Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM
Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)
Mengajukan pertanyaan yang cerdas dan berkualitas adalah keterampilan hidup abad ke-21 yang dapat dikembangkan oleh para murid melalui budi pekerti intelektual, yang pada akhirnya berkontribusi membangun kehidupan yang bebas, damai, adil, dan demokratis.
Seni mengembangkan pertanyaan-pertanyaan cerdas dan berkualitas merupakan keterampilan esensial dalam pendidikan yang bertujuan untuk memberdayakan murid, menumbuhkan pembalajaran mendalam atau deep learning, dan membuka pola pikir yang berlandaskan pada mindfulness, meaningfulness, joyfulness, serta happifulness dalam pembelajaran yang mendalam.
Pertanyaan yang cerdas dan berkualitas tidak hanya menguji pengetahuan, tetapi juga merangsang rasa ingin tahu, refleksi mendalam, dan koneksi pribadi terhadap materi.
Dengan mengajukan pertanyaan terbuka, penuh makna, dan menantang secara intelektual, guru menciptakan ruang dialog kritis yang aman dan bermakna, mendorong siswa untuk berpikir kritis, menggali nilai-nilai kehidupan, dan menemukan kegembiraan serta kepuasan emosional dalam proses belajar sepanjang hidup.
Pendekatan ini memperkuat keterlibatan emosional dan kognitif siswa, sehingga pembelajaran menjadi lebih holistik, utuh, relevan, dan membahagiakan secara berkelanjutan.
‘Deep Learning‘
Menurut Michael Fullan dalam bukunya Deep Learning: Engage the World Change the World, mengajukan pertanyaan yang berkualitas dan cerdas merupakan fondasi utama untuk mendorong pembelajaran yang mendalam dan transformatif.
Fullan menekankan bahwa dalam pembelajaran abad ke-21, murid tidak cukup hanya menerima informasi, tetapi harus dilatih untuk mengeksplorasi, menantang asumsi, dan membangun pemahaman melalui pertanyaan yang tajam dan bermakna.
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang memicu rasa ingin tahu, mengaktifkan pemikiran kritis, serta mendorong kreativitas dan kolaborasi lintas disiplin.
Dalam kerangka “6C” yang dikembangkan Fullan yaitu character, citizenship, collaboration, communication, creativity, dan critical thinking kemampuan bertanya secara reflektif dan logis menjadi kunci untuk menumbuhkan murid yang mampu menghadapi tantangan kompleks dengan kesadaran moral dan intelektual yang tinggi.
Maka, bertanya bukan sekadar keterampilan akademik, tetapi inti dari deep learning yang membekali murid untuk menjadi agen perubahan dalam dunia yang terus berkembang.
Tidak Ada Pertanyaan Bodoh
Banyak murid diajari pepatah “tidak ada pertanyaan bodoh” sebagai bentuk dorongan agar mereka berani bertanya tanpa takut dihakimi atau merasa malu, karena setiap pertanyaan adalah jembatan menuju pemahaman yang lebih dalam.
Pepatah ini bertujuan membangun budaya kelas yang inklusif dan suportif, di mana rasa ingin tahu dihargai dan proses berpikir dihormati.
Namun, penerapan pepatah ini harus disertai dengan sikap guru yang benar-benar terbuka, responsif, dan menghargai setiap pertanyaan, sehingga murid merasa aman untuk mengeksplorasi pemikiran mereka.
Ketika diterapkan dengan tulus, pepatah ini dapat menumbuhkan keberanian intelektual, meningkatkan rasa percaya diri, serta memperkuat hubungan emosional antara murid dan proses belajar.
Tindakan Politis
Banyak murid menjadi malas atau enggan mengajukan pertanyaan cerdas karena sejak dini mereka dibentuk dalam sistem pendidikan yang menekankan pada kemampuan menjawab, bukan kemampuan bertanya.
Anak-anak diajari untuk memberi jawaban yang benar dan cepat, bukan untuk berefleksi, mempertanyakan, atau mengeksplorasi kemungkinan lain.
Akibatnya, kebiasaan bertanya yang sehat dan kritis tertekan oleh budaya belajar yang seragam dan menekankan kepatuhan.
Faktor psikologis juga ikut berperan, seperti rasa takut dianggap bodoh, takut salah, takut dinilai atau dikritik oleh guru dan teman.
Padahal, seperti yang disampaikan para filsuf dan ilmuwan besar, orang-orang yang rasional dan berpengetahuan justru dikenal karena kemampuan mereka mengajukan pertanyaan, bukan karena selalu punya jawaban.
Mengajukan pertanyaan sesungguhnya adalah tindakan yang bersifat politis, karena ia mengusik kenyamanan, menantang otoritas, dan membuka ruang diskusi yang sering kali mengandung dimensi pribadi dan sosial.
Pertanyaan yang jujur dapat mengguncang asumsi yang mapan dan memantik perdebatan, sehingga tidak jarang dianggap mengganggu.
Namun dalam semangat cinta belajar sejati, pertanyaan tidak boleh ditakuti—justru harus dirangkul sebagai wujud keberanian berpikir dan keinginan untuk tumbuh.
Lingkungan belajar yang sehat adalah yang menumbuhkan rasa hormat terhadap pertanyaan, bukan yang membungkamnya.
Sebab, seperti dikatakan oleh Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang dialogis, di mana murid dan guru sama-sama tumbuh melalui pertanyaan, pencarian makna, dan keterlibatan kritis terhadap dunia.
Ruang Demokrasi
Pembelajaran otentik mendalam adalah pendekatan yang menempatkan pengalaman nyata, konteks kehidupan, dan relevansi pribadi sebagai inti dari proses belajar.
Dalam pembelajaran ini, murid tidak sekadar menerima informasi, tetapi dipanggil untuk menggunakan imajinasi mereka dalam memahami dunia, menciptakan solusi inovatif terhadap masalah nyata, serta merefleksikan nilai, makna, dan dampak dari pengetahuan yang mereka peroleh.
Imajinasi membuka ruang bagi kemungkinan-kemungkinan baru, inovasi menantang status quo, dan refleksi menumbuhkan kesadaran diri serta tanggung jawab sosial.
Ketiga elemen ini saling menguatkan dan menjadikan proses belajar sebagai perjalanan transformatif yang bukan hanya bersifat akademis, tetapi juga emosional dan eksistensial.
Dalam konteks ini, pembelajaran otentik menjadi wadah untuk menghidupkan kembali pemikiran kritis dan dialogis yang mendasari pendidikan demokratis deliberatif.
Murid diajak untuk tidak hanya memahami perbedaan pendapat, tetapi juga aktif dalam membangun dialog yang penuh makna, mendengarkan secara empatik, dan mempertimbangkan berbagai sudut pandang sebelum mengambil kesimpulan.
Proses ini melatih mereka menjadi warga yang berpikir terbuka, berani menyuarakan ide, namun tetap menghargai kontribusi orang lain.
Pendidikan semacam ini tidak hanya menumbuhkan kecerdasan kognitif, tetapi juga kesadaran etis dan tanggung jawab sosial, menjadikan sekolah sebagai ruang demokrasi yang hidup, di mana suara setiap murid dihargai dan pertumbuhan bersama menjadi tujuan utama.
Epistemologi Kebajikan
Secara filosofis, mengajukan pertanyaan dipandang sebagai dasar utama dalam proses belajar menurut epistemologi kebajikan (virtue epistemology), yang dikembangkan oleh para filsuf seperti Roberts dan Wood, Jason Baehr, serta Linda Zagzebski dan lainnya, termasuk Lorraine Code dan Gary Watson.
Epistemologi kebajikan menekankan bahwa pengetahuan sejati tidak hanya bergantung pada informasi dan logika, tetapi juga pada karakter intelektual yang baik, seperti rasa ingin tahu, keberanian intelektual, kerendahan hati, dan cinta akan kebenaran.
Dalam kerangka ini, mengajukan pertanyaan bukan hanya aktivitas kognitif, tetapi tindakan kebajikan intelektual yang mencerminkan komitmen terhadap pemahaman yang mendalam dan pembelajaran yang otentik.
Roberts dan Wood dalam Intellectual Virtues: An Essay in Regulative Epistemology menegaskan bahwa pertanyaan yang tulus muncul dari disposisi moral dan intelektual yang sehat, mereka yang bertanya dengan maksud memahami menunjukkan integritas intelektual.
Jason Baehr, dalam Cultivating Good Minds, menekankan bahwa membangun lingkungan belajar yang mendukung pertanyaan kritis dan reflektif adalah bagian dari memupuk kebajikan epistemik.
Maka, bertanya bukan sekadar teknik, melainkan fondasi filosofis untuk deep learning, karena ia lahir dari dan memperkuat karakter yang cinta akan pengetahuan, berpikir jernih, dan terbuka terhadap kebenaran.
Pertanyaan Cerdas
Mengajukan pertanyaan merupakan inti dari proses belajar yang aktif dan reflektif; ia bukan sekadar alat untuk menggali informasi, melainkan jendela menuju berpikir tingkat tinggi, kreatif, dan inovatif.
Dalam taksonomi Bloom yang direvisi oleh Anderson dan Krathwohl, keterampilan berpikir tingkat tinggi mencakup menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta—dan semua proses ini dimulai dengan pertanyaan yang menggugah.
Pertanyaan memicu rasa ingin tahu, membuka kemungkinan eksplorasi alternatif, dan mengarahkan murid untuk membongkar asumsi, menghubungkan ide, serta membangun pemahaman baru yang lebih mendalam.
Howard Gardner, dalam bukunya Five Minds for the Future, menekankan pentingnya pertanyaan sebagai pemicu dari pikiran yang disipliner, kreatif, dan etis, yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan masa depan yang kompleks dan tak terduga.
Kriteria pertanyaan yang baik dan cerdas adalah pertanyaan yang terbuka, kontekstual, menantang secara intelektual, serta relevan dengan pengalaman dan minat murid.
Menurut Warren Berger dalam bukunya A More Beautiful Question, pertanyaan yang kuat adalah yang “mendorong tindakan, mendorong inovasi, dan membuka kemungkinan yang belum dipertimbangkan.”
Pertanyaan yang baik tidak mencari jawaban tunggal, melainkan mengarahkan pada diskusi, eksplorasi, dan pencarian makna yang lebih luas.
Guru yang cerdas bukan hanya mengajukan pertanyaan, tetapi juga menciptakan iklim belajar yang menghargai pertanyaan dari murid, memfasilitasi dialog yang bermakna, dan mendorong murid untuk bertanya kembali dengan kualitas dan kedalaman yang lebih tinggi.
Dengan demikian, bertanya bukan lagi sekadar kegiatan, tetapi menjadi budaya belajar yang mendalam dan transformatif.
Pertanyaan Esensial
Guru yang cerdas dalam konteks deep learning memiliki peran strategis sebagai fasilitator yang menciptakan ruang aman dan suportif bagi murid untuk bereksplorasi secara intelektual, kreatif, dan reflektif.
Ia memahami bahwa pembelajaran yang bermakna tidak terjadi dalam suasana yang kaku, tetapi dalam lingkungan yang memberi kebebasan murid untuk berani mencoba, bertanya, dan mengekspresikan gagasannya.
Namun, kebebasan ini tidak berarti tanpa arah; guru membimbing murid untuk mengembangkan imajinasi dan keberanian bertanya dalam batas kerangka berpikir yang logis dan bertanggung jawab.
Dengan mengasah kemampuan murid untuk berpikir kritis dan reflektif, guru menuntun mereka menjelajah dunia ide dengan antusias tanpa terjerumus pada pertanyaan yang sembrono atau tidak relevan, melainkan pertanyaan yang menggugah pemahaman mendalam.
Dalam praktiknya, guru cerdas melatih murid untuk menyusun pertanyaan berkualitas tinggi yang jelas, ringkas, serta dibangun atas dasar nalar dan struktur bahasa yang tepat.
Ia membimbing murid untuk merumuskan pertanyaan dengan kata-kata yang bermakna, kalimat yang efektif, dan tujuan yang spesifik, sehingga setiap pertanyaan menjadi alat yang tajam untuk mengeksplorasi dan menantang ide.
Menurut Grant Wiggins dan Jay McTighe dalam buku Essential Questions: Opening Doors to Student Understanding, pertanyaan berkualitas bukan hanya mengarahkan pada jawaban, tetapi membuka diskusi, menstimulasi pemikiran mendalam, dan memperkuat pemahaman lintas disiplin.
Guru yang visioner tidak hanya menilai apa yang ditanyakan murid, tetapi juga bagaimana dan mengapa mereka bertanya karena di situlah letak keberhasilan dalam menumbuhkan petualangan intelektual sejati.
Tinggalkan Balasan