Kupang, VoxNTT.com — Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) resmi meluncurkan Musrenbang Inklusif Kelompok Rentan atau Musik Keren, sebagai bagian dari penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) 2026 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025–2029.
Di tengah dominasi pendekatan top-down dalam perencanaan pembangunan di Indonesia, inisiatif ini menjadi langkah progresif yang menandai niat serius Pemprov NTT untuk membalik arah pembangunan: dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk semua rakyat—terutama mereka yang selama ini termarginalkan.
Gubernur NTT, Melki Laka Lena, dalam peluncuran program tersebut menegaskan, Musik Keren bukan sekadar simbol atau panggung retorika.
“Forum ini menjadi titik balik. Kelompok rentan tidak boleh lagi sekadar objek belas kasihan, melainkan aktor utama dalam pembangunan,” kata Melki, sembari menyebut kelompok perempuan, anak, lansia, penyandang disabilitas, masyarakat adat, hingga pengidap HIV sebagai bagian dari masyarakat yang harus dilibatkan secara setara.
Politik Anggaran yang Lebih Demokratis
Musik Keren adalah upaya konkret untuk mendorong politik anggaran yang lebih demokratis.
Aspirasi dari kelompok rentan, dihimpun baik secara daring maupun luring dari 22 kabupaten/kota, menjadi dasar formulasi kebijakan.
Prosesnya difasilitasi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dengan dukungan Pemprov dan Program SKALA. Hasilnya: lebih dari 200 usulan terjaring—dengan penyandang disabilitas menyumbang porsi aspirasi terbanyak (45%), disusul forum anak (28%) dan perempuan (10%).
Aspirasi tersebut meliputi isu krusial seperti akses pendidikan inklusif, layanan kesehatan yang adil, perlindungan sosial, peluang ekonomi, serta perlindungan hukum terhadap kekerasan berbasis gender dan perdagangan orang.
Seluruh usulan akan diintegrasikan ke dalam dokumen RKPD dan RPJMD serta menjadi indikator pembangunan inklusif dalam sistem pemantauan dan evaluasi daerah.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Riset, dan Inovasi Daerah (Bapperida) Provinsi NTT, Alfonsus Theodorus, menyebut Musik Keren sebagai mekanisme yang menjamin partisipasi bermakna dari kelompok rentan.
“Ini adalah bentuk koreksi terhadap praktik pembangunan yang selama ini terlalu teknokratis dan sering abai pada suara-suara yang paling terdampak kebijakan,” ujarnya.
Suara yang Selama Ini Sunyi
Simbolisme peluncuran bukanlah puncak, tetapi justru permulaan dari pembongkaran struktur eksklusivitas dalam perencanaan pembangunan.
Mario Lado dari Komunitas Tuli Kupang menyuarakan harapan itu dengan lugas.
“Inklusi bukan bantuan atau belas kasihan. Inklusi adalah hak kami. Maka libatkan kami dalam setiap keputusan yang menyangkut hidup kami,” kata Mario, yang juga menyoroti pentingnya kehadiran juru bahasa isyarat (JBI) dalam setiap forum Musrenbang tahun ini.
Pernyataan Mario menjadi pengingat penting: bahwa inklusi bukan sekadar menyisipkan agenda kelompok rentan ke dalam rencana pembangunan, tetapi memastikan mereka hadir dan didengar sejak awal—dalam ruang-ruang pengambilan keputusan.
Dari Pinggiran ke Pusat
Peluncuran Musik Keren adalah batu loncatan penting dalam perjalanan panjang menuju pembangunan yang adil.
Tantangannya kini adalah konsistensi implementasi. Apakah kabupaten/kota akan mengadopsi mekanisme serupa? Apakah usulan yang telah dihimpun benar-benar diakomodasi, bukan hanya disimpan dalam dokumen seremonial?
Jika pemerintah daerah sungguh-sungguh, Musik Keren bukan hanya menjadi irama baru dalam tata kelola pembangunan NTT, melainkan simfoni sosial yang menempatkan semua suara—termasuk yang selama ini terpinggirkan—dalam harmoni yang setara. [VoN]
Tinggalkan Balasan