Oleh: Sirilus Aristo Mbombo
Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira Kupang
Demokrasi dalam cita idealnya, adalah ruang bersama yang dirancang untuk merayakan martabat manusia dalam kebebasan, kesetaraan, dan keadilan.
Ia adalah janji bersama untuk membangun dunia yang lebih bermakna, di mana setiap warga negara dihargai bukan karena kekuatannya, tetapi karena keberadaannya sebagai manusia.
Namun, janji itu kadang menjelma menjadi ilusi yang menyesakkan. Dalam kenyataan politik yang mengabaikan nurani, demokrasi di Indonesia kerap bertransformasi menjadi panggung yang menampilkan parade kekuasaan tanpa suara hati.
Maka, tidak heran jika masyarakat yang pernah berharap kini mengalami kelelahan emosional, keterasingan sosial, dan bahkan depresi yang merayap diam-diam ke dalam ruang batin warga negara.
Dalam psikologi modern, depresi bukan hanya kondisi medis, tetapi juga kondisi eksistensial. Viktor Frankl, seorang psikiater sekaligus filsuf, menyatakan bahwa manusia mengalami penderitaan yang paling dalam bukan karena fisik, melainkan karena kehilangan makna.
Ketika harapan akan perubahan hancur berkeping, ketika janji keadilan tak pernah tiba, maka yang tersisa adalah kehampaan yang membeku dalam jiwa. Demokrasi yang seharusnya menjadi ruang harapan justru menjadi medan frustrasi.
Seperti yang diamati oleh Erich Fromm, manusia modern sering kali merasa terasing dalam sistem yang diciptakannya sendiri.
Demokrasi tanpa partisipasi sejati, tanpa keterlibatan yang berarti, akan mengasingkan warganya dan menjerumuskan mereka ke dalam kekosongan makna dan dari kekosongan itulah depresi tumbuh.
Sistem dan budaya demokrasi di Indonesia tampak seperti bangunan megah yang pondasinya rapuh. Ia dibangun dengan jargon partisipasi, namun dijalankan dengan mekanisme yang menyisihkan suara rakyat.
John Dewey, filsuf Amerika yang banyak menulis tentang demokrasi, menekankan bahwa demokrasi bukan hanya sistem pemerintahan, melainkan gaya hidup. Demokrasi sejati menuntut pembiasaan partisipasi, diskusi publik, dan keterbukaan terhadap kritik.
Namun, ketika budaya demokrasi hanya hidup pada musim pemilu, dan selebihnya rakyat didorong menjauh dari pusat pengambilan keputusan, maka demokrasi kehilangan jiwanya.
Demokrasi bukan sekadar pemilihan umum, melainkan relasi etis antara warga dan negara. Ketika relasi itu rusak, maka bangsa ini bukan hanya menghadapi krisis politik, tetapi juga krisis emosional dan moral.
Menuju depresi, masyarakat Indonesia menghadapi paradoks. Di satu sisi, mereka dijanjikan hak-hak sebagai warga negara demokratis; di sisi lain, realitas yang mereka hadapi adalah ketimpangan, kemiskinan, dan keterbatasan akses terhadap kesejahteraan.
Jacques Rancière, filsuf Prancis yang kritis terhadap demokrasi prosedural, menegaskan bahwa demokrasi sejati adalah pengakuan terhadap suara mereka yang selama ini dibungkam.
Namun, di Indonesia, suara rakyat kecil kerap dikecilkan, bahkan dihilangkan. Ketika aspirasi tidak didengar, ketika jeritan rakyat miskin di pelosok tidak mendapatkan tanggapan, maka demokrasi menjadi cangkang kosong.
Kekecewaan yang dalam ini menjadi ladang subur bagi stres kolektif, ketidakberdayaan sosial, dan depresi nasional yang menyelinap dalam diam.
Namun demokrasi bukan hanya soal sistem, ia adalah ruang di mana emosi dan tindakan etis saling terjalin. Martha Nussbaum, dalam pandangannya yang humanistis, menekankan bahwa emosi memiliki dimensi etis.
Marah terhadap ketidakadilan, sedih atas penderitaan orang lain, dan takut akan penyalahgunaan kekuasaan, semua adalah ekspresi moral. Maka dalam berdemokrasi, warga negara tidak hanya diajak untuk berpikir, tetapi juga merasakan secara mendalam.
Namun sayangnya, politik hari ini terlalu rasional secara kalkulatif, tetapi tumpul secara afektif. Kita butuh politik yang bukan hanya cerdas, tetapi juga bijaksana—politik yang memahami derita rakyat bukan sekadar sebagai data, melainkan sebagai panggilan hati nurani.
Pemerintah sebagai pengelola negara demokratis semestinya mencerminkan nilai-nilai demokrasi dalam setiap kebijakan.
Namun, ketika kebijakan hanya menguntungkan segelintir elite, dan tidak menyentuh kebutuhan riil masyarakat, maka pemerintah telah kehilangan mandat moralnya.
Demokrasi menuntut keadilan distributif. Aristoteles mengajarkan bahwa keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.
Maka kebijakan yang tidak menjangkau rakyat di pelosok, yang tidak mengangkat mereka dari kemiskinan dan keterbelakangan, bukanlah kebijakan yang demokratis, melainkan teknokrasi yang beku.
Jika kesejahteraan hanya terkonsentrasi di kota, sementara di desa dan daerah tertinggal anak-anak kelaparan dan pendidikan terabaikan, maka negara ini lebih menyerupai oligarki bercorak demokratis, kulitnya demokrasi tetapi dagingnya ketimpangan.
Pemimpin dalam sistem demokrasi sejati bukanlah penguasa, melainkan pelayan. Keadilan dan kesejahteraan adalah tanggung jawab yang tak boleh dinegosiasikan. Jika tidak ada keadilan bagi semua, maka yang ada hanyalah kekuasaan yang menyamar sebagai pemerintahan rakyat.
DPR, sebagai representasi suara rakyat, seharusnya menjadi garda depan dalam mendengarkan jeritan rakyat. Namun, jika wakil rakyat lebih sibuk bersaing dalam kekuasaan partai, atau membela kepentingan pribadi dan golongan, maka mereka telah mengingkari tugas etis mereka.
Thomas Hill Green mengatakan bahwa kebebasan bukanlah ketiadaan intervensi, tetapi hadirnya kondisi yang memungkinkan individu berkembang secara utuh.
Maka DPR yang sejati adalah yang menciptakan ruang untuk suara yang paling lemah, yang memperjuangkan anggaran untuk pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan desa, bukan yang terjebak dalam permainan politik transaksional yang mengorbankan kepentingan rakyat.
Pemimpin yang bijaksana dalam negara demokrasi bukanlah mereka yang hanya hadir dalam baliho dan pidato.
Mereka adalah yang memimpin dengan hati, yang merasa terganggu oleh tangisan rakyat miskin, dan yang tidak bisa tidur nyenyak saat melihat ketidakadilan. Seperti dikatakan Cornel West, pemimpin sejati adalah mereka yang mampu mengubah cinta terhadap rakyat menjadi tindakan politik.
Dan seperti yang diajarkan oleh Hannah Arendt, kekuasaan sejati berasal dari tindakan kolektif yang etis, bukan dari dominasi individu.
Dua filsuf modern, Cornel West dan Hannah Arendt, menawarkan gambaran tentang pemimpin yang bukan hanya teknokrat, tetapi juga moral agent.
Cornel West berbicara tentang keberanian moral dan cinta publik sebagai fondasi bagi kepemimpinan demokratis. Bagi West, tanpa kasih kepada yang miskin dan termarjinalkan, tidak ada demokrasi sejati.
Arendt menekankan pentingnya ruang publik sebagai tempat tindakan dan kebersamaan. Pemimpin dalam pandangannya bukanlah administrator, tetapi penggerak dialog dan pelindung pluralitas.
Maka, seorang pemimpin demokratis harus bersedia dikritik, harus berani berdiri di antara perbedaan, dan harus mampu menjadikan penderitaan rakyat sebagai bagian dari tanggung jawab moralnya.
Pada akhirnya, demokrasi bukan sekadar sistem pemerintahan, melainkan proyek etis dan eksistensial umat manusia.
Ia adalah ruang yang mengundang semua untuk menjadi lebih manusiawi. Ketika demokrasi dijalankan tanpa cinta, tanpa tanggung jawab, tanpa kebijaksanaan, maka ia akan mengarah pada kehampaan dan depresi kolektif.
Namun bila demokrasi dijalani dengan etika dan keberanian untuk mencintai, maka ia bisa menjadi rumah harapan bagi setiap jiwa yang lelah.
Dari Plato, kita belajar bahwa “pemimpin sejati adalah mereka yang mencintai kebenaran lebih dari kekuasaan,” dan dari Martha Nussbaum, kita diingatkan bahwa “demokrasi hanya akan bertahan jika warga dilatih untuk berpikir kritis dan mencintai sesamanya.”
Maka Indonesia memerlukan demokrasi yang bukan hanya hidup dalam konstitusi, tetapi dalam hati nurani warganya.
Demokrasi yang menyembuhkan, bukan melukai. Demokrasi yang bukan sekadar sistem, tetapi cinta yang diwujudkan dalam kebijakan, tindakan, dan kehadiran yang nyata.
Tinggalkan Balasan