Mbay, VoxNTT.com — Persengketaan perdata atas 14 bidang tanah kosong yang terdampak pembangunan Waduk Mbay–Lambo di Desa Rendubutowe, Kecamatan Aesesa Selatan, Kabupaten Nagekeo, akhirnya menemui titik terang.
Konflik panjang antara kelompok yang menamakan diri sebagai Laki Rendu dengan para tetua adat dari Suku Redu, Suku Isa, dan Suku Gaja secara resmi berakhir melalui sebuah kesepakatan damai atau dading.
Dading tersebut diakui secara sah oleh pengadilan dan menjadi dokumen hukum yang mengikat. Dalam kesepakatan damai itu ditegaskan bahwa ke-14 bidang tanah yang dipermasalahkan adalah tanah ulayat milik komunitas adat Rendu, yang diperuntukkan bagi tiga suku, yaitu Suku Isa, Suku Redu, dan Suku Gaja.
Pernyataan damai yang ditandatangani oleh kedua belah pihak menyebutkan bahwa perdamaian dicapai secara tulus dan tanpa paksaan. Masing-masing pihak saling memaafkan dan mengakui satu sama lain sebagai bagian dari keluarga besar masyarakat adat Rendu, yang memiliki sejarah dan hubungan kekerabatan yang erat.
Meskipun surat kesepakatan damai telah ditandatangani sejak 8 Juni 2023, Kantor Pertanahan Kabupaten Nagekeo menyatakan masih terdapat miskomunikasi antara para pihak. Untuk itu, digelar pertemuan pada Selasa, 27 Mei 2025 di Aula Kantor Pertanahan Kabupaten Nagekeo guna menyamakan persepsi terkait implementasi kesepakatan tersebut.

Salah satu hasil penting dari pertemuan itu adalah kesepakatan ketiga suku untuk menunjuk Wunibaldus Wedo, pria kelahiran Mulakoli tahun 1970, sebagai perwakilan yang sah dalam menerima kompensasi ganti rugi senilai Rp 21,8 miliar. Dana tersebut berasal dari anggaran proyek strategis nasional (PSN) pembangunan Waduk Mbay–Lambo.
Penunjukan Wunibaldus disepakati secara bersama oleh para tetua adat dari Suku Redu, Suku Isa, dan Suku Gaja. Kapolres Nagekeo, AKBP Rachmat Muchamad Salihi, dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Nagekeo, Warang Abdul Zainal Abidin, turut hadir dan menyampaikan dukungannya terhadap proses perdamaian dan penunjukan tersebut.
Namun demikian, dalam berita acara penunjukan ditegaskan bahwa pencairan dana tidak bisa dilakukan sepihak oleh Wunibaldus. Dana hanya dapat dicairkan setelah memperoleh persetujuan dari ketiga suku.
Meski telah disepakati, penunjukan Wunibaldus menuai penolakan. Sehari setelah berita acara ditandatangani, tujuh komunitas adat Rendu (dikenal sebagai Woe) menyampaikan keberatan. Mereka menilai proses penunjukan tidak melibatkan semua pihak secara menyeluruh.
“Kami mempertanyakan mengapa tanda tangan Opa Gabriel Bedi tidak tercantum dalam berita acara penunjukan. Kami mendesak agar dokumen tersebut dibatalkan,” ujar salah satu perwakilan komunitas adat.
Dalam waktu dekat, kelompok Woe tersebut berencana mengirimkan surat keberatan kepada pihak Bank BNI dan sistem Elman (Electronic Land Management) guna meminta pembatalan proses pencairan dana kompensasi.
Penulis: Patrianus Meo Djawa
Tinggalkan Balasan