Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM

Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)

Pendidikan bernafaskan konteks lokal adalah pendekatan pembelajaran yang menekankan maha pentingnya mengaitkan proses pendidikan dengan nilai-nilai, budaya, kearifan lokal, serta kondisi sosial dan geografis setempat.

Pendekatan ini tidak hanya membuat materi pelajaran lebih relevan dan mudah dipahami oleh peserta didik, tetapi juga membentuk rasa identitas, jati diri, kepribadian, cinta tanah air, dan kepedulian terhadap lingkungan sekitar.

Dengan menggali potensi lokal seperti bahasa daerah, seni tradisional, praktik pertanian lokal, atau sejarah komunitas lokal, pendidikan menjadi sarana pelestarian warisan budaya dan pengembangan masyarakat secara sehat dan bahagia berkelanjutan.

Pendidikan yang berakar pada tempat lokal juga mampu memberdayakan peserta didik agar menjadi agen perubahan yang memahami dan mampu menjawab tantangan spesifik yang dihadapi oleh komunitas mereka sendiri.

Pergeseran Paradigma

Pergeseran paradigma pendidikan dari teacher-centered learning ke student-centered learning menandai perubahan besar dalam cara pandang terhadap proses belajar-mengajar.

Dalam pendekatan teacher-centered, guru dianggap sebagai sumber utama pengetahuan dan kontrol pembelajaran sepenuhnya berada di tangan pendidik.

Model ini menempatkan siswa sebagai penerima pasif, yang perannya terbatas pada mendengarkan, mencatat, dan menghafal.
Kritik terhadap pendekatan ini mulai menguat pada pertengahan abad ke-20, terutama oleh tokoh seperti Paulo Freire dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed, yang mengkritik model “banking education” di mana guru “menyetorkan” pengetahuan ke dalam benak murid.

Ia mendorong pendekatan dialogis dan partisipatif, yang kemudian menjadi dasar dari student-centered learning.

Student-centered learning muncul sebagai respons terhadap kekakuan sistem yang menempatkan siswa dalam posisi pasif.
Dalam pendekatan ini, siswa diposisikan sebagai subjek aktif dalam proses pembelajaran, dengan memperhatikan kebutuhan, minat, dan gaya belajar mereka.

Peran guru bergeser menjadi fasilitator yang mendukung eksplorasi dan kemandirian belajar siswa. Tokoh penting dalam perkembangan pendekatan ini adalah John Dewey, yang dalam karya-karyanya seperti Experience and Education menekankan pentingnya pengalaman langsung dan pembelajaran yang relevan dengan kehidupan siswa.

Meskipun pendekatan ini lebih progresif, kritik mulai muncul karena dalam praktiknya, student-centered learning kadang terjebak dalam individualisme dan mengabaikan hubungan siswa dengan dunia material serta komunitas sekitarnya.

Kini, muncul paradigma baru yang dikenal sebagai thing-centered learning, yang berupaya menyeimbangkan relasi antara guru, siswa, dan benda—menghadirkan kembali dunia material sebagai bagian penting dalam proses belajar.

Pendekatan ini bukanlah pengganti dari student-centered learning, tetapi perluasan yang mengakui bahwa pembelajaran yang bermakna tidak hanya terjadi melalui interaksi sosial, tetapi juga melalui keterlibatan langsung dengan benda dan lingkungan.

The Thing

Dalam esainya yang terkenal The Thing (1950), filsuf Martin Heidegger mengajak kita untuk memahami benda (thing) bukan sekadar sebagai objek utilitarian atau alat yang digunakan manusia, melainkan sebagai entitas yang memiliki keberadaan sendiri dan menjalin keterhubungan dengan dunia di sekitarnya.

Heidegger menolak pandangan modern yang mereduksi benda menjadi sekadar sumber daya atau produk massal, dan mengajak kita untuk “tinggal bersama benda” secara lebih peka dan reflektif.

Ia memperkenalkan konsep gathering— yakni bahwa suatu benda mengumpulkan dan mengungkap relasi antara langit, bumi, manusia, dan ilahi dalam satu kesatuan makna.

Contohnya, dalam merenungi kendi, Heidegger menunjukkan bahwa benda sederhana ini tidak hanya dilihat dari bentuk atau fungsinya, tetapi sebagai perwujudan dari relasi kompleks antara ruang, materi, dan makna.

Dengan demikian, The Thing menawarkan pandangan ontologis yang dalam tentang keberadaan benda sebagai sesuatu yang mengada, dan mengajak manusia untuk kembali menghargai dunia material secara lebih mendalam dan tidak sekadar fungsional.

Dalam konteks pendidikan, pergeseran ke thing-centered learning membuka ruang bagi pengalaman belajar yang lebih holistik mencakup aspek kognitif, afektif, dan material secara seimbang

Critical Pedagogy of Place

David A. Gruenewald adalah seorang pendidik dan peneliti yang dikenal karena kontribusinya dalam bidang pendidikan kritis dan ekopedagogi. Ia mempopulerkan konsep Critical Pedagogy of Place melalui artikelnya yang berjudul The Best of Both Worlds: A Critical Pedagogy of Place yang diterbitkan pada tahun 2003.

Dalam karya tersebut, Gruenewald mengusulkan sintesis antara pedagogi kritis dan pendidikan berbasis tempat (place-based education), dengan tujuan untuk membangun kesadaran ekologis dan sosial di kalangan peserta didik.

Ia menekankan pentingnya memahami konteks lokal dan hubungan manusia dengan lingkungan sebagai bagian dari proses pendidikan yang transformatif.

Selain itu, Gruenewald juga menulis artikel berjudul Foundations of Place: A Multidisciplinary Framework for Place-Conscious Education yang diterbitkan pada tahun 2003, yang memberikan kerangka multidisipliner untuk pendidikan yang sadar tempat.

Karya-karya ini berkontribusi pada pengembangan teori dan praktik pendidikan yang mengintegrasikan kesadaran ekologis dan sosial dalam konteks lokal.

David A. Gruenewald, dalam karya terkenalnya “The Best of Both Worlds: A Critical Pedagogy of Place” (2003), mengembangkan konsep place-based education sebagai pendekatan pendidikan yang mengaitkan pembelajaran dengan tempat atau konteks lokal peserta didik.

Bagi Gruenewald, tempat bukan sekadar lokasi geografis, melainkan ruang yang sarat nilai, sejarah, budaya, dan relasi sosial-ekologis.

Ia menggabungkan dua pendekatan: critical pedagogy (pedagogi kritis) dan place-based education untuk membentuk apa yang disebutnya sebagai critical pedagogy of place.

Tujuannya adalah agar pendidikan tidak hanya relevan dengan lingkungan sekitar siswa, tetapi juga kritis terhadap struktur sosial dan ekonomi yang menindas serta merusak lingkungan.

Pendidikan berbasis tempat mendorong siswa untuk memahami, mencintai, dan bertindak bagi komunitas serta ekosistem tempat mereka hidup.

Konsep Gruenewald menekankan dua proses utama: decolonization (dekolonisasi) dan reinhabitation (pemulihan tempat).

Dekolonisasi berarti membongkar pandangan dominan yang menjauhkan siswa dari konteks lokal, termasuk nilai-nilai globalis atau teknokratis yang menstandarkan pendidikan secara seragam.

Reinhabitation adalah proses menumbuhkan kembali keterhubungan yang bermakna dengan tempat, baik secara ekologis maupun kultural sehingga siswa dapat membangun tanggung jawab dan kepedulian terhadap komunitasnya.

Dalam pendekatan ini, sekolah bukan hanya tempat untuk mengejar nilai akademik, tetapi juga menjadi ruang pemberdayaan sosial dan ekologi yang konkret.

Gruenewald mengajak pendidik untuk tidak memisahkan antara keadilan sosial dan keadilan ekologis, karena keduanya saling terhubung dalam pengalaman hidup nyata yang berlangsung di “tempat”.

Pendidikan yang berakar pada tempat lokal memiliki peran penting dalam mewujudkan keadilan sosial dan lingkungan.

Pendekatan ini berangkat dari kesadaran bahwa setiap komunitas memiliki kebutuhan, tantangan, dan potensi yang khas.
Melalui pendidikan yang terhubung dengan konteks lokal—baik dari segi budaya, ekologi, ekonomi, maupun sosial.

Peserta didik tidak hanya belajar secara kognitif, tetapi juga diajak memahami realitas kehidupan sehari-hari di sekitarnya.

David A. Gruenewald dalam bukunya Place-Based Education: Grounding Teaching in the Local menekankan bahwa pendidikan harus menjadi alat untuk membangun keterlibatan kritis terhadap tempat dan kondisi lokal agar mampu menciptakan perubahan sosial yang adil dan berkelanjutan.

Pendidikan yang Membebaskan
Dengan mengintegrasikan kearifan lokal dan pengetahuan komunitas ke dalam kurikulum, pendidikan menjadi lebih inklusif dan memberdayakan.

Hal ini memungkinkan kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan seperti masyarakat adat, petani kecil, atau komunitas pesisir memiliki suara dalam sistem pendidikan, serta menjadikan pengalaman mereka sebagai sumber belajar yang sah dan bernilai.

Paulo Freire, dalam karya klasiknya Pedagogy of the Oppressed, menegaskan pentingnya pendidikan yang membebaskan, yakni pendidikan yang tidak mendikte, tetapi berangkat dari dialog dan kenyataan hidup murid.

Pendekatan ini sejalan dengan pendidikan berbasis tempat lokal yang menghargai keberagaman, memperkuat identitas, serta mendorong kesetaraan akses dan partisipasi dalam proses pendidikan.

Dalam konteks keadilan lingkungan, pendidikan berbasis tempat lokal juga menjadi strategi penting untuk membangun kesadaran ekologis yang konkret.

Ketika peserta didik diajak memahami ekosistem local seperti hutan, sungai, atau lahan pertanian di sekitar. Mereka tidak hanya memperoleh pengetahuan teoretis, tetapi juga mengalami keterhubungan emosional dan etis dengan alam.

Chet Bowers dalam Educating for Eco-Justice and Community menjelaskan bahwa pendidikan yang bersifat ekologis dan kontekstual membantu membongkar pola pikir eksploitatif yang diwariskan oleh sistem pendidikan modern yang terlepas dari konteks.

Dengan demikian, pendidikan berakar lokal bukan hanya sarana untuk mencapai keadilan sosial, tetapi juga menjadi fondasi penting bagi keadilan lingkungan dan keberlanjutan jangka panjang.

Thing Centered Learning

Thing-Centered Learning adalah pendekatan pendidikan yang menempatkan benda atau objek nyata sebagai pusat pembelajaran, dengan tujuan membangun pemahaman yang mendalam melalui interaksi langsung dengan dunia material.

Prinsip utamanya adalah bahwa belajar tidak semata-mata berlangsung melalui kata-kata atau simbol abstrak, melainkan melalui keterlibatan langsung dengan hal-hal konkret yang dapat diamati, disentuh, dan dieksplorasi.

Dengan berinteraksi dengan benda, peserta didik tidak hanya belajar secara kognitif, tetapi juga secara afektif dan etis.
Salah satu prinsip kunci dari

Thing-Centered Learning adalah mengembalikan penghargaan terhadap “hal-hal kecil” di sekitar kita—objek sehari-hari yang seringkali diabaikan dalam pendidikan modern yang terlalu menekankan pada abstraksi dan teknologi.

Prinsip ini selaras dengan pandangan Martin Heidegger dalam esainya The Thing, di mana ia membahas bagaimana manusia modern telah kehilangan hubungan mendalam dengan benda-benda, karena terjebak dalam cara berpikir yang instrumentalis.

Dalam konteks pendidikan, Thing-Centered Learning menekankan pentingnya keterhubungan antara manusia, benda, dan tempat bahwa benda bukan hanya alat, tetapi juga bagian dari jaringan relasi yang membentuk cara kita memahami dunia.

Prinsip lainnya adalah pembelajaran yang lambat dan penuh perhatian (slow learning), di mana peserta didik diajak untuk mengamati, merasakan, dan merefleksikan keberadaan benda secara mendalam, bukan sekadar lewat penjelasan cepat atau hafalan.

Pendekatan ini mengundang rasa ingin tahu, menghormati keberadaan materi, dan menumbuhkan kepekaan terhadap dunia fisik yang sering terabaikan dalam pendidikan digital atau virtual.

Hal ini tidak hanya penting untuk penguatan pemahaman konseptual, tetapi juga untuk membentuk sikap etis dan ekologis terhadap lingkungan hidup.

Dengan menjadikan benda sebagai titik tolak pembelajaran, Thing-Centered Learning membuka ruang bagi pendidikan yang lebih konkret, reflektif, dan berakar pada realitas pengalaman manusia sehari-hari.

Konsep pendidikan yang sadar tempat (place-based education) memiliki relevansi aktual yang sangat kuat di tengah krisis humanis, sosial, dan ekologis yang melanda dunia saat ini.

Pendidikan ini menekankan keterhubungan peserta didik dengan lingkungan local, baik alam, budaya, maupun komunitasnya sehingga menumbuhkan kesadaran ekologis, empati sosial, dan tanggung jawab moral terhadap keberlanjutan hidup bersama.

Di era globalisasi yang kerap mengaburkan identitas lokal dan memperparah kerusakan lingkungan serta ketimpangan sosial, pendidikan yang berakar pada tempat membentuk peserta didik yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berakar secara kultural dan berbelarasa secara ekologis.

Dengan memahami konteks lokal sebagai ruang belajar yang nyata dan bermakna, peserta didik diajak untuk menjadi agen perubahan yang mencintai tempat tinggalnya, menjaga keberlanjutannya, serta peduli terhadap sesama manusia dan ciptaan lainnya.