Oleh: Marianus Carol Djoka

Mahasiswa Ilmu Pemerintahan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Katolik Widya Mandira Kupang

Harapan besar masyarakat Kabupaten Ende terhadap kepemimpinan baru Bupati Yosef Benediktus Badeoda dan Wakil Bupati Dominikus Minggu Mere tampaknya mulai terkikis.

Dengan semangat “Ende Baru”, pasangan ini diharapkan membawa perubahan positif, terutama dalam tata kelola pemerintahan yang bersih dan profesional.

Namun, keputusan mereka dalam pengangkatan pejabat pimpinan tinggi pratama baru-baru ini menimbulkan pertanyaan serius tentang komitmen mereka terhadap reformasi birokrasi dan prinsip meritokrasi.

Janji “Ende Baru” dan Realitas yang
Mengecewakan

Pasangan Badeoda- Domi Mere dilantik pada 20 Februari 2025 dengan dukungan 60.589 suara rakyat Ende. Yosef Badeoda dikenal sebagai pengacara sukses di Jakarta dengan jaringan luas, sementara Dominikus Mere adalah birokrat berpengalaman yang pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTT.

Kombinasi ini memberikan harapan akan perubahan signifikan di Ende, terutama dalam menghadapi berbagai persoalan seperti kasus kehilangan dana di RSUD Ende yang diduga mencapai Rp3 miliar, rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang hanya mencapai Rp2 miliar, serta polemik pembayaran proyek senilai Rp49 miliar yang belum terselesaikan.

Namun, pelantikan  tujuh pejabat pimpinan tinggi pratama pada 22 Mei 2025 yang bertempat di Aula Garuda Kantor Bupati Ende, justru menimbulkan kontroversi.

Dari tujuh posisi yang diisi, dua di antaranya—Staf Ahli Bupati Bidang Pembangunan, Kemasyarakatan dan SDM serta Kepala Badan Pendapatan Daerah—diberikan kepada individu yang berada di posisi kedua dalam hasil seleksi, yang  memiliki hubungan keluarga dengan bupati dan wakil bupati.

Sementara itu, lima posisi lainnya diisi oleh kandidat yang menduduki peringkat pertama dalam seleksi. Keputusan ini menimbulkan pertanyaan: apakah semangat “Ende Baru” benar-benar mengedepankan profesionalisme, atau justru menghidupkan kembali praktik nepotisme?

Antara Regulasi dan Etika Pemerintahan

Memang, secara hukum, Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil memberikan kewenangan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (Bupati) untuk memilih salah satu dari tiga kandidat teratas hasil seleksi.

Namun, dalam konteks etika pemerintahan dan semangat reformasi birokrasi, keputusan untuk memilih kerabat sendiri, meskipun sah secara hukum, dapat merusak kepercayaan publik dan mencederai prinsip meritokrasi.

Praktik semacam ini mengingatkan pada konsep “spoils system”, di mana jabatan publik diberikan sebagai hadiah politik kepada pendukung atau kerabat, bukan berdasarkan kompetensi dan kinerja.

Hal ini bertentangan dengan prinsip “good governance” yang menekankan pada transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme dalam pengelolaan pemerintahan.

Luka Psikologis ASN dan Keluarga yang Terabaikan

Bayangkan perasaan seorang ASN yang telah berkali-kali mengikuti seleksi jabatan, selalu berusaha memberikan yang terbaik, dan akhirnya meraih peringkat pertama.

Namun, harapan itu pupus ketika keputusan pengangkatan justru jatuh kepada individu lain yang memiliki hubungan keluarga dengan pimpinan daerah.

Kekecewaan ini tidak hanya dirasakan oleh ASN tersebut, tetapi juga oleh keluarga mereka—istri, anak-anak, dan orang tua—yang menyaksikan perjuangan dan pengorbanan yang telah dilakukan.

Di manakah hati nurani  dan perasaan seorang pemimpin? Yang terluka bukan saja mereka berdua tetapi ada  istri dan anak -anak mereka yang selalu menemani mereka dan mendukung mereka.

Bisa dibayangkan perasaan hati istri dan anak – anak mereka dirumah kecewa, galau, dan resah orang yang mereka cintai dan banggakan  tidak dipilih dan diangkat tetapi memilih dan mengangkat keluarga dari pemimpin sendiri yaitu Bupati dan Wakil Bupati.

Meskipun keputusan untuk mengangkat individu yang memiliki hubungan keluarga, sah secara hukum, tetapi menimbulkan pertanyaan serius tentang etika dan integritas pemimpin daerah.

Praktik nepotisme tidak hanya merusak kepercayaan publik tetapi juga mencederai prinsip-prinsip good governance yang seharusnya menjadi landasan dalam pengelolaan pemerintahan.

Nepotisme merugikan masyarakat, bangsa, dan negara karena mendahulukan kepentingan keluarga dan atau kroninya.

Harapan untuk Pemulihan dan Perubahan
Pemimpin daerah, dalam hal ini Bupati dan Wakil Bupati Ende, memiliki tanggung jawab moral untuk mengobati luka yang telah ditimbulkan.

Langkah konkret seperti evaluasi ulang keputusan pengangkatan dan penerapan prinsip meritokrasi dalam setiap kebijakan dapat menjadi awal dari pemulihan kepercayaan publik.

Lebih dari itu, diperlukan komitmen yang kuat untuk menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan integritas dalam setiap aspek pemerintahan.

“Ende Baru” seharusnya menjadi simbol perubahan menuju tata kelola pemerintahan yang lebih baik, bukan sekadar slogan tanpa makna. Keputusan-keputusan yang diambil oleh pemimpin daerah harus mencerminkan komitmen terhadap reformasi birokrasi dan pelayanan publik yang berkualitas.

Masyarakat Ende berharap agar janji-janji kampanye tidak hanya menjadi retorika, tetapi diwujudkan dalam tindakan nyata yang membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi seluruh warga.

Jika praktik-praktik seperti ini dibiarkan, bukan tidak mungkin “Ende Baru” hanya akan menjadi sepenggal kalimat tanpa makna, dan harapan masyarakat akan perubahan hanyalah ilusi belaka.