Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM

Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)

Satu kata ini merangkum makna arif dari pengalaman sederhana yaitu sebulir kerikil di sepatuyang mengusik kenyamanan namun justru membangkitkan rasa damai dan pemahaman yang mendalam.

Kesadaran muncul sebagai buah dari kasih, refleksi, dan tanggung jawab kaum terdidik dalam melihat makna di balik hal kecil, dan menjadikannya pelajaran yang adil, abadi, dan menenteramkan jiwa.

Kerikil kecil di dalam sepatuku mengajarkanku bahwa rasa paling tulus kadang datang dari luka paling diam dan dari sanalah aku belajar mengeja tatabahasa cinta, dengan empati sebagai subjek, kejujuran sebagai predikat, dan harmoni sebagai makna demi peradaban cinta manusia semesta.

Di bawah langit pagi yang baru saja mencium mentari, langkahku kecil namun penuh harap.
Sepasang sepatu baru berwarna merah putih menghiasi kakiku, hadiah dari Ibu untuk hari pertamaku di ruang Taman Kanak Kanak.
Namun, diam-diam, ada kerikil kecil  mungil menyusup ke dalam sepatu itu, sebuah luka mungil yang tak terlihat tapi tajam menusuk.

Saat kakiku melangkah ke kampus pendidikan megah di tengah kota kecilkku, aku merasa dunia terlalu besar untuk suara tangisku yang tercekat.

Bangunan menjulang, bendera berkibar, dan senyum para guru seolah menyambut hari cerah, tapi aku tertinggal di balik rasa perih yang tak bisa kusebutkan dengan kata.
Tanganku menggenggam erat ujung baju Ibu, wajahku menyembunyikan genangan kecil yang tak sempat jatuh.

Di hadapanku, Bunda PAUD bersimpuh, menatapku dengan mata penuh kasih yang tak perlu bertanya. “Ada apa, sayang?” tanyanya lembut, tapi kerikil itu tak bisa kujawab dengan kalimat.

Hanya desahan lirih dan langkah pincang yang menjadi bahasa tubuhku. Mereka pun mengerti, bahwa tak semua luka berasal dari dunia besar; kadang, yang terkecil yang tersembunyi di dalam sepatu bisa melahirkan air mata paling jujur.

Dan di situlah aku berdiri: seorang anak PAUD, belum tahu ejaan duka, tapi telah mengajarkan cinta yang lembut pada para dewasa.

Bunda PAUD mengangkatku, Ibu membelai rambutku, dan dunia yang megah itu seketika menjadi lembut.

Kerikil itu dikeluarkan, dan luka pun diredakan, bukan hanya oleh tangan, tapi oleh kehangatan yang tak diajarkan oleh buku.

Di tengah riuh kampus kota, tangisku yang kecil menjadi puisi yang disulam dari perhatian dan cinta, membuktikan bahwa pendidikan sejati dimulai dari memahami rasa, bahkan ketika ia hanya sebesar kerikil di dalam sepatu seorang anak kecil.

Memahami Rasa

Pendidikan sejati bukanlah sekadar deret angka atau tumpukan huruf dalam buku pelajaran;

Ia adalah bisikan lembut yang tumbuh dari dalam kalbu, dari tatapan pertama kita pada buah hati yang tertidur dalam pelukan kasih.

Sejak dini, sebelum kata “belajar” mampu mereka ucapkan, mereka telah menyerap bahasa cinta dan empati melalui sentuhan kita, melalui tatapan mata yang tak pernah memalingkan kasih.

Di situlah benih pertama ditanam  yakni benih rasa peduli, yang kelak akan menjelma menjadi taman nurani yang mekar di sepanjang hidup mereka.

Ketika anak-anak belajar memahami luka temannya, saat mereka menunda bermain hanya untuk memeluk yang sedang bersedih, itulah pelajaran paling agung yang tak ditulis di papan tulis.

Pendidikan autentik lahir dari ruang hati yang diberi tempat untuk merasa, bukan semata-mata mengerti.

Ia tumbuh dari keberanian anak untuk menangis, memaafkan, berbagi, dan memeluk, tanpa takut dihakimi.

Di sanalah empati bukan sekadar teori, tetapi denyut nadi yang mengalir alami, seperti sungai kecil yang mengaliri jiwa yang belum tercemar oleh ego dewasa.

Anak-anak adalah anugerah semesta yang menitipkan harapan pada generasi yang lebih halus, lebih lembut, lebih peka.

Maka tugas kita bukan mencetak mereka menjadi juara yang tak kenal lelah, melainkan menuntun mereka menjadi manusia yang tahu arti pelukan, tahu arti diam teman, tahu kapan harus memeluk dan kapan harus melepaskan.

Karena sejatinya, dunia ini tak hanya butuh pintar, tapi butuh jiwa-jiwa yang mampu menyentuh hati lainnya dengan cahaya kasih yang menyala sejak dini, sejak mereka belajar bahwa rasa adalah guru pertama dan utama dalam hidup.

Sebelum Lidah Melafalkan Kata

Di awal mula kehidupan, sebelum lidah bisa melafalkan kata dan tangan mampu menggenggam pena, rasa telah menjadi guru yang paling setia.

Ia hadir dalam bentuk detak jantung seorang ibu, dalam pelukan yang tak mengenal syarat, dalam kehangatan yang tak meminta balas.

Dari sanalah seorang anak belajar bahasa pertama yang tak tertulis di kamus bahasa cinta.

Sebuah bahasa yang tak membutuhkan terjemahan, tapi mampu dimengerti oleh siapa pun yang hatinya masih bersih dari prasangka.

Rasa inilah yang membentuk dasar, membimbing jiwa kecil untuk tumbuh dengan kelembutan yang mengajarkan nilai tanpa suara.

Dengan rasa sebagai gurunya, seorang anak mulai memahami makna sopan tanpa perlu diajari berlutut.

Ia tahu kapan menunduk, kapan tersenyum, dan kapan berkata dengan lembut, karena ia telah menyerap getar kebaikan yang ditanamkan lewat tindakan, bukan sekadar ucapan.

Rasa mengajarkan bahwa menghormati bukan karena perintah, tetapi karena jiwa yang mengakui kehadiran orang lain sebagai cermin dari dirinya.

Dari rasa pula lahir kejujuran, karena hati yang dipenuhi cinta tak sanggup menyimpan dusta, dan ketulusan tumbuh dari kesadaran bahwa memberi tanpa pamrih adalah bentuk tertinggi dari keberadaan manusia.

Kemudian, di antara segala hiruk-pikuk dunia yang makin riuh, rasa tetap menjadi mercusuar yang menuntun kita untuk tidak kehilangan arah.

Dalam rasa, kita belajar bahwa ikhlas bukan berarti tak merasa sakit, tapi menerima dengan hati terbuka demi cinta yang lebih luas.

Rasa menyatukan manusia dalam simpul persaudaraan, melampaui batas ras, agama, dan bahasa.

Ia menjadi jembatan yang menghubungkan jiwa dengan jiwa, tempat kasih bukan hanya bertumbuh, tapi juga bernaung.

Di sinilah peradaban sejati bermula: bukan dari kekuasaan, bukan dari teknologi, tetapi dari kesadaran akan rasa yang menghidupkan cinta antar sesama.

Harmoni peradaban manusia hanya mungkin terwujud jika rasa tetap menjadi guru utama dalam setiap langkah kehidupan.

Cinta tanpa rasa adalah ilusi, sopan santun tanpa rasa adalah topeng, dan kejujuran tanpa rasa adalah formalitas.

Maka biarlah anak-anak tumbuh dengan pelukan, dengan telinga yang mendengar, dan hati yang tak terburu-buru menilai.

Biarlah mereka belajar bahwa menjadi manusia tak hanya tentang berpikir, tapi tentang merasakan.

Karena ketika rasa menjadi akar dari segala ajaran, peradaban tak hanya akan maju, tapi juga berjiwa dan dunia akan menjadi tempat di mana cinta dan persaudaraan menjadi bahasa yang paling universal.

Love as Pedagogy

Menurut Tim Loreman, love as pedagogy atau cinta sebagai pedagogi adalah pendekatan dalam pendidikan yang menempatkan kasih sayang, empati, dan hubungan yang tulus antara guru dan siswa sebagai inti dari proses pembelajaran.

Loreman menekankan bahwa cinta dalam konteks pendidikan bukan sekadar emosi, tetapi merupakan tindakan yang konkret dan reflektif yang menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, mendukung, dan penuh perhatian.

Pendekatan ini mendorong guru untuk memahami kebutuhan emosional dan sosial siswa, serta membina rasa hormat, kepercayaan, dan keberanian dalam proses belajar-mengajar.

Dengan demikian, cinta menjadi kekuatan transformatif yang mampu meningkatkan kesejahteraan, partisipasi, dan hasil belajar siswa.

Inti fundamental dari love as pedagogy dibandingkan dengan pendekatan pedagogi lainnya terletak pada penekanannya terhadap hubungan emosional yang autentik, kasih sayang, dan kemanusiaan dalam proses pendidikan, bukan sekadar transfer pengetahuan atau pencapaian akademik semata.

Sementara pendekatan pedagogi tradisional sering menekankan struktur, kontrol, dan hasil, love as pedagogy memprioritaskan kesejahteraan emosional siswa dan keterlibatan yang bermakna antara guru dan murid.

Dalam era digital dan kecerdasan buatan saat ini, pendekatan ini menjadi semakin relevan karena teknologi, meskipun canggih, tidak dapat sepenuhnya menggantikan empati, perhatian, dan relasi antarmanusia yang dibutuhkan dalam pendidikan yang holistik.

Love as pedagogy menjadi penyeimbang penting di tengah derasnya automasi dan interaksi digital yang cenderung impersonal, dengan memastikan bahwa pendidikan tetap berpusat pada manusia dan nilai-nilai kemanusiaan.