Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM
Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)
Di rumah bersama demokrasi digital, setiap kata adalah jembatan, bukan tembok mengalir lembut dalam arus cinta kasih yang merangkul perbedaan sebagai anugerah cinta ilahi.
Dalam ruang ini, persaudaraan manusia semesta bersemi, karena teknologi bukan sekadar alat, melainkan ladang bagi nurani untuk menanam benih kebijaksanaan dan keadaban.
Di tengah riuhnya arus digital, media sosial semestinya menjelma rumah bersama, sebuah beranda luas tempat setiap insan datang membawa suaranya, berbagi pikiran dan perasaan tanpa takut dibungkam atau dibenturkan oleh tirani kekuasaan oligarki yang rakus dan tamak.
Di sana, perbedaan bukan tembok, melainkan jendela untuk saling memahami, karena ruang itu dibangun atas dasar etika musyawarah dan mufakat, warisan luhur Pancasila yang menjunjung martabat manusia dalam setiap kata yang dilontarkan.
Demokrasi tidak hadir dalam teriakan yang saling meniadakan atau menegasikan, tapi dalam perjumpaan batin dan akal, di mana logika bertaut dengan cinta kasih, dan keberanian menyampaikan pandangan disandingkan dengan kesediaan mendengar.
Media sosial yang demikian bukan sekadar teknologi, melainkan ruang kebudayaan, ruang perdababan cinta warga bumi, tempat jiwa bangsa berkaca dan bertumbuh, sebuah lanskap digital yang membumikan cita-cita bersama: Indonesia yang bebas merdeka, damai abadi, adil, bersatu, dan beradab cinta kasih sebagai inti sari Pancasila.
Rumah Bersama
Rumah bersama adalah ruang digital yang dibangun atas dasar saling menghargai, mendengar, dan merangkul perbedaan, tempat di mana setiap suara hadir bukan untuk mendominasi, tetapi untuk menyatu dalam kebijaksanaan kolektif.
Dalam rumah ini, demokrasi digital tumbuh secara manusiawi dan beradab, ditopang oleh cinta kasih dan persaudaraan yang melampaui batas identitas.
Rumah bersama di ruang media sosial dapat menjadi wahana penting untuk menumbuhkembangkan demokrasi deliberatif, yaitu bentuk demokrasi yang menekankan diskusi rasional, partisipasi setara, dan pertimbangan bersama dalam pengambilan keputusan publik.
Dalam ruang digital ini, warga dari berbagai latar belakang dapat berdialog secara terbuka mengenai isu-isu sosial, politik, dan budaya, asalkan difasilitasi oleh tata kelola platform yang adil dan adanya literasi digital yang memadai.
Menurut Jürgen Habermas dalam The Structural Transformation of the Public Sphere (1962), ruang publik yang ideal adalah tempat di mana individu bebas dari tekanan institusional dapat berdebat secara rasional untuk mencapai konsensus.
Media sosial, jika dikelola dengan baik dan dikawal oleh etika deliberatif, dapat menjadi perluasan ruang publik tersebut di era digital.
Namun, hal ini memerlukan keterlibatan aktif dari masyarakat sipil, akademisi, dan penyedia platform untuk menciptakan ruang yang inklusif, moderat, dan tidak terjebak dalam polarisasi atau disinformasi.
Demokrasi Deliberartif
Demokrasi deliberatif menjadi maha penting di era digital karena ia menawarkan jalan menuju peradaban yang berakar pada cinta kasih dan persaudaraan umat manusia secara universal.
Dalam dunia yang kian terhubung namun terpolarisasi, demokrasi deliberatif memberi ruang bagi dialog lintas perbedaan secara setara dan rasional, mengedepankan empati, mendengarkan secara mendalam, dan mencari titik temu demi kebaikan bersama.
Seperti ditegaskan oleh Amy Gutmann dan Dennis Thompson dalam Why Deliberative Democracy? (2004), demokrasi tidak hanya soal suara mayoritas, tetapi juga soal keadilan dalam alasan dan penghormatan terhadap pandangan yang berbeda.
Di tengah derasnya arus hoaks, ujaran kebencian, dan fragmentasi sosial di media digital, praktik deliberatif menjadi jembatan menuju harmoni, memperkuat ikatan antarmanusia, dan meneguhkan nilai-nilai kemanusiaan universal yang menjadi fondasi peradaban cinta kasih.
Etika Deliberatif
Musyawarah mufakat merupakan prinsip dasar dalam Pancasila yang termaktub dalam sila keempat: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”
Sebagai etika deliberatif, musyawarah mufakat mengedepankan proses pengambilan keputusan yang berbasis pada dialog, partisipasi setara, dan pencarian kebijaksanaan kolektif.
Dalam konteks ini, setiap warga negara memiliki hak dan tanggung jawab untuk menyampaikan pendapat secara terbuka dan mendengarkan pandangan orang lain dengan penuh hormat.
Etika ini menekankan bahwa keputusan yang
baik bukan sekadar hasil voting mayoritas, tetapi buah dari pertimbangan mendalam yang melibatkan nalar, empati, dan semangat kebersamaan, sebagaimana dicita-citakan oleh pendiri bangsa.
Dalam kerangka Pancasila, musyawarah mufakat tidak hanya bersifat prosedural, tetapi juga mengandung nilai-nilai substantif seperti keadilan sosial, persatuan, dan penghargaan terhadap martabat manusia.
Ia merupakan bentuk asli dari demokrasi deliberatif Indonesia, yang berbeda dari model Barat karena berakar pada budaya gotong royong dan kearifan lokal.
Dengan menghidupkan kembali semangat musyawarah mufakat di era digital dan politik modern, bangsa Indonesia dapat menghadirkan praktik demokrasi yang lebih inklusif, etis, dan beradab.
Hal ini sekaligus menjadi jawaban atas krisis deliberasi yang kini kerap terjadi di ruang publik, di mana suara keras sering kali menyingkirkan kebijaksanaan, dan polarisasi mengalahkan dialog.
Model Demokrasi Digital
Demokrasi deliberatif yang berakar pada prinsip musyawarah mufakat dalam Pancasila menawarkan fondasi etis yang kuat untuk membangun rumah bersama di media sosial, sebuah ruang publik digital yang idealnya menjadi wadah dialog yang sehat, inklusif, dan berorientasi pada kebaikan bersama.
Dalam musyawarah mufakat, setiap individu dihargai pendapatnya, dan keputusan diambil bukan berdasarkan dominasi suara terbanyak, tetapi atas dasar kebijaksanaan yang lahir dari pertemuan pikiran dan hati.
Etika ini sangat sejalan dengan gagasan deliberasi yang dikemukakan oleh Jürgen Habermas yang menekankan pentingnya komunikasi rasional dan partisipasi bebas dari tekanan sebagai syarat terbentuknya ruang publik yang sehat.
Di era digital, ketika media sosial menjadi arena utama interaksi publik, penerapan etika deliberatif berbasis musyawarah mufakat menjadi semakin penting.
Media sosial kerap dipenuhi polarisasi, disinformasi, dan ujaran kebencian, yang semuanya bertentangan dengan semangat deliberasi dan persaudaraan.
Dalam konteks ini, demokrasi deliberatif bukan hanya pendekatan politik, melainkan juga pedoman moral dalam berinteraksi digital. Amy Gutmann dan Dennis Thompson menekankan bahwa deliberasi yang sehat membutuhkan saling menghormati dan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral.
Jika prinsip-prinsip ini ditanamkan dalam budaya bermedia sosial, maka platform digital dapat berkembang menjadi rumah bersama, ruang yang aman dan terbuka bagi perbedaan, namun tetap terikat dalam semangat persatuan dan cinta kasih.
Membangun rumah bersama di media sosial berdasarkan musyawarah mufakat membutuhkan upaya kolektif: literasi digital yang mendorong dialog kritis, moderasi konten yang adil, dan partisipasi aktif dari warga digital yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila.
Etika deliberatif ini menciptakan ruang digital yang bukan sekadar tempat berbagi informasi, tetapi juga arena perjumpaan antarmanusia yang saling memahami dan membangun kepercayaan.
Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip lokal seperti musyawarah mufakat ke dalam praktik deliberatif global, Indonesia memiliki peluang besar untuk menunjukkan model demokrasi digital yang lebih manusiawi dan beradab.
Maka dari itu, demokrasi deliberatif yang berpijak pada nilai luhur bangsa dapat menjadi jembatan menuju peradaban digital yang memperkuat persaudaraan semesta. Atau
Sekolah Kewaargaan Digital (SKD)
Sekolah merupakan rumah bersama yang strategis untuk menumbuhkembangkan demokrasi digital yang manusiawi dan beradab cinta, karena di sanalah generasi muda pertama kali diperkenalkan pada nilai-nilai hidup bersama, etika, dan tanggung jawab sosial.
Dalam konteks era digital, sekolah tidak hanya berfungsi sebagai tempat mentransfer pengetahuan, tetapi juga sebagai ruang pembentukan karakter digital yang kritis dan etis.
Melalui pendidikan kewargaan digital (digital citizenship), siswa diajarkan untuk memahami hak dan kewajiban dalam ruang maya, menghargai perbedaan pendapat, serta membangun budaya diskusi yang sehat, berdasarkan prinsip-prinsip deliberatif seperti saling mendengar, memberi alasan yang masuk akal, dan mencari titik temu.
Dengan cara ini, sekolah menjadi laboratorium demokrasi yang mempersiapkan peserta didik untuk berpartisipasi aktif di media sosial dengan cara yang bertanggung jawab dan penuh empati.
Lebih jauh, sekolah sebagai rumah bersama juga berperan penting dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila sebagai fondasi etika dalam interaksi digital.
Melalui pembelajaran berbasis proyek, diskusi kelas, dan kegiatan ekstrakurikuler yang melibatkan media digital, siswa dapat dilatih untuk berpraktik demokrasi yang tidak sekadar prosedural, tetapi substantif dan beradab.
Mereka diajak bukan hanya untuk menjadi pengguna teknologi, melainkan subjek yang sadar akan dampak kata-katanya dan paham bagaimana membangun ruang publik digital yang inklusif dan penuh hormat, terkasih dan terdidik (alias tidak dungu).
Dalam lingkungan yang demikian, demokrasi digital tidak hanya tumbuh dalam bentuk teknis partisipasi, tetapi juga dalam semangat kemanusiaan yang menjunjung tinggi nilai musyawarah, keadilan, dan persatuan, cermin dari cita-cita luhur bangsa dalam membangun masyarakat digital yang berkepribadian dan bermartabat.