Oleh: Imanuel Cornelis Radja
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unwira Kupang
Di sebuah sudut kota Soe, Nusa Tenggara Timur, saya melihat seorang pemuda duduk diam di emperan toko. Dulu ia aktif di sekolah dan gereja, kini ia hanya menatap kosong. Ia bukan satu-satunya.
Banyak anak muda di daerah kami mengalami hal serupa. Mereka menganggur bukan karena tidak mampu, tetapi karena tidak ada ruang yang tersedia untuk mereka berkembang.
Pengangguran bukan hal baru. Tapi hari ini, tekanan ekonomi membuatnya terasa lebih berat. Harga kebutuhan pokok terus naik, lapangan kerja makin sempit.
Lulusan SMA, bahkan sarjana, pulang ke rumah hanya dengan beban, bukan pekerjaan. Peluang kerja yang layak sulit ditemukan, apalagi di daerah.
Anak muda akhirnya terdorong menerima pekerjaan serabutan, atau merantau tanpa arah dan bekal yang cukup.
Masalah ini tidak hanya terjadi di satu tempat. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa angka pengangguran terbuka di kalangan pemuda Indonesia terus meningkat, terutama di wilayah timur.
Di provinsi seperti Nusa Tenggara Timur, banyak lulusan muda kesulitan masuk dunia kerja karena keterbatasan industri, akses informasi, dan minimnya pelatihan berbasis lokal.
Mereka adalah generasi yang tumbuh dengan semangat, tapi kehilangan arah karena kurangnya dukungan.
Di Soe, saya mengenal banyak pemuda yang seharusnya bisa menjadi penggerak desa. Ada yang pandai bertani, ada yang menguasai teknologi sederhana, bahkan ada yang sempat menjadi relawan sosial.
Tapi perlahan mereka menyerah karena tidak ada wadah, tidak ada program nyata dari pemerintah daerah yang memberi mereka tempat dan kepercayaan.
Mereka lalu memilih pergi ke kota-kota besar, menjadi pekerja informal, atau terjebak dalam pengangguran tak terlihat.
Kondisi ini membuat kita bertanya: ke mana arah pembangunan? Apakah pembangunan hanya soal jalan dan gedung? Sementara itu, manusia sebagai inti pembangunan justru diabaikan.
Yang kita alami saat ini bukan hanya krisis ekonomi, tapi juga krisis harapan. Banyak dari kami merasa kehilangan tempat di tanah sendiri.
Lebih dari itu, kita juga menghadapi tantangan mental dan moral. Ketika anak muda merasa tak berguna, harga diri mereka runtuh.
Ketika orang tua terus membandingkan anaknya dengan keberhasilan semu di media sosial, tekanan psikologis pun tumbuh.
Belum lagi stigma sosial terhadap mereka yang tak bekerja. Seolah-olah semua pengangguran itu malas, padahal banyak dari mereka berjuang setiap hari.
Penyebab dari persoalan ini tidak sederhana. Selain minimnya lapangan kerja, sistem pendidikan kita masih belum menyatu dengan kebutuhan lokal.
Kurikulum sekolah seringkali tak memberi bekal keterampilan yang relevan dengan realitas desa.
Sementara itu, anggaran pemerintah daerah seringkali lebih fokus pada pembangunan fisik ketimbang pembinaan manusia.
Akibatnya, kita menciptakan generasi yang siap ujian nasional, tapi tidak siap menghadapi kehidupan nyata.
Namun belum terlambat. Saya percaya pembangunan harus dimulai dari manusia. Pemerintah perlu hadir bukan sekadar dalam bentuk proyek infrastruktur, tetapi lewat investasi pada sumber daya manusia.
Pelatihan kerja berbasis potensi lokal—seperti pertanian, tenun, pariwisata, dan teknologi desa—harus digalakkan. UMKM perlu dukungan nyata, bukan seminar sekali lewat.
Dan yang paling penting, anak muda perlu dilibatkan dalam perencanaan masa depan.
Saya membayangkan desa yang punya pusat pelatihan kecil, tempat anak muda belajar mengelola hasil kebun, membuat konten promosi digital, hingga belajar akuntansi dasar untuk usaha.
Saya membayangkan koperasi pemuda yang memproduksi hasil tani dan menjualnya langsung ke pasar. Saya membayangkan pemerintah desa yang rutin mendengar suara anak mudanya.
Lebih jauh dari itu, saya ingin melihat sistem beasiswa desa untuk pelajar berprestasi, pendirian rumah baca, dan pelatihan moral serta etika yang melibatkan tokoh adat dan agama. Karena saya percaya, kemajuan tanpa karakter hanya akan melahirkan kekosongan.
Tidak semua butuh anggaran besar. Banyak hal bisa dimulai dari semangat kolaborasi. Tokoh masyarakat, guru, pemuda, dan pemerintah bisa duduk bersama merancang program kecil yang berdampak besar.
Asalkan ada kemauan dan keberpihakan, perubahan bisa dimulai dari desa sekecil apa pun.
Saya tidak menolak kehadiran investor. Tapi sebelum mereka masuk, kita harus siap. Kita harus punya arah sendiri.
Jangan sampai kekayaan daerah dikuasai sepenuhnya oleh luar, sementara rakyat hanya jadi buruh di tanahnya sendiri. Kedaulatan ekonomi dimulai dari pemberdayaan rakyat.
Kita tidak kekurangan anak muda. Kita kekurangan kesempatan dan kepercayaan untuk mereka. Negara ini tidak akan kuat jika generasi mudanya merasa tidak punya masa depan. Karena itu, pembangunan manusia harus menjadi prioritas.
Saya sudah merasa cukup. Dan saya ingin rakyat di tempat saya juga merasakannya. Jangan biarkan kami terus berjalan tanpa arah, menjadi gelandangan di negeri sendiri. Jika pembangunan tak memberi ruang bagi anak muda, lalu siapa yang akan menjaga masa depan negeri ini?
Tulisan ini sebagai bagian dari kepedulian terhadap masa depan anak muda Indonesia, khususnya di daerah. Semoga menjadi pengingat bahwa pembangunan manusia harus menjadi inti dari setiap kebijakan.