Oleh: Sirilus Aristo Mbombo
Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira Kupang – NTT
Kekerasan adalah wajah paling muram dari kegagalan manusia dalam mencintai. Ia muncul ketika kuasa mengambil alih nurani, ketika tubuh tak lagi dipandang sebagai rumah jiwa yang layak dihormati, tetapi sebagai objek kekuasaan, pelampiasan, bahkan pelukaan.
Dalam konteks perempuan dan anak, kekerasan menjadi dosa struktural yang berulang, berlangsung diam-diam namun dalam, dan sering kali luput dari perhatian karena dibungkus rapi oleh tradisi, agama yang disalahpahami, atau oleh tatanan budaya yang bias.
Secara hakikat, kekerasan bukan hanya tindakan fisik, tetapi segala bentuk dominasi yang menindas eksistensi orang lain seperti kekerasan verbal, emosional, ekonomi, sosial, bahkan simbolik.
Perempuan dan anak menjadi kelompok yang rentan, karena tubuh mereka, suara mereka, serta hak-hak mereka kerap ditafsirkan dan dikendalikan oleh struktur yang tidak adil.
Di ruang privat maupun publik, di dalam rumah maupun dalam lembaga negara, luka yang sama terus diderita oleh yang lemah.
Di Nusa Tenggara Timur (NTT), kekerasan terhadap perempuan dan anak bukanlah sekadar kasus insidental, tetapi gejala dari sistem sosial yang menormalisasi ketimpangan kuasa.
Dalam kebudayaan yang masih didominasi oleh warisan patriarki, perempuan sering kali tidak ditempatkan sebagai subjek penuh, melainkan sebagai bagian dari kepemilikan keluarga laki-laki.
Warisan budaya patrilineal Yunani kuno yang menempatkan perempuan sebagai penjaga rumah, bukan warga polis, masih terasa dalam cara kita memaknai peran perempuan hari ini.
Dalam konteks itu, anak perempuan menjadi “investasi” sosial, sementara anak laki-laki menjadi pewaris martabat keluarga.
Namun kita tak boleh berhenti pada kritik. Kita harus menyelami mengapa kekerasan terjadi. Dari ketimpangan ekonomi, pernikahan usia dini, minimnya pendidikan moral, hingga lemahnya sistem hukum yang melindungi korban, semua menyatu dalam satu lanskap yang subur bagi lahirnya kekerasan.
Dalam epistemologi kekerasan, seperti yang dipaparkan oleh Michel Foucault, tubuh manusia tidak netral; ia adalah medan kuasa, di mana institusi sosial, norma dan disiplin bergulat untuk mengendalikan, membungkam, bahkan menghancurkan martabat.
Namun kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak selalu datang dari laki-laki saja.
Ini bukan soal gender semata, tetapi soal kekuasaan. Kekuasaan yang korup, yang tidak berlandaskan cinta dan etika, bisa menjelma dalam siapa saja baik laki-laki, perempuan, guru, dosen, tokoh agama, bahkan ayah sendiri.
Mengapa orang-orang terdidik, para religius, bahkan penegak hukum pun bisa menjadi pelaku? Karena pendidikan yang tidak membentuk kesadaran moral hanya menciptakan intelek yang kering, yang tak berakar pada cinta kasih.
Karena agama yang tidak menghidupi nilai-nilai kasih, hanya menjadi ritual kosong yang mudah dibelokkan menjadi pembenaran.
Pertanyaan kontroversial apakah laki-laki di Indonesia khususnya di NTT berotak kotor dan menjadi pelaku utama kekerasan hendaknya tidak dijawab dengan generalisasi.
Tidak semua laki-laki adalah pelaku, namun sebagian di antaranya memang menjadi pelaku karena pembiaran sosial, pendidikan yang dangkal, dan hasrat seksual yang tidak terdidik.
Oleh karena itu, perempuan juga memiliki tanggung jawab untuk menjaga dirinya sebagaimana laki-laki. Norma agama, hukum, dan budaya adalah panduan bersama yang harus dihidupi secara setara oleh keduanya.
Kekerasan dalam pacaran yang marak terjadi di kalangan muda sering kali bermula dari pengabaian nilai-nilai luhur yang diajarkan orang tua dan agama.
Seks bebas, manipulasi emosional, dan pelecehan menjadi konsekuensi dari relasi tanpa kesadaran moral.
Manusia baik laki-laki maupun perempuan memiliki hawa nafsu, yang dalam kajian psikologi dan ilmu kesehatan, bersumber dari dorongan biologis dan hormonal.
Namun ketika dorongan ini tidak diiringi oleh kesadaran moral dan kendali psikologis yang matang, maka ia dapat berubah menjadi tindakan predatoris.
Sigmund Freud, dalam psikoanalisisnya, menyatakan bahwa manusia memiliki dorongan seksual (libido) sebagai kekuatan bawah sadar yang bisa membangun dan sekaligus merusak.
Ketika dorongan itu tidak disublimasi melalui pendidikan, agama, dan kasih sayang, ia berubah menjadi hasrat yang destruktif.
Friedrich Nietzsche, filsuf eksistensialis, menyadari bahwa manusia bisa menjadi “binatang paling kejam” ketika kehilangan kehendak untuk memberi makna.
Maka, nafsu yang tak terkendali bukan semata kesalahan moral individu, tetapi kegagalan kolektif dalam menanamkan nilai dan disiplin spiritual sejak dini.
Pertanyaan penting muncul: apakah perempuan dan anak membutuhkan perlindungan? Jawabannya bukan hanya ya, tetapi lebih dalam: mereka perlu dihormati sebagai subjek, bukan dilindungi sebagai objek yang lemah.
Dan apakah laki-laki tak butuh perlindungan? Justru ya, laki-laki juga harus dibebaskan dari konstruksi sosial yang memaksa mereka menjadi maskulin secara toksik, kuat secara artifisial, dan dominan secara sistemik.
Perlindungan adalah hak universal manusia dalam sebuah rumah yang disebut masyarakat.
Namun, di balik semua itu, masyarakat kita belum sepenuhnya menyadari bahwa rumah tangga bukan hanya ruang privat, tetapi fondasi etis negara.
Dalam rumah itulah, kekerasan sering bermula. Maka, bukan hanya istri dan anak yang harus dilindungi, tetapi juga suami, pembantu rumah tangga, bahkan hewan peliharaan.
Karena keadilan sejati tak bisa hadir di ruang publik jika rumah telah menjadi ladang kekerasan.
Konstruksi realitas kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah akibat dari tafsir sosial yang salah tentang kuasa dan kehormatan.
Realitas ini dipelihara oleh budaya diam, oleh institusi yang lemah, dan oleh norma-norma sosial yang menyalahkan korban.
Di sinilah negara harus hadir, bukan sebagai penonton, tetapi sebagai pelayan rakyat. Pemerintah harus bijak, progresif, dan berani mengambil langkah transformatif.
Perlindungan hukum yang kuat bagi korban dan pelapor, pelatihan pranikah yang mendalam dan filosofis, program keagamaan yang mencerahkan, serta kerja sama aktif dengan organisasi masyarakat adalah jalan yang harus dirawat dan dijalankan secara menyeluruh.
Solusi tidak hanya berhenti pada kebijakan, tetapi pada perubahan paradigma. Kita butuh etika baru dalam berkeluarga. Etika yang tidak mendasarkan relasi pada dominasi, tetapi pada cinta yang setara dan saling menghormati.
Program seperti P2TP2A, jika hanya menjadi simbolis dan birokratis, tidak akan menyentuh akar persoalan.
Ia harus dihidupkan oleh para pemimpin lokal, guru, tokoh agama, dan masyarakat sipil yang sadar bahwa setiap tindakan kekerasan adalah pengkhianatan terhadap martabat manusia.
Dalam perspektif agama, keenam agama besar di Indonesia memiliki ajaran luhur tentang seksualitas dan kehidupan.
Islam mengajarkan bahwa hubungan seksual adalah amanah dan bentuk ibadah dalam cinta yang halal.
Katolik dan Kristen menjunjung tinggi kesucian tubuh sebagai bait Roh Kudus. Hindu mengajarkan prinsip dharma dalam relasi antara suami istri.
Buddha menekankan welas asih dan pengendalian diri. Konghucu mengajarkan keharmonisan keluarga sebagai fondasi negara.
Semua agama, jika dibaca dengan benar, menolak kekerasan dan mengangkat martabat manusia.
Filsuf Simone de Beauvoir menyoroti bahwa perempuan sering dikonstruksikan sebagai “yang lain” (the Other), bukan sebagai subjek otonom.
Kekerasan terjadi ketika perempuan diposisikan bukan sebagai mitra dalam relasi, tetapi sebagai properti atau fungsi biologis semata.
Judith Butler menambahkan bahwa identitas gender adalah hasil dari performativitas sosial yang bisa diubah. Maka, budaya pun bisa diubah. Kekerasan bukan takdir.
Ia adalah sistem yang bisa dilawan.
Di NTT, solusi harus kontekstual. Pendidikan harus dikembalikan sebagai pembentuk jiwa.
Para remaja yang ingin menikah muda perlu dibekali dengan pelatihan bukan hanya soal ekonomi, tetapi soal cinta, komunikasi, moral, dan ketahanan emosional.
Gereja, masjid, pura, dan sekolah harus bekerja sama menciptakan ruang dialog. Pemerintah daerah harus berani membangun sistem perlindungan berbasis komunitas, bukan sekadar prosedur hukum yang jauh dari jangkauan rakyat.
Indonesia Emas 2045 tak akan terwujud jika emas itu digenangi air mata perempuan dan anak-anak. Jika perempuan adalah ibu kehidupan, maka melukai mereka adalah melukai masa depan.
Maka negara, masyarakat, dan setiap individu memiliki tanggung jawab etis untuk merawat perempuan dan anak, bukan hanya sebagai kelompok yang rentan, tetapi sebagai penjaga peradaban.
Dua filsuf modern, Martha Nussbaum dan Cornel West, menekankan pentingnya cinta dalam politik dan emosi dalam keadilan.
Nussbaum meyakini bahwa keadilan tak bisa ditegakkan tanpa empati yang mendalam terhadap penderitaan orang lain.
Cornel West menyatakan bahwa demokrasi tanpa cinta adalah tirani yang dibungkus dengan konstitusi. Maka, mari kita ubah paradigma kita.
Pendidikan bukan hanya soal angka dan gelar, tetapi soal membentuk hati yang mampu mencintai dan melindungi.
Pada akhirnya, dalam kata Plato, “Masyarakat akan adil jika warganya memiliki jiwa yang adil.”
Dan dari Confucius kita belajar bahwa “Rumah yang harmonis adalah dasar negara yang damai.” Maka, mari kita mulai dari rumah. Dari cinta yang tak menyakiti. Dari keadilan yang tak pilih kasih. Dari perlindungan yang bukan karena belas kasihan, tetapi karena pengakuan atas martabat yang setara.
Indonesia tak membutuhkan kekuasaan yang besar, tetapi cinta yang besar. Cinta yang menghidupkan, membebaskan, dan menyembuhkan. Demi perempuan, demi anak, demi masa depan yang layak disebut Indonesia Emas.
Tinggalkan Balasan