Oleh: Marianus Carol Djoka

Mahasiswa Ilmu Pemerintahan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Katolik Widya Mandira Kupang


Sejak resmi dilantik  oleh presiden Prabowo Subianto sebagai Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 20 Februari 2025  lalu di Jakarta, Melki  Laka Lena langsung dihadapkan pada persoalan besar yang menyentuh aspek ekologis, spiritual, sosial, dan politik: penolakan keras para uskup se-Provinsi Gereja Ende terhadap proyek pengembangan energi panas bumi (geotermal) di Pulau Flores.

Pulau Flores, yang telah lama dikenal sebagai wilayah potensial energi geotermal, kini menjadi medan tarik-menarik kepentingan antara negara, masyarakat, dan Gereja.

Ketegangan ini memperlihatkan potret dilematis seorang gubernur yang di satu sisi bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan nasional, dan di sisi lain, memiliki akar sosial dan spiritual yang kuat di antara komunitas religius lokal.

Kebijakan yang Diwariskan

Perlu dicatat bahwa proyek eksplorasi dan pengembangan geotermal di Flores bukanlah hasil inisiasi pemerintahan Melki.

Kebijakan ini berakar pada Keputusan Menteri ESDM Nomor 2268 K/30/MEM/2017 yang disahkan pada 19 Juni 2017. Pemerintah Pusat, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, telah menetapkan Flores sebagai salah satu pulau prioritas untuk pemanfaatan energi panas bumi.

Penetapan ini dilandasi potensi geotermal Flores yang sangat tinggi, diperkirakan mencapai lebih dari 660 MW, tersebar di beberapa titik seperti Ulumbu, Mataloko,Wae Sano dan Sokoria yang sudah beroperasi dan dibeberapa titik lainnya seperti di Wai Pesi, Gou-Inelika, Mengeruda, Mataloko, Komandaru, Detusoko, Jopu, Lesugolo, Oka Ile Ange, Atedai, Bukapiting, Roma-Ujelewung, dan Oyang Barang.

Bagi pemerintah pusat, proyek ini strategis karena mendukung program nasional transisi energi dari fosil ke energi terbarukan.

Namun, proses pengambilan kebijakan yang tidak inklusif dan minim pelibatan masyarakat adat menjadi kritik utama yang kini mengemuka.

Dengan demikian, posisi Gubernur Melki lebih sebagai pelaksana kebijakan yang diwariskan.

Namun, ketika kebijakan ini menimbulkan resistensi luas dari masyarakat lokal dan pemuka agama, peran pelaksana itu menjadi kompleks.

Ia dituntut untuk tidak sekadar melanjutkan, melainkan juga mengkaji dan menyesuaikan kebijakan dengan konteks sosial-budaya Flores.

Kedekatan Personal dengan Gereja
Melki Laka Lena bukan sosok asing bagi Gereja Katolik di NTT.

Ia pernah menempuh Pendidikan di  SMP Seminari Pius XII Kisol Manggarai Timur (1989–1990),  lembaga pendidikan calon imam yang dihormati.

Sepanjang karier politiknya, Melki dikenal dekat dengan tokoh-tokoh agama dan sering membangun komunikasi dengan para pemimpin gereja. Hal ini menjadi salah satu modal sosial yang mendukung elektabilitasnya sebagai politisi dari Partai Golkar.

Namun, kedekatan itu kini menjadi beban moral. Para uskup se-Provinsi Gerejawi Ende, yang membawahi mayoritas umat Katolik di Flores, secara tegas menyatakan penolakan terhadap proyek geothermal yang didahului pernyatan Uskup Agung Ende Mgr. Paulus Budi Kleden pada 06 Januari 2025 di Ndona.

Beliau menyatakan dengan tegas menolak dan menyuarakan keprihatinan atas ancaman terhadap lingkungan hidup, tanah adat, dan keseimbangan sosial-budaya masyarakat.

Penolakan tersebut bahkan telah ditegaskan melalui surat gembala prapaskah  oleh para uskup se- Provinsi Gerejawi Ende yakni Uskup Larantuka Mgr. Fransiskus Kopong Kung, Uskup Maumere Mgr. Edwaldus Martinus Sedu, Uskup Ruteng Mgr. Siprianus Hormat, Uskup Labuan Bajo Mgr. Maximus Regus dan Uskup Denpasar Mgr. Silvester San tentang “pertobatan Ekologis” berdasarkan hasil sidang tahunan para uskup di Ledaleoro – Sikka  pada 11 – 13 Maret 2025, serta diperkuat oleh seruan pastoral di paroki – paroki , lingkungan dan komunitas umat basis.

Dalam konteks ini, Melki dihadapkan pada dilema antara tunduk secara moral kepada otoritas Gereja, atau mengikuti jalur formal sebagai Kepala Daerah yang melaksanakan mandat pusat.

Mandat Eksekutif dan Tekanan Politik
Sebagai gubernur, Melki memiliki kewajiban menjalankan mandat dari Pemerintah Pusat.

Energi terbarukan seperti geotermal merupakan bagian dari strategi nasional menuju transisi energi bersih dan pengurangan emisi karbon.

Pemerintah Pusat menargetkan percepatan pemanfaatan energi geotermal sebagai bagian dari upaya menuju net zero emission pada 2060.

Dalam Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, disebutkan bahwa geotermal termasuk sumber energi utama dalam mendukung pengurangan emisi karbon nasional.

Oleh karena itu, Flores sebagai “Pulau Geotermal” diposisikan sebagai laboratorium energi terbarukan Indonesia.

Namun, pelaksanaan proyek ini di lapangan tidak bisa dilepaskan dari realitas sosial. Kekhawatiran masyarakat akan kehilangan ruang hidup, rusaknya kawasan adat, serta lemahnya mekanisme partisipasi publik dalam pengambilan keputusan, menjadi catatan serius.

Beberapa titik eksplorasi seperti di Wae Sano, Poco Leok  dan Mataloko telah menimbulkan gesekan sosial antara masyarakat, aparat keamanan, dan perusahaan (investor).

Posisi Tawar sebagai Tokoh Partai

Melki bukan hanya Gubernur NTT, tetapi juga Wakil Ketua Umum Partai Golkar, partai yang kini dipimpin oleh Bahlil Lahadalia, yang menjabat sebagai Menteri ESDM.

Kedekatan politik ini menjadikan Melki memiliki akses langsung ke pusat pengambil keputusan nasional terkait energi.

Di satu sisi, hal ini merupakan keuntungan strategis. Melki bisa menggunakan pengaruhnya untuk meminta peninjauan ulang proyek, mendorong pendekatan berbasis partisipasi masyarakat, serta memastikan proyek berjalan sesuai prinsip keberlanjutan.

Di sisi lain, ia juga dituntut untuk solid dalam barisan partai. Mendukung penolakan terhadap proyek yang menjadi prioritas Menteri ESDM dari partainya sendiri bisa dianggap sebagai sikap kontra produktif.

Pertanyaannya: akankah Melki menggunakan posisi ini untuk memperkuat proyek geotermal, atau justru memfasilitasi evaluasi dan penundaan proyek dengan pendekatan yang lebih partisipatif dan ekologis? Pilihannya tidak mudah.

Mendukung penuh berarti melawan arus penolakan masyarakat dan Gereja. Menolak berarti berisiko menentang kebijakan nasional dan kepentingan partai.

Desakan Akar Rumput

Gelombang penolakan terhadap proyek geotermal kini tidak hanya terbatas di level hirarki Gereja. Di desa-desa, stasi, kapela, hingga paroki-paroki di Flores, seruan penolakan semakin menguat.

Diskusi-diskusi pastoral, mimbar Gereja, hingga kelompok warga mulai membicarakan rencana aksi kolektif. Kegiatan doa, aksi penolakan, hingga demonstrasi damai mulai bermunculan.

Warga mempertanyakan dasar analisis dampak lingkungan, keabsahan izin eksplorasi, serta minimnya konsultasi publik.

Masyarakat juga menilai proyek geotermal lebih menguntungkan investor daripada masyarakat lokal. Di sisi lain, masyarakat adat mengkhawatirkan hilangnya kearifan lokal dan ruang kosmologis mereka yang selama ini dijaga melalui ritual dan hukum adat.

Situasi ini mengindikasikan bahwa proyek geotermal telah menjadi simbol dari ketidakadilan struktural dan kegelisahan ekologis. Jika tidak dikelola dengan hati-hati, bukan tidak mungkin akan muncul gerakan rakyat yang masif—dan Gubernur Melki akan menjadi figur sentral yang dituntut untuk bersikap.

Dinamika Pembangunan dan Spiritualitas Lokal

Penolakan terhadap proyek geotermal di Flores sejatinya bukan penolakan terhadap energi terbarukan itu sendiri.

Banyak masyarakat Flores memahami pentingnya transisi energi.

Namun, cara proyek ini dijalankan—tanpa dialog, tanpa transparansi, dan minim manfaat langsung bagi masyarakat—yang menjadi persoalan.

Flores bukan hanya gugusan gunung dan hutan. Ia adalah rumah spiritual bagi masyarakat yang hidup dalam relasi sakral dengan tanah dan alam. Konsep “tana mi, watu ndena ” (tanah dan batu yang diberkati) menunjukkan bagaimana alam bukan sekadar sumber daya, tapi bagian dari kosmos kehidupan.

Ketika proyek pembangunan mengabaikan aspek spiritualitas dan relasi ekologis masyarakat, maka pembangunan itu kehilangan legitimasi moral.

Inilah yang kini disuarakan oleh Gereja dan komunitas adat: pembangunan tidak boleh mengorbankan makna dan nilai hidup.

Dimensi Hukum dan Etika Pembangunan
Dalam perspektif hukum lingkungan hidup, proyek geotermal seharusnya tunduk pada prinsip kehati-hatian (precautionary principle), asas partisipasi masyarakat, dan prinsip keberlanjutan intergenerasional.

Instrumen seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) tidak cukup jika hanya bersifat administratif dan formalistik. Dibutuhkan mekanisme substantif yang menjamin bahwa aspirasi masyarakat benar-benar terdengar dan diakomodasi.

Selain itu, pendekatan ekoteologi—sebuah cabang dalam teologi yang mengaitkan iman dengan keadilan ekologis—telah menjadi argumen moral yang kuat dalam penolakan Gereja.

Ekoteologi tidak memusuhi pembangunan, tetapi mengingatkan bahwa pembangunan harus selaras dengan ciptaan Tuhan, bukan merusaknya.

Melki Laka Lena, yang memiliki latar belakang spiritual kuat sebagai alumni seminari dan dekat dengan tokoh – tokoh katolik, dapat menjadikan prinsip-prinsip etis ini sebagai panduan moral dalam menentukan arah kebijakannya. Pendekatan ini akan memperkuat legitimasi sosial dan politik kepemimpinannya.

Menjembatani Dua Dunia

Di tengah situasi ini, Gubernur Melki Laka Lena memiliki peluang besar untuk menunjukkan kepemimpinan yang inklusif dan visioner.

Alih-alih memilih salah satu sisi secara ekstrem, Melki bisa menjadi jembatan dialog antara pusat dan daerah, antara Negara dan Gereja, antara pembangunan dan kelestarian.

Langkah-langkah seperti membuka dialog publik yang jujur, melibatkan akademisi dan ahli lingkungan independen, serta meninjau ulang proyek berdasarkan prinsip keadilan ekologis dan partisipasi lokal, dapat menjadi jalan tengah yang bijaksana.

Sebagai gubernur muda, Melki juga bisa membangun model baru pembangunan berbasis dialog budaya dan spiritual.

Ia dapat menginisiasi kebijakan partisipatif yang mengakomodasi kearifan lokal dan memperkuat posisi masyarakat sebagai subjek pembangunan, bukan objek.

Polemik geotermal di Flores adalah gambaran nyata bahwa pembangunan tidak bisa berjalan secara top-down tanpa mendengar suara rakyat.

Bagi Gubernur Melki Laka Lena, ini adalah ujian awal masa jabatannya: apakah ia sekadar pelaksana kebijakan, atau pemimpin yang mampu merumuskan arah pembangunan yang kontekstual dan berakar pada nilai-nilai masyarakatnya sendiri.

Keputusan yang diambil Melki akan dikenang bukan hanya sebagai sikap politik, tetapi juga sebagai pernyataan moral tentang bagaimana pembangunan seharusnya dijalankan di negeri ini.

Di hadapan sejarah, Melki tidak bisa netral. Sebab, dalam situasi krisis ekologis dan konflik sosial, netralitas seringkali berarti keberpihakan terhadap status quo.

Kini saatnya Melki membuktikan bahwa ia bukan sekadar kader partai, tetapi pemimpin yang mendengarkan detak jantung rakyatnya.