Oleh: Christian Charlie U.H.B Muda

Mahasiswa Filsafat Unwira Kupang , Tinggal di Seminari Tinggi St. Mikhael

Masa remaja kerap digambarkan sebagai masa pencarian jati diri yaitu di mana individu mulai memisahkan diri dari identitas masa kanak-kanak dan membentuk prinsip hidup sendiri.

Pada fase ini, remaja berhadapan dengan pelbagai dilema moral yaitu antara idealisme dan realitas, antara tekanan teman sebaya dan nilai-nilai yang diajarkan sejak kecil.

Dalam konteks zaman digital dan masyarakat serba cepat, tantangan ini menjadi semakin kompleks.

Remaja kini hidup dalam dunia yang menawarkan begitu banyak kemungkinan, tetapi juga membingungkan secara etis.

Di tengah kondisi tersebut, pemikiran filsuf Yunani, Aristoteles, dapat menjadi panduan moral yang kuat.

Meskipun Aristoteles hidup lebih dari dua milenium lalu, pandangan etisnya tentang pembentukan karakter dan pencapaian Kebajikan justru menjadi sangat relevan bagi pembentukan identitas moral remaja masa kini.

Etika sebagai Kebiasaan

Dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles mengemukakan bahwa tujuan utama hidup manusia adalah mencapai eudaimonia yaitu sebuah bentuk kebahagiaan yang tidak semata-mata emosional, tetapi lebih merupakan kondisi aktualisasi diri yang utuh dan bermakna.

Eudaimonia bukanlah hasil dari keberuntungan atau kenikmatan sesaat, melainkan buah dari hidup secara etis dan bermakna, menjadi pribadi yang baik, serta menjalankan fungsi kemanusiaannya secara maksimal.

Aristoteles menemukan bahwa kebajikan moral tidak diperoleh melalui teori, tetapi melalui pembiasaan yang konsisten.

Seorang menjadi jujur bukan karena dia tahu definisi kejujuran, melainkan karena terbiasa bersikap jujur dalam kehidupan sehari-hari.

Etika dalam kerangka Aristoteles adalah persoalan praksis, bukan sekadar pengetahuan.

Dalam konteks ini, masa remaja merupakan ladang subur untuk penanaman kebiasaan moral.

Setiap Keputusan yang dipilih tentang apakah memilih berkata jujur saat berbuat salah, menolak menyontek saat ujian, berterima kasih, permisi, saling menyapa, atau bersikap adil kepada teman merupakan macam-macam latihan kecil yang bisa dibuat demi terlatihnya karakter yang disiplin.

Aristoteles percaya bahwa Kita adalah apa yang kita lakukan secara berulang-ulang. Maka karakter adalah hasil dari pola tindakan yang konsisten, bukan hasil dari perenungan sesaat.

Remaja dan Kebingungan Moral

Remaja sekarang ini, hidup dalam situasi moral yang ambigu. Di satu sisi, mereka sedang belajar menjadi mandiri secara kognitif dan emosional.

Di sisi lain, mereka kerap menghadapi tekanan untuk menyesuaikan diri, baik dalam lingkungan sosial fisik maupun digital.

Perkembangan media sosial, misalnya, menciptakan ruang penilaian publik yang konstan.

Tindakan remaja, baik dalam bentuk konten, opini, atau gaya hidup, kerap dinilai dengan ukuran eksistensi virtual yaitu jumlah likes, followers, atau komentar.

Dalam situasi ini, standar moral cenderung kabur. Yang viral dianggap benar asalkan ramai dan yang For You Page (FYP) dianggap penting. Dari sinilah kebajikan menjadi relatif, bukan lagi dari hati nurani tetapi berfokus pada kepentingan publik di dunia maya.

Di sinilah pemikiran Aristoteles menjadi penting. Ia mengingatkan bahwa tindakan baik tidak ditentukan oleh opini mayoritas, melainkan oleh pertimbangan akal sehat, keseimbangan, dan latihan terus menerus dalam bertindak benar.

Dalam menghadapi tantangan moral yang kompleks, remaja perlu memiliki panduan yang jelas untuk membantu mereka menavigasi dilema yang muncul.

Di sinilah pentingnya pemahaman tentang etika Aristotelian, yang menekankan pentingnya kebajikan sebagai hasil dari kebiasaan yang baik.

Dalam dunia yang serba cepat dan penuh dengan informasi, remaja sering kali terjebak dalam kebingungan moral yang dapat mengarah pada keputusan yang tidak etis.

Oleh karena itu, membangun karakter yang kuat dan konsisten menjadi sangat penting.
Aristoteles menekankan bahwa kebajikan moral tidak hanya sekadar pengetahuan, tetapi lebih kepada tindakan yang dilakukan secara berulang-ulang.

Dalam konteks remaja, ini berarti bahwa mereka harus dilatih untuk membuat keputusan yang baik dalam situasi sehari-hari.

Misalnya, ketika dihadapkan pada situasi di mana mereka harus memilih antara menyontek atau belajar dengan jujur, keputusan untuk belajar dengan jujur harus menjadi kebiasaan yang tertanam dalam diri mereka.

Dengan cara ini, mereka tidak hanya belajar tentang kejujuran, tetapi juga membangun karakter yang kuat yang akan membimbing mereka dalam menghadapi tantangan di masa depan.

Lebih lanjut, remaja perlu menyadari bahwa tindakan mereka memiliki konsekuensi, baik bagi diri mereka sendiri maupun bagi orang lain.

Dalam dunia digital, di mana tindakan dapat dengan cepat menjadi viral, penting bagi remaja untuk berpikir kritis tentang apa yang mereka bagikan dan bagaimana hal itu dapat mempengaruhi orang lain.

Aristoteles mengajarkan bahwa tindakan yang baik harus didasarkan pada pertimbangan akal sehat dan keseimbangan.

Ini berarti bahwa remaja harus belajar untuk mengevaluasi situasi dengan cermat dan tidak hanya mengikuti arus atau opini mayoritas.

Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi remaja saat ini adalah tekanan dari teman sebaya.

Dalam banyak kasus, mereka merasa terpaksa untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku di kelompok mereka, meskipun norma-norma tersebut mungkin tidak sejalan dengan nilai-nilai yang mereka anut.

Dalam situasi seperti ini, penting bagi remaja memiliki keberanian untuk berdiri teguh pada prinsip-prinsip mereka.

Aristoteles mengajarkan bahwa keberanian adalah salah satu kebajikan utama yang harus dimiliki oleh setiap individu.

Keberanian bukan hanya tentang menghadapi bahaya fisik, tetapi juga tentang memiliki keberanian moral untuk melakukan hal yang benar, meskipun itu sulit.

Selain itu, remaja juga perlu memahami pentingnya empati dalam pengambilan keputusan mereka.

Aristoteles menekankan bahwa kebajikan tidak hanya berkaitan dengan diri sendiri, tetapi juga dengan bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain.

Dengan mengembangkan empati, remaja dapat membuat keputusan yang lebih baik dan lebih etis, karena mereka akan mempertimbangkan dampak dari tindakan mereka terhadap orang lain.

Dalam konteks pendidikan, penting bagi sekolah untuk mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kurikulum.

Pendidikan karakter tidak hanya tentang mengajarkan nilai-nilai moral, tetapi juga tentang memberikan kesempatan bagi remaja untuk berlatih dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Misalnya, melalui kegiatan ekstrakurikuler, proyek sosial, atau diskusi kelompok, remaja dapat belajar untuk bekerja sama, menghargai perbedaan, dan mengembangkan rasa tanggung jawab terhadap komunitas.

Di era digital ini, pendidikan karakter juga harus mencakup literasi media. Remaja perlu diajarkan cara memfilter informasi yang mereka terima dan cara berinteraksi dengan media sosial secara etis.

Mereka harus belajar untuk mengenali berita palsu, memahami bias, dan menghargai privasi orang lain.

Dengan keterampilan ini, remaja akan lebih siap untuk menghadapi tantangan moral yang muncul di dunia digital.

Akhirnya, penting bagi orang tua dan pendidik untuk menjadi teladan dalam hal kebajikan.

Anak-anak dan remaja sering kali meniru perilaku orang dewasa di sekitar mereka.

Oleh karena itu, jika orang tua dan pendidik menunjukkan perilaku yang etis dan konsisten, mereka akan memberikan contoh yang baik bagi remaja untuk diikuti.

Dalam hal ini, Aristoteles mengingatkan kita bahwa pendidikan moral bukan hanya tentang mengajarkan teori, tetapi juga tentang memberikan contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari.