Ruteng, VoxNTT.com– Pagi baru saja menggeliat di Kampung Jengkalang, Manggarai. Jam menunjukkan pukul 06.00 Wita. Cahaya matahari belum sepenuhnya menghangatkan tanah, tapi suara dentuman jeriken dan cipratan air dari sumur sudah mengisi udara.

Dari balik semak, terlihat sosok kecil tengah sibuk. Ia adalah Benediktus Alviano Angkat, atau akrab disapa Fano, siswa kelas III di SDN Jengkalang, Kampung Jengkalang, Kelurahan Wangkung, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, NTT.

Dengan mata masih belekan dan wajah belum sepenuhnya segar, Fano menjalani rutinitas paginya, mengambil air dari sumur. Meski sesekali menoleh ke arah kamera, senyumnya hanya muncul malu-malu.

Ia tampak canggung saat ditanya dalam bahasa Manggarai. Tapi setelah sedikit basa-basi, ia menjawab ringan, “Air ini untuk mandi dan bawa ke sekolah.”

Fano adalah satu dari banyak anak di Kampung Jengkalang yang harus membawa air sendiri ke sekolah. Ketika ditanya kenapa, jawabannya sederhana, “karena tidak ada air.”

Sebuah kondisi yang sudah ia alami sejak duduk di kelas satu. Bahkan, membawa air ke sekolah menjadi sebuah instruksi tidak tertulis dari guru-guru mereka.

Pukul 06.30 Wita, Rabu, 28 Mei 2025, Fano melangkah menuju sekolah. Di belakangnya, menyusul Melania Windi (9), teman sekelas yang juga membawa jeriken air berukuran lima liter dan mengenakan seragam Pramuka atau coklat muda dan coklat tua.

Mereka menempuh perjalanan dengan melewati jalan aspal dan berbelok ke jalan cabang yang menanjak. Di titik ini, napas mulai tersengal. Sesekali mereka berhenti, memastikan air dalam jeriken tidak tumpah.

Jalan menuju SDN Jengkalang bukan sekadar lintasan menuju ruang kelas, tapi juga simbol ketangguhan anak-anak yang terbiasa dengan keterbatasan.

Benediktus Alviano Angkat, atau akrab disapa Fano, siswa kelas III di SDN Jengkalang, Kampung Jengkalang, Kelurahan Wangkung, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, NTT sedang menimba air (Foto: HO)

Di sepanjang jalan, mereka melewati semak belukar, pepohonan rindang, dan medan yang terus menanjak. Beban di pundak mereka bukan hanya tas sekolah, tetapi juga jeriken air yang mereka pikul setiap pagi.

Sesampainya di sekolah, mereka tak menunggu aba-aba dari guru. Langsung menuju kamar mandi dan menuangkan isi jeriken ke dalam bak penampung.

Aktivitas ini sudah menjadi bagian dari rutinitas, seolah tertulis dalam kurikulum tak resmi tentang kedisiplinan dan kepedulian bersama.

SDN Jengkalang sendiri adalah sekolah kecil yang berdiri di tengah kampung. Diresmikan sebagai Tambahan Ruang Kelas (TRK) pada 7 November 2014 oleh Camat Reok waktu itu, almarhum Silvester Takang, sekolah ini kini menjadi simbol harapan pendidikan di tengah keterbatasan infrastruktur.

Di bawah rindangnya pohon dan udara pagi yang sejuk, suara anak-anak terdengar riuh—bukan hanya karena aktivitas belajar, tetapi karena semangat untuk tetap hadir, meski harus memikul air setiap hari.

Mungkin bagi sebagian orang, membawa air ke sekolah adalah beban. Tapi bagi Fano, Windi, dan teman-temannya, ini adalah bagian dari perjuangan kecil yang mereka lakukan setiap pagi—demi belajar, demi masa depan yang lebih baik.

Siswa SDN Jengkalang, Kecamatan Reok sedang menimba air di sumur untuk dibawa ke sekolah. Foto diambil pada Rabu, 28 Mei 2025 (Foto: HO)

Delapan Tahun Krisis Air

SDN Jengkalang hingga kini masih menghadapi krisis air bersih yang berkepanjangan. Sejak didirikan sebagai Tambahan Ruang Kelas (TRK) pada tahun 2014, sekolah ini belum memiliki akses air bersih yang memadai.

Kondisi ini tetap terjadi meskipun status sekolah telah resmi ditingkatkan menjadi Sekolah Dasar Negeri pada 22 April 2022, melalui Surat Keputusan Izin Operasional Nomor: HK/189/2022.

Karena keterbatasan tersebut, pihak sekolah mewajibkan setiap siswa membawa air dari rumah setiap hari. Air tersebut digunakan untuk berbagai keperluan seperti mandi, mencuci, buang air (MCK), membersihkan kelas, hingga menyiram tanaman.

Robertus Angkat, salah satu alumni SDN Jengkalang mengisahkan, krisis air sudah menjadi bagian dari kehidupan sekolah sejak lama, bahkan saat sekolah masih berstatus TRK.

“Sejak dulu kami sudah diminta bawa air ke sekolah. Bisa dua kali dalam sehari, pagi saat berangkat sekolah dan saat istirahat pertama. Kalau ada kegiatan ekstra hari Jumat dan Sabtu, bisa sampai tiga kali bawa air,” cerita Rober, yang merupakan siswa TRK pada masa itu di bawah kepemimpinan Kepala Sekolah almarhum Mateus Nebu.

Menurut Rober, air yang mereka bawa biasanya diambil dari sumur milik warga yang terletak di sekitar rumahnya. Meskipun akses ke air sumur tidak terlalu sulit karena terdapat sekitar enam sumur di kampung tersebut, air bersih untuk kebutuhan minum tetap menjadi persoalan utama.

“Kalau untuk mandi dan mencuci kami pakai air sumur. Tapi untuk minum kami harus beli air galon, karena tidak ada sumber air bersih,” ungkapnya.

Rober mengenang, aktivitas membawa air ke sekolah bahkan menjadi semacam perlombaan di antara para siswa.

“Kadang pagi dan kadang juga sore saya ambil memang supaya esok tinggal mandi, ganti dan angkat jeriken ke sekolah karena sore saya sudah timba memang,” ungkapnya.

Kepala SDN Jengkalang, Yuliana Hadung Ritan, mengaku prihatin dengan kondisi tersebut.

Ia mengungkapkan, selama bertahun-tahun sekolah tidak memiliki akses air bersih yang layak.

Siswa SDN Jengkalang Reok sedang melewati pendakian menuju sekolah sambil membawa jeriken air 5 liter pada Rabu, 28 Mei 2025 (Foto: HO)

Rasa iba muncul setiap kali ia melihat anak-anak datang ke sekolah dengan menggendong tas dan jeriken, berjalan kaki menyusuri tanjakan menuju sekolah.

“Mau bagaimana lagi, kondisinya sudah seperti ini. Kalau tidak begitu, air untuk toilet kita mau ambil dari mana. Saya hanya bisa berharap anak-anak tetap semangat belajar meski dalam keterbatasan,” ujar Yuliana, yang akrab disapa Ona, kepada VoxNtt.com, beberapa waktu lalu.

Menurutnya, kewajiban membawa air hanya ditiadakan saat musim hujan, karena sekolah bisa memanfaatkan tandon penampung air hujan.

Namun di musim kemarau atau saat hujan tak kunjung turun, anak-anak kembali harus menjalani rutinitas berat itu setiap pagi.

Selain untuk toilet, air yang dibawa siswa juga dimanfaatkan untuk kegiatan kebersihan saat ekstrakurikuler di hari Jumat dan Sabtu.

Upaya telah dilakukan pihak sekolah. Ona mengaku pernah mengajukan permintaan bantuan ke Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (PPO) Kabupaten Manggarai serta menyampaikan secara lisan kepada Dinas Pekerjaan Umum (PU). Namun kendala utama adalah ketiadaan sumber mata air di sekitar kampung.

“Kampung Jengkalang belum punya sumber mata air yang bisa menghasilkan air bersih. Jadi kondisi ini tidak hanya dirasakan sekolah, tapi juga oleh seluruh masyarakat di kampung ini,” jelasnya.

Meski demikian, proses belajar mengajar di SDN Jengkalang tetap berjalan normal. Para guru dan siswa terus menunjukkan semangat dan dedikasi di tengah keterbatasan sarana, menjadikan sekolah ini simbol ketangguhan pendidikan di daerah terpencil.

Pemda Manggarai Harus Bertanggung Jawab

Pengamat pendidikan, Marsel Ruben Payong menegaskan, Pemerintah Daerah (Pemda) Manggarai harus ikut bertanggung jawab dalam memastikan pemenuhan hak-hak dasar siswa, terutama di SDN Jengkalang, agar para siswa tidak menjadi korban kelalaian.

Marsel menilai, kondisi yang dialami para siswa di SDN Jengkalang merupakan bentuk kelalaian yang tidak boleh dibiarkan berlarut-larut.

Menurutnya, pihak sekolah sudah melaporkan kesulitan tersebut ke Dinas Pendidikan, Pengajaran, dan Olahraga (PPO) Manggarai, namun hingga kini belum ada tindak lanjut konkret.

“Konon pihak sekolah sudah melaporkan kesulitan ini kepada Dinas PPO Manggarai, dan mereka hanya disarankan menghubungi Dinas PU. Tapi sampai sekarang belum ada solusi nyata,” kata dosen Universitas Katolik St. Paulus Ruteng itu dalam wawancara, Selasa, 27 Mei.

Siswa SDN Jengkalang Reok sedang membawa air menuju sekolah pada Rabu, 28 Mei 2025 (Foto: HO)

SDN Jengkalang baru diresmikan sebagai sekolah negeri pada tahun 2022, setelah sebelumnya berstatus sebagai Tempat Relokasi Kelas (TRK) dari SDI Kedindi Reo. Kini, sekolah tersebut memiliki sekitar 60 siswa yang belajar dalam kondisi serba terbatas.

Salah satu persoalan mendesak yang dihadapi adalah ketiadaan sumber air bersih. Tidak adanya jaringan air PAM dan kualitas air sumur yang tercampur air laut memaksa para siswa membawa air sendiri dari rumah.

“Setiap hari anak-anak membawa air 5 liter. Setengahnya untuk keperluan toilet, sisanya untuk menyiram bunga. Ini sungguh ironis,” jelas Marsel.

Ia juga menyoroti potensi dampak psikologis dari beban tersebut terhadap siswa. “Kalau anak-anak membawa air dengan gembira, mungkin tidak jadi soal. Tapi kita tidak tahu pasti. Perlu ada penelitian untuk melihat dampaknya secara psikologis,” tambahnya.

Meski mengakui bahwa keterbatasan bisa memunculkan kreativitas dan prestasi, Marsel menekankan bahwa tidak semua anak dapat bertahan dalam kondisi tersebut.

“Dalam situasi tertentu, justru dari keterbatasan lahir anak-anak hebat. Tapi itu tidak bisa jadi pembenaran untuk membiarkan masalah ini terus berlangsung,” tegasnya.

Anggota DPRD Manggarai dari Fraksi Hanura, Yohanes Hardum Nonto, mengakui bahwa ia telah mengetahui situasi yang terjadi di SDN Jengkalang, termasuk masalah air bersih dan jaringan listrik. Namun, ia menyebut belum ada laporan resmi dari pihak sekolah mengenai hal tersebut.

“Saya tahu kondisi riil di sana. Tapi persoalannya adalah kita belum tahu dari mana bisa dapat sumber air. Itu yang masih jadi kendala,” kata Nonto, anggota DPRD dari Dapil IV Cibal Reok.

Nonto menyebut kondisi serupa juga dialami SMPN 7 Reok, yang juga mengalami kesulitan air bersih, listrik, dan akses jalan.

Ia mengaku tengah memperjuangkan pembangunan akses jalan masuk ke sekolah tersebut.

“Tapi kalau soal air, memang kita masih kesulitan cari sumber. Ini tidak hanya di SDN Jengkalang, tapi juga di tempat-tempat lain,” jelasnya.

Meski begitu, Nonto menyatakan, perjuangannya sebagai anggota DPRD tidak terbatas pada satu sekolah atau satu kampung saja.

Ia mengaku memperjuangkan kebutuhan infrastruktur dasar bagi seluruh masyarakat di wilayah dapilnya, termasuk Kampung Motor Pecah, Jengkalang, Bone Wangka, hingga Gua Maria Torong Besi.

“Jadi Kalau omong air, saya tidak hanya perjuangkan untuk SDN Jengkalang saja, tapi untuk semua masyarakat yang mengalami hal serupa,” katanya.

Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (PPO) Kabupaten Manggarai, Wenslaus Sedan menyatakan, kebutuhan air di sekolah dapat dibiayai melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Permendikdasmen) Nomor 8 Tahun 2025.

“Sedangkan air, sekolah bisa berlangganan dengan masyarakat yang memiliki usaha air tangki,” katanya.

Dua siswi SDN Jengkalang Reok sedang menuangkan air ke bak penampung toilet sekolah pada Rabu, 28 Mei 2025 (Foto: HO)

Tanpa Listrik

Di balik semangat belajar para siswa SDN Jengkalang tersimpan kenyataan pahit lain, yakni sekolah ini belum memiliki akses jaringan listrik.

Ona mengatakan, seluruh proses pembelajaran masih dilakukan secara manual karena ketiadaan aliran listrik. Akibatnya, fasilitas belajar yang membutuhkan energi listrik tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal, termasuk perangkat komputer dan proyektor pembelajaran.

Kondisi ini juga berdampak langsung pada pelaksanaan Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) yang seharusnya dilakukan di sekolah sendiri. Karena tidak memiliki listrik dan internet, setiap tahun SDN Jengkalang harus meminjam ruangan di sekolah lain untuk ujian.

Gedung SDN Jengkalang, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai (Foto: HO)

“Kalau ANBK, kami terpaksa pinjam ruangan SDK Kedindi karena di sana ada listrik dan jaringan internet,” ujar Ona.

Kesulitan akses listrik bukan hanya dirasakan oleh pihak sekolah, tetapi juga oleh masyarakat Kampung Jengkalang secara keseluruhan.

Warga mengandalkan mesin diesel atau genset untuk menyalakan lampu, itu pun jika tersedia bahan bakar solar. Jika tidak, pilihan terakhir adalah lampu pelita.

Kondisi ini membuat sebagian siswa kesulitan belajar di rumah, terutama saat malam hari. Mereka kerap menumpang belajar di rumah teman yang memiliki genset.

Melania, siswa kelas III SDN Jengkalang, mengaku lebih memilih belajar di sekolah karena tidak ada penerangan di rumahnya.

Jika sedang menghadapi ujian, ia biasanya belajar bersama teman di rumah yang memiliki penerangan dari mesin genset.

“Kami belajar di sekolah saja karena di rumah tidak ada listrik. Kalau ada ujian, kami belajar gabung di rumah teman yang punya listrik,” ujar Melania.

Meski berada dalam keterbatasan, semangat belajar anak-anak di SDN Jengkalang tetap tinggi.

Melania pun mengaku tak pernah menyerah untuk terus menuntut ilmu, meski harus belajar dalam gelap atau berpindah dari rumah ke rumah.

Pengamat pendidikan Marsel Ruben Payong menyayangkan situasi tersebut. Ia menilai, ketiadaan listrik di wilayah Jengkalang disebabkan oleh status administratifnya yang berada dalam Kelurahan Wangkung, sehingga tidak masuk dalam cakupan program “Desa Terang”.

“Ironisnya, daerah sekitar seperti Torong Besi, Robek, dan Guci yang berstatus desa sudah mendapatkan listrik. Ini tidak adil. Pemenuhan hak dasar tidak boleh dibatasi status administratif,” tegas Marsel.

Sementara itu, Nonto menyatakan, dirinya telah memperjuangkan persoalan listrik ini dalam rapat paripurna bersama Bupati. Namun, ia mengakui keterbatasan regulasi.

“Soal listrik tidak bisa dibangun menggunakan APBD II. Kita masih lihat alur penganggarannya. Saya berharap ada mitra atau investor yang bisa membantu,” kata Nonto.

Wenslaus menyatakan, pengadaan listrik di sekolah dapat dilakukan melalui dana BOS, sesuai dengan Permendikdasmen Nomor 8 Tahun 2025.

“Dalam hal sekolah berada jauh dari jaringan listrik, sekolah dapat melakukan penyewaan atau pembelian genset maupun panel surya,” jelasnya.

Pihak PLN melalui Manajer UP2K Flores, Albertus Koko, mengonfirmasi bahwa survei ke lokasi telah dilakukan dan usulan anggaran telah diajukan.

“Untuk realisasinya, kami masih menunggu persetujuan anggaran,” ujarnya melalui pesan WhatsApp.

Penulis: Berto Davids