(Sebuah catatan di hari lahirnya Pancasila dari Perspektif Sosiologi Agama)
Oleh: Anselmus Dore Woho Atasoge
Staf Pengajar di Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende. Warga Flores, Tinggal di Ende
Pancasila bukan sekadar konstruksi hukum atau doktrin politik. Ia adalah roh yang menghidupkan peradaban bangsa, mengalir dalam denyut nadi masyarakat, menyatukan keberagaman dalam harmoni yang abadi.
Sebagai falsafah yang lahir dari sejarah panjang perjuangan, Pancasila tidak hanya menjadi pilar kebangsaan, tetapi juga refleksi dari nilai-nilai spiritual yang telah lama berakar dalam kesadaran kolektif rakyat Indonesia.
Ia adalah nyala api yang menerangi jalan, mengajarkan kebersamaan, dan menjadikan perbedaan sebagai kekuatan, bukan pemisah.
Dalam perspektif sosiologi agama, Pancasila merepresentasikan fungsi sosial dari nilai-nilai religius sebagaimana dijelaskan oleh Émile Durkheim.
Ia tidak sekadar mengikat masyarakat dalam kesatuan struktural, tetapi juga membentuk moralitas kolektif yang menuntun perilaku sosial.
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama bukan hanya simbol, melainkan manifestasi dari nilai-nilai transenden yang memperkuat solidaritas kebangsaan.
Dalam bingkai ini, agama bukan sekadar keyakinan personal, tetapi juga elemen yang menghubungkan individu dengan komunitas, membangun integrasi sosial yang menjunjung tinggi kemanusiaan.
Pancasila juga berfungsi sebagai katalis perubahan sosial, sebagaimana dijelaskan oleh Max Weber dalam teorinya tentang agama dan ekonomi.
Dalam kehidupan bermasyarakat, nilai-nilai Pancasila mengajarkan semangat keadilan sosial, gotong royong, dan kesejahteraan bersama sebagai landasan pembangunan.
Ia tidak hanya menjadi instrumen normatif, tetapi juga mendorong pola pikir wirausaha berbasis etika yang menjunjung kesejahteraan kolektif.
Dalam konteks ini, generasi muda memiliki peran strategis dalam mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam praktik ekonomi yang berorientasi pada kemajuan bersama.
Di tengah arus modernisasi yang sering kali membawa fragmentasi sosial, Pancasila menjadi jangkar yang menjaga keseimbangan.
Peter L. Berger, dalam teorinya tentang konstruksi sosial realitas, menegaskan bahwa nilai-nilai religius dan sosial membentuk kerangka berpikir masyarakat.
Pancasila, dalam perannya sebagai roh bangsa, memastikan bahwa kebersamaan tetap terjaga di tengah keberagaman.
Ia bukan sekadar teks dalam konstitusi, tetapi juga wujud nyata dalam interaksi sosial, yang terus berkembang seiring dinamika zaman tanpa kehilangan esensinya.
Sebagai nilai yang menjiwai kehidupan berbangsa, Pancasila memiliki daya tahan menghadapi tantangan sejarah.
Robert N. Bellah, dalam studinya tentang masyarakat religius, menjelaskan bagaimana nilai-nilai moral yang bersumber dari agama berperan dalam membentuk kohesi sosial.
Dalam konteks Indonesia, Pancasila adalah kristalisasi dari berbagai prinsip moral yang menghubungkan keberagaman menjadi satu entitas yang utuh.
Ia mengajarkan kesetaraan, menghormati hak setiap individu, dan menempatkan kepentingan bersama di atas segalanya.
Lebih dari itu, dalam teori public sphere dari Jürgen Habermas, nilai-nilai spiritual dan etika harus menjadi bagian integral dari diskursus publik.
Pancasila, sebagai falsafah bangsa, telah membentuk ruang inklusif di mana setiap individu memiliki kesempatan untuk berkontribusi dalam pembangunan tanpa kehilangan identitasnya.
Ia adalah perisai bagi kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab, menjamin bahwa setiap suara memiliki tempat dalam peradaban yang terus berkembang.
Dalam peringatan Hari Lahir Pancasila, kita diingatkan kembali bahwa falsafah ini bukan sekadar warisan sejarah, tetapi juga kompas yang menuntun masa depan.
Ia adalah cahaya yang menuntun bangsa menuju kesejahteraan, bukan dengan dogma atau paksaan, tetapi melalui kesadaran kolektif bahwa persatuan adalah kunci bagi keberlanjutan kehidupan berbangsa.
Sebagai falsafah bangsa, Pancasila tidak sekadar tertulis dalam konstitusi, tetapi terpatri dalam setiap aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya.
Ia adalah roh yang menghidupkan semangat kebangsaan, menuntun setiap individu untuk membangun masyarakat yang berkeadilan dan bermartabat.
Dalam perspektif sosiologi agama, nilai-nilai Pancasila menjelma sebagai kekuatan moral yang menyatukan keberagaman dalam harmoni, mengajarkan bahwa kesejahteraan sejati terletak pada kebersamaan, gotong royong, dan kesetaraan.
Generasi penerus bukan hanya pewaris, tetapi juga penggerak yang memastikan nyala api kebangsaan tetap membara, menghidupi cita-cita luhur yang diwariskan oleh para pendiri bangsa.
Keberlanjutan Pancasila bergantung pada komitmen kolektif untuk menghayati dan mengamalkannya dalam setiap langkah kehidupan.
Kemajuan tidak semata-mata diukur dari pencapaian ekonomi atau teknologi, tetapi dari seberapa kuat nilai-nilai kemanusiaan menjadi fondasi peradaban.
Habermas pernah bilang bahwa ruang publik yang sehat adalah tempat di mana moralitas dan kebebasan berpikir saling menguatkan.
Dengan menjadikan Pancasila sebagai pedoman, kita membangun Indonesia yang tidak hanya maju secara material, tetapi juga kaya akan nilai-nilai etis yang menjunjung keadilan dan kesejahteraan bersama.
Di bawah panji Pancasila, masa depan bangsa terukir dengan semangat keberagaman yang bersatu, membawa Indonesia menuju kejayaan yang berakar pada prinsip-prinsip luhur yang tak lekang oleh waktu.
Tinggalkan Balasan