jakarta
Perbedaan pendapat antara DPRD dan PMI Manggarai Timur (Matim) terkait jumlah dana yang disalurkan ke PMI menjadi polemik serius. Pasalnya, hingga saat ini percakapan di ruang publik pun masih dihiasi dengan topik dana Palang Merah Indonesia (PMI), bahkan beberapa media lokal masih mengorbitkan topik tersebut.
Mengapa topik tersebut menjadi isu yang “seksi” diperbincangkan karena terakait dana yang dikaitkan dengan kinerja dan fasilitas yang tersedia di PMI, sebagaimana yang disampaikan oleh DPRD Matim melalui media suaraburuh.com pada Sabtu, 22 Maret 2025.
Seharusnya DPRD perlu menunjukan bukti yang valid, misalnya, jika memang benar 500 juta dalam satu tahun dan satu miliar dalam dua tahun, yah, perlu dilampirkan buktinya kepada publik. Pembuktian yang dimaksud, salah satunya adalah jumlah dana dalam proposal yang disetujui Pemerintah Daerah.
Begitupun poin bantahan yang disampaikan oleh Ketua PMI yang mengatakan 500 juta itu masih pada tahap proposal dan tidak pernah disetujui.
Kemudian, yang diterima PMI hanya sebesar 275 juta pada tahun 2023 dan 100 juta pada tahun 2024 sebagaiamana yang diberitkan NTT VIVA, (Senin, 24/03/25).
Pembantahan tersebut perlu ditunjukan dengan bukti juga kepada publik atau DPRD, apalagi DPRD sebagai sebagai lembaga pengawas.
Jika tidak, maka DPRD dan masyarakat Matim selalu membanjiri ruang publik dengan melontarkan pertanyaan seputar Dana PMI.
Selain itu, terkait penyampaian Ketua PMI di VIVA NTT pada Senin, 24 Maret 2025 yang menjelaskan tentang gaji PMI, di mana hanya dengan hibah 100 juta diperuntukan menggaji Kepala Markas sebesar 700 ribu per bulan, Staf sebesar 550 hingga 650 ribu per bulan.
Sementara itu, Dokter sebagai Kepala UDD tidak digaji tetapi hanya diberi insentif. Hal ini juga perlu ditunjukan dengan bukti seperti slip gaji atau LPJ pada 5 tahun terkahir, dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja (RAP).
Saya mengapresiasi kegiatan kemanusiaan PMI Matim, berani mengadakan kegiatan banyak meskipun dengan anggaran sangat terbatas, tetapi perlu dipikirkan dengan matang agar boleh memilah kegiatan mana yang harus didahulukan meskipun semuanya untuk kebaikan Bersama.
Tentu saja kegiatan PMI berdasarkan hukum sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2018 tentang Kepalangmerahan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pelayanan Darah.
Kemudian, tugas PMI adalah “memberikan bantuan kepada korban konflik bersenjata, kerusuhan, dan gangguan keamanan lainnya, memberikan pelayanan darah yang dilakukan melalui Unit Donor Darah (UDD) PMI, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, melakukan pembinaan relawan, melaksanakan pendidikan dan pelatihan yang berkaitan dengan kepalangmerahan, menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan kegiatan kepalangmerahan, membantu dalam penanganan musibah dan/atau bencana di dalam dan di luar negeri, membantu pemberian pelayanan kesehatan dan sosial, dan melaksanakan tugas kemanusiaan lainnya yang diberikan oleh pemerintah.”
Terkait kegiatan dalam bidang olahraga misalnya, sebagaimana dalam ulasan FloresEditorial.com (Senin, 24/03/25), “untuk kegiatan kejuaraan di bidang olahraga di Matim, PMI sering juga diminta untuk layanan P3K: kejuaraan Kempo, Taekwondo, Badminton, Motor Cross, Bupati Cup, dan turnamen sepak bola antar-klub.
Sehabis kegiatan itu, kadang dikasih uang permen untuk staf PMI yang kerja tanpa SPPD.”
Menurut saya, selain berpikir mengedepankan humanis, PMI mesti berpikir juga dengan “kemanusiaannya sendiri.” Siapa yang memperdulikan kemanusiaan PMI? Jangan memaksa melaksanakan kegiatan sosial lainnya di tengah dana yang sangat terbatas, mending fokus melengkapi kebutuhan darah pasien, pembenahan gaji, dan fasilitas di PMI.
Selain itu, PMI harus berfokus pada pemberian informasi atau penjelasan kepada pendonor atau masyarakat Matim terkait kekurangan stok darah yang terbatas dan pendoping kesehatan untuk pendonor yang berubah-ubah, misalnya, pendonor biasanya diberikan susu, telur, vitamin, dan obat tambah darah namun terakadang pendonor hanya diberikan susu tanpa telur, dan terkadang juga diberikan, malkist, dan obat tambah darah tanpa telur dan susu.
Pertanyaan lain, mengapa PMI terkadang lama mendapatkan darah dan justru keluarga pasien yang berhasil mendapatkan darah tersebut? Hal semacam ini tentu menjadi pertanyaan masyarakat dan DPRD sebagai perwakilan suara rakyat juga melontarkan pertanyaan yang sama kepada PMI.
Kemanusiaan
PMI sebagai lembaga kemanusiaan yang bergerak di bidang kesehatan, kebencanaan, dan kemanusiaan lainnya tentu membutuhkan dukungan yang maksimal, minimal standar agar bisa melaksanakan kegiatan dan menyediakan faslitas memadai.
Manusia mengalami sakit hampir setia hari, rumah sakit hampir tak pernah sepih, kesedihan, kegelisahan, bahkan teriakan menyelimuti manusia.
Sungguh derita, darah yang keluar dari dalam tubuh bahkan hilang begitu saja di dalam tubuh tanpa harus keluar melewati kulit juga merupakan fakta yang sering terjadi di rumah sakit. PMI hadir untuk menyelamatkan nyawa orang sakit dan saya sendiri juga sering berkorban untuk orang sakit dengan mendonor darah puluhan kali.
Sebagai DPRD juga tentu sangat berperan, selain mengawasi kinerja PMI, mereka harus menyuarakan terkait kekurangan fasilitas dan kinerja PMI agar Pemerintah Daerah berjuang menjawab kebutuhan Masyarakat yang sakit.
Kedua Lembaga ini saling melengkapi dan saling menyoroti, meskipun PMI sebagai lembaga independen atau tidak terkait dengan partai politik tetapi secara kemanusiaan justru saling membutuhkan.
Nilai kemanusiaan ini yang harus terpatri dan tetap tumbuh subur dalam diri manusia, dia tidak peduli latar politik. Sebagai contoh, jika DPRD mengalami sakit pasti membutuhkan darah di PMI dan jika PMI bekerja tidak benar DPRD harus menyikapinya dengan tegas, apalagi terkait penggunaan dana. Salam humanis.