Oleh: Dholin Abu
Mahasiswa Semester IV IFTK Ledalero
Pada dasarnya manusia adalah mahluk sosial yang tak dapat hidup sendiri tanpa adanya manusia lain. Manusia membutuhkan manusia yang lain untuk mengidentifikasi hidupnya.
Dalam hal ini manusia perlu membutuhkan individu yang lain untuk belajar berinteraksi dalam masyarakat secara sistematis.
Interaksi itu bertujuan membangun dialog antar individu agar setiap individu saling mengerti dan memahami akan persamaan derajat.
Persamaan derajat dilihat sebagai satu hal yang paling utama hidup bermayarakat. Implikasi positif dapat timbul jika harkat dan derajat manusia dijunjung tinggi oleh manusia itu sendiri.
Akan tetapi realitas yang tampak dalam hidup bermayarakat adanya diskriminasi secara frontal. Diskriminasi merupakan suatu bentuk pembedaan.
Pembedaan itu hadir dengan beragam macam diantaranya adalah pembedaan warna kulit, suku agama dan jenis kelamin.
Diskriminasi itu seringkali terkukuh kuat dalam budaya, misalnya dalam budaya yang menganut system patriarki yang seringkali berbasis gender.
Fenomena diskriminasi yang paling tampak dalam kehidupan manusia adalah pembedaan jenis kelamin.
Dalam hal ini perempuan seringkali menjadi korban diskriminasi dari kaum laki-laki.
Faktor utama diskriminasi yakni berawal dari sisitem patriarki. Sebagai akibat dari hal ini maka lahirlah gerakan feminis yang menuntut keadilan, agar diskriminasi, kekerasan dan penindasan bagi pihak perempuan dapat dihilangkan.
Perempuan adalah manusia yang paling rentan mengalami diskriminasi. Perempuan bukan dilihat sebagai subjek melainkan dilihat sebagai objek yang diberdayakan oleh kaum laki-laki.
Adanya distingsi bagi perempuan diakibatkan oleh kentalnya budaya dan system patriarki yang memojokan perempuan sebagai mahluk yang berada dibawah kekuasaan kaum laki-laki.
Pihak laki-laki hadir sebagai subjek yang tidak menelaraskan ketidaksetaraan pada perempuan yang secara eksplisit mensubordinasikan pihak perempuan.
Pengalaman perempuan atas perbedaan dan ketidaksetaraan gender melahirkan perlawanan untuk menjunjung tinggi martabat perempuan.
Salah satu cara perempuan agar keluar dari diskriminasi frontal, ketidaksetaraan, dan penindasan pada posisi sosial, budaya dan politik adalah dengan melakukan gerakan feminis sebagai tujuan untuk mencapai kesetaraan gender.
Ketimpangan atau diskriminasi gender yang terjadi diakibatkan masih melekatnya budaya patriarki. Sebagian besar daerah di Indonesia masih menganut system patriarki.
Manggarai adalah salah satu daerah di Indonesia yang masih memeluk erat sistem patriarki.
Sistem patriarki telah diimplementasikan secara kuat dalam budaya Manggarai. Dalam budaya patriarki berbagai aspek negatif termuat sangat mencolok.
Budaya patriarki menganut unsur ketidakadilan gender karena memposisikan perempuan sebagai kelas dua. Sistem patriarki memberikan suatu pengaruh yang sangat berdampak terhadap perempuan.
Tentunya masalah ini menjadi suatu maslah universal yang mesti diberantasi dan mesti adanya upaya untuk mendekonstruksinya.
Sistem patriarki mempromosikan ketidakadilan gender, hal ini dapat dilihat secara langsung dari sistem yang termuat didalamnya.
Dalam sistem patriarki laki-lakilah yang mendominasi dan mempunyai otoritas dalam berbagai aspek, baik aspek ekonomi, sosial, budaya maupun politik.
Dalam dominasi terdapat kekuasaan dan hak yang memposisikan laki-laki dalam mengontrol kehidupan termasuk perempuan.
Praktik ketidakadilan gender sangat mencolok kuat dalam sistem patriarki. Misalnya dalam konteks budaya Manggarai, banyak persepsi yang melekat pada anak laki-laki bahwa anak laki-laki dinilai lebih produktif untuk mengangkat derajat dan martabat keluarga.
Pandangan ini dinilai sangat tidak logis, karena pada dasarnya perihal mengangkat derajat dan martabat dari keluarga tergantung pada kesuksesan yang diraih oleh setiap anak baik anak laki-laki maupun anak perempuan.
Persepsi ini dianggap sebagai basis kebebasan dalam masyarkat yang belum memiliki sikap yang pasti, tetapi malah memberikan tekanan kepada anak perempuan.
Persoalan diskriminasi gender membuat perempuan terbebani dan enggan untuk mengubah hidupnya.
Akibat dari ketidaksetaraan ini pada akhirnya memunculkan gerakan feminis yang menggugat system patriarki dan menggugat dominasi laki-laki atas perempuan.
Feminisme hadir sebagai gerakan frontal untuk mengkritik system patriarki yang sangat melekat pada masyarakat.
Gerakan ini digalakan sebab adanya pembedaan yang terstruktur dalam budaya patriarki. Adanya pembedaan atau distingsi melahirkan polarisasi yang kuat bagi perempuan dan laki-laki.
Perempuan tampil untuk menunjukan bahwa perempuan berhak untuk diakui dalam kehidupan dan dalam berbagai aspek terlebih khusus dalam ranah politik.
Sebenarnya awal dari diskriminasi gender adalah hasil dari budaya patriarki yang selalu mengedepankan pihak laki-laki sebagai subjek utama dalam kehidupan masyarakat. Selama berabad-abad perempuan selalu menjadi nomor dua dalam kehidupan bermasyarakat.
Tentu hal ini membawa pengaruh bagi perempuan yang merasa hal ini tidak adil baginya. Seolah–olah perempuan dilihat sebagai manusia yang tak berdaya tanpa bisa melakukan apa- apa seperti kaum laki-laki.
Perempuan hanya dijadikan sebagai sarana dalam pekerjaan domestik dan seringkali termarjinalkan dalam ranah politik, hal demikian terbukti sampai sekarang.
Dalam ranah domestik perempuan menjadi subjek atau pelaku utama yang mengatur segalanya, sedangkan kaum laki-laki tampil di ranah publik sebagai subjek yang berdaya mengatur segala struktur kehidupan.
Hasil dari persepsi bahwa perempuan memiliki sifat sabar dan lebih rajin memelihara dan menata, serta tidak cocok menjadi aktivis politik dan semua pekerjaan domestik rumah tangga diembankan oleh perempuan.
Persepsi inilah yang mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat yang dilihat sebagai personal branding dan kodrat kaum perempuan.
Secara tidak sadar hal ini memberikan pengaruh negatif bagi perempuan dan memberikan batasan pada perempuan untuk terlibat dalam berbagai aspek terlebih khusus dalam ranah politik.
Kurangnya kaum perempuan dalam ranah politik dipengaruhi oleh berbagai persoalan yang berawal dari sistem patriarki yang memberi batas pada kebebasan perempuan untuk berpartisipasi dalam ranah politik.
Perempuan seringkali tereliminasi dalam berbagai urusan politik karena perempuan dianggap tidak bisa menjadi seorang pemimpin.
Hal ini disebabkan oleh sistem patrairki yang membelenggu kaum perempuan. Masalah ini menjadi realita yang tampak dan sedang dialami oleh kaum perempuan di Manggarai.
Kedudukan perempuan dalam kehidupan social diatur oleh tradisi, hak dan kewajiban kaum perempuan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki.
Kaum perempuan hanya mendapatkan peran kedua dalam pelaksanaan tradisi. Dalam budaya Manggarai seringkali perempuan berada dibelakang dapur ketika melakukan tradisi-tradisi dalam budaya Manggara.
Lebih lanjut, Ketika seorang ibu di Manggarai melahirkan, pertanyaan perdana yang dilontarkan dari luar pintu kamar persalianan adalah “ata one” ko ata “pe’ang”.
Kata ata one berarti orang dalam (anak laki-laki, pewaris). Kata ata pe’ang berarti orang luar (Perempuan bukan pewaris).
Dari contoh sederhana ini terlihat jelas bagaimana budaya patriarki melanggengkan ketidakadilan secara kontras bagi kaum perempuan di Manggarai. Hal sederhana ini memberikan dampak terhadapa kurangnya partisipasi perempuan Manggarai dalam ranah politik.
Kita dapat menarik konklusi bahwa budaya patriarki sebagai salah satu pemicu ketidakadilan gender pemberi batas pada partisipasi perempuan Manggarai untuk terlibat dalam ranah politik.
Dengan gerakan feminis kaum perempuan perlahan mendobrak sistem patriarki yang dengan leluasa memberi batasan pada kaum perempuan dalam berbagai aspek terlebih khusus dalam ranah politik.
Penelusuran penulis, 80 persen pekerjaan domestik selalu menjadi tanggung jawab sepenuhnya bagi kaum perempuan di Manggarai.
Sungguh jelas bahwa sistem patriarki menjadi racun utama terjadinya diskriminasi gender dalam hal pembagian kerja.
Asumsi yang sering muncul dalam ranah domestik bahwa perempuan cocok untuk mengambil tugas yang ringan saja.
Akan tetapi jika ditelisik lebih dalam, bahwasannya pekerjaan domestik yang diembankan bagi perempuan juga lebih berat dibandingkan pekerjaan laki-laki diluar rumah tangga yang hanya memiliki satu tujuan yakni mencari nafkah.
Hal ini menjadi persoalan bagi kaum perempuan, seakan perempuan menjadi budak dalam pekerjaan domestik.
Hal ini juga menjadi faktor dan bias utama yang memberi batasan kepada perempuan Manggarai untuk terlibat dalam ranah politik.
Faktor lain yang mempengaruhi kurangya partisipasi perempuan Manggarai dalam ranah politik yakni dijelaskan pada bagian berikut ini.
1. Peran ganda
Dalam hal ini perempuan harus menjalankan dua peran ganda sekaligus yakni sebagai ibu Rumah tangga dan wanita berkarier.
Beban ini biasanya menyulitkan mereka untuk berkomitmen penuh dalam karier politik yang menuntut waktu dan energi yang besar.
Keadaan ini juga menyulitkan mereka dalam karir karena hal ini juga dapat menguras tenaga.
Peran ganda diembankan oleh perempuan yang sudah berkeluarga. Di satu sisi ia mesti bertanggung jawab dalam ranah domestik, melayanai urusan rumah tangga serta melayani suami dan anak-anak.
Di sisi lain ia harus bertanggung jawab dalam kariernya. Lebih lanjut, perempuan yang berkarier juga dominan mengambil tugas ganda yakni tugas dalam kariernya dan juga tugas rumah tangga.
Sedangkan pihak laki-laki dengan bebas bersantai ketika pulang bekerja dari luar rumah tangga dan tanpa sedikitpun mengambil pekerjaan domestik.
Perempuan yang berkarier harus selalu siap baik persiapan fisik maupun persiapan mental.
Perempuan dalam kariernya juga dituntut untuk selalu berpenampilan rapi dan ia mesti mengeluarkan biaya yang cukup banyak untuk membeli perlengkapan kecantikannya.
Secara ekonomis hal ini juga merugikan perempuan itu sendiri, karena jika dikalkulasikan biaya perelngkapan kecantikan tersebut yakni setengah dari gaji yang diperolehnya.
2.Tantangan keuangan
Masalah keuangan seringkali masalah yang menjadi faktor utama kurangnya partisipasi perempuan Manggarai dalam ranah politik.
Misalnya jika perempuan Manggarai mencalonkan diri menjadi anggota legislatif, dan pada saat kampanye politik seringkali membutuhkan biaya yang begitu besar dan perempuan seringkali mengalami akses terbatas ke sumber daya finansial.
Pendapatan perempuan Manggarai tidak terlalu besar bila dibandingkan dengan pendapatan laki-laki.
Upah perempuan di Manggarai jika ia berkarier seringkali berbeda dengan upah yang didapatkan oleh kaum laki-laki.
Pada hal bentuk pekerjaan yang dilakukan sama namun pengaruh pikiran kita yang terus melekat pada perbedaan gender seringkali mengabaikan keadilan.
Sistem pembagian upah secara gender mengakibatkan perempuan mengalami kemandekan dan kemiskinan secara finansial.
Tantangan keuangan ini menjadi faktor penghambat pada perempuan Manggarai untuk terlibat dalam ranah politik, mengingat bahwa biaya yang dikeluarkan sangat besar.
3. Kurangnya Dukungan dari Keluarga
Faktor ketiga ini seringkali terjadi jika perempuan ingin maju untuk terlibat dalam ranah politik.
Kurangnya dukungan dari keluarga terjadi karena anggapan orang Manggarai bahwa perempuan tidak cocok untuk menjadi seorang pemimpin.
Anggapan ini secara langsung mematahkan semangat perempuan Manggarai untuk terlibat dalam politik. Dukungan keluarga sebenarnya menjadi arus utama yang dapat mengalirkan cita-cita perempuan.
Akan tetapi kecendrungan adanya sifat pesimisme membuat kaum perempuan kehilangan pendukung utama dalam hidupnya.
Keluarga seharusnya menjadi sarana utama yang mendorong kaum perempuan untuk terlibat dalam ranah politik.
Pentas politik dunia telah menyajikan kiprah politis sekian banyak kaum perempuan.
Ada yang menjadi presiden, perdana mentri, gubernur, bupati, dan berbagai jabatan politis lainnya.
Namun, mengapa hal tersebut masih belum terwujud di Manggarai. Jika dilihat dari kemampuan berpikir perempuan juga cendrung hebat dan kemampuan memimpinnya setara dengan laki-laki.
Akan tetapi keterlibatan perempuan Manggarai dalam ranah politik begitu minim. Bila dilihat secara riil, ada begitu banyak kaum perempuan Manggarai yang berkualitas, yang bisa mengelola pemerintahan dan mampu bersaing dalam ranah politik.
Berdasarkan data dari badan pusat statisik partisipasi perempuan Manggarai dalam ranah politik yang di input pada tahun 2022 dan 2023 hanya berkisar 11,43 persen.
Berbeda dengan daerah lain di NTT, presentase partisipasi perempuan dalam ranah politik cukup meningkat di tahun 2022 dan 2023.
Kenyataan tersebut sebenarnya dapat mendorong perempuan agar mampu bersaing dengan laki-laki dalam ranah politik.
Perempuan Manggarai mesti menunjukan dirinya sebagai pemimpin yang dapat berkiprah dengan bijak meunuju Manggarai maju.
Hemat penulis, solusi agar perempuan Manggarai berpartisipasi yang sama dengan laki-laki dalam ranah politik adalah dengan mendekonstruksi persepsi, serta aturan yang memojokan mereka berada pada status sosial paling bawah dan mesti perempuan harus mampu bersaing dengan laki-laki.
Dengan adanya upaya mendekonstruksi budaya patriarki maka persoalan mengenai ketidakadilan bagi pihak perempuan akan sendirinya hilang jika segala aspek kehidupan dinilai sama tanpa melihat perbedaan jenis kelamin.
Memberikan akses yang lebih luas bagi perempuan Manggarai untuk memperoleh pendidikan politik yang dapat meningkatkan pemahaman mereka tentang sistem politik, kebijakan publik, dan hak-hak mereka sebagai warga negara.
Menyediakan pelatihan khusus yang mengasah keterampilan kepemimpinan perempuan Manggarai, mulai dari kemampuan berbicara di depan umum hingga keterampilan organisasi politik.
Oleh karena itu dengan mengikuti sumbangsih yang ditawarkan oleh penulis, perempuan Manggarai mampu untuk bersaing dengan laki–laki yang menjadi dominasi dalam ranah politik.