Oleh: Petrus Pile Mulan
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univesitas Katolik Widya Mandira Kupang

Dalam arus zaman yang kian bergelombang, pendidikan di Indonesia, yang seharusnya menjadi mercusuar moralitas dan kebijaksanaan, perlahan-lahan tenggelam dalam kubangan budaya korupsi.

Seperti sungai yang tercemar dari hulunya, sistem pendidikan kita bukan hanya mengalami krisis kualitas, tetapi lebih dalam dari itu: krisis nilai.

Nilai-nilai luhur yang semestinya menjadi fondasi pendidikan justru dilipat menjadi simbol-simbol tanpa makna, dipajang dalam pidato seremonial dan buku teks tanpa pernah meresap ke dalam praktik nyata.

Pendidikan moral dan integritas, yang seharusnya menjadi denyut nadi setiap proses pembelajaran, kini menjelma menjadi sekadar retorika.

Upacara bendera dengan tema kejujuran, seminar tentang etika, dan kurikulum Pancasila hanya menjadi kosmetik dari realitas yang bertolak belakang.

Di balik slogan “berkarakter” yang terus digaungkan, tersembunyi ironi: praktik jual beli nilai, manipulasi administrasi, dan sistem evaluasi yang bisa ditawar oleh uang dan relasi.

Seperti kata filsuf Jürgen Habermas, masyarakat modern telah kehilangan orientasi komunikatifnya dan jatuh ke dalam tindakan strategis di mana pendidikan bukan lagi tentang pencarian kebenaran bersama, melainkan alat untuk mencapai tujuan pribadi.

Minimnya keteladanan dari negara memperparah luka ini. Ketika pejabat tinggi terlibat dalam skandal korupsi, ketika lembaga pendidikan dipimpin oleh orang-orang yang hanya mengejar prestise dan kuasa, maka anak-anak bangsa tak punya cermin moral yang layak.

Pendidikan kehilangan teladan dan arah karena negara gagal menjadi model integritas. Filsuf Prancis Michel Foucault pernah mengingatkan bahwa kekuasaan bukan sekadar hierarki, tetapi jaringan yang membentuk subjektivitas manusia.

Maka ketika kekuasaan negara tidak memberi teladan, kekacauan nilai akan merembes ke segala lini, termasuk pendidikan. Dalam konteks Indonesia, anak didik tumbuh dengan luka skeptis: mereka melihat nilai bukan sebagai kebenaran, tetapi sebagai alat tawar-menawar dalam permainan sistemik.

Lebih jauh, kekuasaan politik telah mencengkeram dunia pendidikan dengan cara yang semakin kasat mata. Penunjukan rektor, dekan, bahkan kepala sekolah, tidak jarang dipengaruhi oleh kepentingan politik dan jaringan kekuasaan.

Bukan lagi soal kompetensi dan visi pendidikan, tetapi siapa yang dekat dengan siapa. Antonio Gramsci, filsuf Italia, menyoroti hal ini dalam konsep hegemoni bahwa kelas penguasa mempertahankan dominasinya bukan hanya melalui kekuatan koersif, tetapi juga melalui institusi seperti pendidikan, yang dipakai untuk membentuk kesadaran palsu.

Di Indonesia hari ini, kita menyaksikan bagaimana institusi pendidikan tidak netral, tetapi sering menjadi perpanjangan tangan dari kekuatan politik yang ingin mengamankan kepentingan kelompoknya. Maka jangan heran jika keberanian intelektual semakin langka, karena keberpihakan pada kebenaran digantikan oleh keberpihakan pada kekuasaan.

Kesenjangan pendanaan dan ketimpangan akses memperlebar jurang pendidikan yang adil. Di satu sisi, sekolah-sekolah di kota besar dengan pendanaan swasta dapat mengakses teknologi canggih, kurikulum internasional, dan guru berkualitas.

Di sisi lain, di pelosok-pelosok negeri, sekolah-sekolah ambruk, murid belajar tanpa listrik, dan guru harus berjalan berjam-jam hanya untuk mengajar. Ketika pendidikan menjadi komoditas, hanya yang punya modal yang bisa membeli masa depan.

Padahal, pendidikan seharusnya menjadi hak, bukan hadiah. Ketimpangan ini bukan hanya ketidakadilan struktural, tetapi bentuk kekerasan epistemik terhadap mereka yang tak mampu. Paulo Freire menyebut ini sebagai kebisuan terstruktur, di mana suara yang tertindas tidak diberi ruang untuk mengartikulasikan penderitaannya sendiri.

Institusi pendidikan, yang semestinya menjadi ruang etika, sering kali tidak memiliki pengawasan internal yang kuat.

Banyak kasus penyelewengan dana BOS, manipulasi anggaran pembangunan fasilitas, dan pelanggaran etika akademik tak pernah ditindak secara serius.

Filsuf Immanuel Kant menekankan pentingnya otonomi moral bahwa manusia dan lembaga hanya bermartabat jika mampu mengatur dirinya berdasarkan prinsip moral, bukan kepentingan pragmatis.

Ketika universitas, sekolah, dan kementerian tidak memiliki mekanisme kontrol etis yang kokoh, maka kekacauan menjadi keniscayaan. Korupsi tumbuh dalam gelap, dan pendidikan yang gelap hanya akan melahirkan generasi yang buta hati.

Evaluasi kinerja guru dan dosen pun sering kali tidak transparan. Penilaian berbasis dokumen administratif, tanpa melihat dedikasi sejati di kelas, menjadikan guru yang tulus justru tertinggal dari mereka yang mahir dalam birokrasi.

Keadilan profesional tergantikan oleh kompetisi manipulatif. Dalam banyak kasus, penghargaan akademik diberikan bukan karena kualitas pemikiran, tetapi karena kedekatan dengan pemegang kebijakan.

Proses rekrutmen dan pemberian beasiswa pun tak lepas dari bayang-bayang nepotisme, kolusi, dan diskriminasi. Ketika prestasi digantikan oleh koneksi, dan keadilan oleh lobi, maka sistem pendidikan kita sedang diracuni dari akarnya sendiri.

Ironisnya, semua ini terjadi di tengah wacana besar tentang reformasi pendidikan dan pemberantasan korupsi.

Kementerian Pendidikan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah meluncurkan berbagai program, namun sering kali kurang menyentuh akar persoalan.

Sosialisasi tanpa transformasi hanya menjadi sandiwara birokrasi. Sementara KPK membidik kepala daerah dan proyek besar, korupsi mikro dalam dunia pendidikan terus berlangsung: pungutan liar, penggelapan dana, gratifikasi akademik.

Kementerian yang seharusnya menjadi garda terdepan justru terlalu sering bersikap normatif, tidak berani mengambil langkah konkret yang menyentuh reformasi struktural.

Dalam kenyataan ini, kita melihat betapa negara kadang hadir hanya dalam bentuk peraturan, bukan dalam bentuk pembebasan dan pelayanan.

Dalam kondisi seperti ini, pertanyaannya bukan hanya apa yang salah, tetapi siapa yang bersedia berubah? Pemerintah tentu memiliki peran sentral: melalui kebijakan yang adil, transparan, dan tegas.

Namun masyarakat pun memikul tanggung jawab besar: orang tua, guru, mahasiswa, aktivis, tokoh agama, semua memiliki ruang untuk menyuarakan dan melawan budaya korupsi yang sudah sistemik.

Pendidikan harus dikembalikan pada rohnya: membebaskan manusia, bukan membungkamnya.

Mendidik bukan untuk menghasilkan buruh yang patuh, tetapi warga negara yang kritis dan bermoral. Maka perlawanan terhadap korupsi dalam pendidikan bukan hanya soal hukum, tetapi soal pembentukan karakter kolektif bangsa.

Dua filsuf modern yang berbicara secara mendalam tentang korupsi dan pendidikan dalam konteks kontemporer adalah Martha C. Nussbaum dan Cornel West.

Nussbaum dalam Creating Capabilities menekankan bahwa pendidikan bukan sekadar transmisi informasi, tetapi pembentukan kemampuan manusia untuk hidup secara bermartabat.

Ketika pendidikan tidak menjamin keadilan, maka ia telah gagal dalam misi dasarnya. Sementara Cornel West, dalam Democracy Matters, menyuarakan pentingnya spiritualitas publik dan keberanian moral dalam menghadapi sistem yang korup.

Ia mengingatkan bahwa intelektual yang tidak berani menantang struktur kekuasaan hanyalah pengulang kebohongan sistemik. Di Indonesia, pesan kedua filsuf ini sangat relevan: kita tidak butuh pendidikan yang hanya menghasilkan birokrat atau teknokrat, tetapi warga negara yang berani mencintai keadilan lebih dari kenyamanan pribadi.

Akhirnya, jika kita ingin menyembuhkan bangsa dari luka korupsi yang mengakar di tubuh pendidikan, kita harus berani memulainya dari satu langkah sederhana namun revolusioner: menanamkan kembali cinta pada kebenaran.

Di ruang kelas, di ruang keluarga, di ruang pemerintahan, harus ada semangat untuk mengatakan “tidak” pada segala bentuk manipulasi dan ketidakjujuran. Pendidikan adalah cermin bangsa. Bila cermin itu retak karena korupsi, maka wajah masa depan kita pun akan cacat.

Sebab, seperti kata Plato, “Pendidikan adalah menyalakan api, bukan mengisi bejana.” Dan seperti Cornel West mengingatkan, “Kita harus tetap bersaksi akan kebenaran, bahkan ketika dunia lebih memilih diam.”

Maka marilah kita menyalakan api itu. Bukan api kebencian, tetapi api kesadaran. Bukan api kekuasaan, tetapi api kebijaksanaan. Di sinilah letak harapan kita bukan pada reformasi yang dibungkus retorika, tetapi pada revolusi sunyi yang dimulai dari hati yang jujur.

Karena bangsa yang besar bukan hanya karena kekayaan alam atau kekuatan militer, tetapi karena kemampuannya membentuk generasi yang berani hidup dalam kebenaran. Dan hanya pendidikan yang jujur yang dapat mencetak manusia seutuhnya, yang berpikir jernih, bertindak adil, dan mencintai sesamanya.