”Belum sempat mengambil selangkah untuk berlari, tiba-tiba beberepa orang datang menyergap pria yang kurus itu. Puluhan pukulan bertubi-tubi. Tak hanya tamparan dan tendangan, pukulan rotan juga dihempaskan di jari-jari tangan. Kepalanya beberapakali dibentur pada kaca mobil. Mereka berseragam rapi berwarna hijau loreng serta memiliki beberapa bintang kecil. Warnanya kuning menyala tertempel di lengan baju dan terbaris rapi. Ada yang berbintang satu, dua, tiga, dan seterusnya. ‘Ini mungkin lho ya, mereka itu yang disebut aparat…’”
Nala putri Widodo masih saja bertanya-tanya soal kepergian sang ayah. Apakah benar mayat yang ditemukan di bibir pantai pada bulan lalu adalah ayahnya.
Atau ini memang buah dari perbuatan ibunya yang digadang-gadang sempat keluar masuk hotel di kota.
Berita itu sempat menggemparkan orang-orang di desa. Sehingga para tetangga menuduh ibu Nala melacurkan keanggunannya. Dyah sempat dinilai perempuan kotor yang menjual mahkota diri.
Tetapi ibu Nala menganggap itu fitnah. Ia keluar masuk hotel untuk bertemu dengan Widodo suaminya bukan melacurkan diri. Beberapa orang memang pernah menyaksikan pertemuan mereka di salah satu hotel yang sederhana tambah murah.
Di sanalah mereka saling rangkul dan membayar utang-utang kangen. Itu disebabkan kondisi negara yang belum stabil. Konon nama Widodo tercatat dalam daftar buronan.
Dalam kepala Dyah, ia terakhir kali mengetahui keadaan Widodo pada pertengahan 1997. Percakapannya pun hanya melalui jaringan yang disambungkan dengan telepon genggam. Setelah itu tak ada kabar selanjutnya tentang Widodo.
Sialnya, Dyah tak lagi ingat nomor yang pernah menghubunginya itu. Tetapi ia tahu kalau Widodo sering berpindah-pindah tempat, dari kota ke kota untuk bersembunyi dari incaran para tentara. Dyah pernah mendapat kabar bahwa suaminya kawin lagi di Kalimantan.
Dan kebetulan istrinya itu sedang hamil. Widodo meminta Dyah untuk membuat popok dan menjahitkan baju berukuran bayi. Tetapi berita itu rupanya kurang tepat. Perempuan itu mengandung bukan karna airnya Widodo.
Perempuan itu adalah istri dari kerabat Widodo saat pelariannya di Kalimantan. Maksud Widodo popok dan pakayan itu diberikan kepada kang Agus sebagai hadiahnya karena ia bersama istrinya berhasil menyumbangkan satu manusia lagi untuk melawan ketidakadilan di negara yang memembekukan keadilan.
Malam ke malam Nala selalu mempertanyakan keadaan ayah. Rupayanya rasa rindu putri kecil itu harus diluap. Tak bisa terus-terus dipendam. Nala juga ingin merasakan pelukan hangat dari sang ayah. Nala penasaran seperti apa kasih sayang dari seorang ayah.
Itulah mengapa Nala jengkel dengan perkataan ibunya yang terus saja mengulangi wejangan sang suami “Kalau kelak anak-anak bertanya mengapa dan aku jarang pulang, katakan ayahmu tak ingin jadi pahlawan tapi dipaksa menjadi penjahat oleh penguasa yang sewenang-wenang…” cetusnya kala itu.
Bagi anak kecil seperti Nala, secuil kalimat itu tak bisa melunaskan kerinduan di dalam hatinya. Bocah di manapun paling tidak suka dengan kata-kata belaka.
Ketika mereka menangis cara untuk membayar air mata bukan dengan jutaan kata. Apalagi diberi nasehat. Itu masih tak cukup. Makanya harus didukung dengan tindakan serta mempertemukan apa yang mereka cari.
Agustus 1996, Widodo berpamitan dengan Dyah istrinya untuk pergi mengamankan diri. Waktu itu negara memang merdeka, tetapi tidak bagi beberapa orang.
“Loh, knapa kamu bersembunyi? Bukannya kamu pahlawan toh?”
“Saya hanya ingin menyelamatkan diri. Bersembunyi bukan berarti pengecut, itu bagian dari cara meluputkan hidup” Widodo membalas ocehan istrinya.
Sebelum matahari menampakkan diri Widodo mulai bergegas. Di rumah sunyi dan sepi menemani. Di luar rumah segerembolan anjing nakal berlalu lalang seperti sedang berjaga terhadap peristiwa yang akan terjadi.
Beberapa menit mendatang, Widodo pamit pergi. Sekelompok anjing menggonggong seperti menangisi kepergian pahlawan yang telah mempertahankan martabat mereka sebagai anjing.
Kakinya terasa berat untuk melangkah dan hatinya ingin tertanggal pada istri dan anaknya. Bajunya kusut dan kusam seperti turut merasakan kesedihan nasibnya. Istrinya tak bisa membatalkan apa yang sudah diputuskan. Memang perpisahan ini betul-betul di depan mata. Tak lagi ada waktu untuk dijeda.
Sejak saat itu pria kurus ini mengembara dari Sabang hingga tiba di Merauke lalu kembali lagi ke Sabang. Ia berkelana dari kota ke kota hanya untuk bersembunyi dari incaran para jenderal di Jakarta yang sedang marah-marah.
Para jenderal tak hanya ingin menangkap Widodo tetapi juga punya ambisi untuk membunuhnya. Ini diakibatkan karena puisi yang terbit dari nurani beliau dinilai menghasut para aktivis dan masyarakat untuk menentang presiden.
“Puisi Widodo itu bagus, hanya saja pikirannya yang kotor, orang jijik!” ungkap seorang aparat dengan cara bicara yang tak lagi sopan.
Semasa pelarian Widodo selalu saja mengkhawatirkan keluarganya. Setiap malam ia selalu membayangkan putri kecilnya itu bisa terlelap di pangkuannya. Sambil meratapi sinar-sinar bulan yang masuk ke ruang tidurnya, ia ingin sekali menyampaikan pada putri kecilnya bahwa mulut adalah senjata bagi orang-orang miskin dan suara adalah pelurunya.
Ia pernah mendengar bahwa istri dan anaknya pernah didatangi oleh tentara. Mereka masuk ke rumah secara tak pantas dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Mereka menggeledah seluruh isi rumah. Tiap-tiap sudut rumah diperiksa. Layaknya tindakan anjing yang sudah terjangkit virus rabies.
Istri Widodo tak bisa berbuat banyak selain pasrah saja. Para tentara itu sempat menangkap Dyah untuk diinterogasi. Dyah yang tak tahu samasekali keberadaan Widodo mengatakan seadanya.
Hasilnya sama saja mereka tak akan percaya. Entah bosan mendengar jawaban dari perempuan satu anak itu yang tak kunjung berubah, akhirnya mereka membebaskan Dyah dan mengijinkannya kembali ke rumah. Dyah pulang dengan ketakutan yang tak biasa.
Meski begitu ia tak sedikitpun menyesal menikah dengan laki-laki seperti nasip suaminya. Ia sedikit percaya bahwa suaminya itu termasuk pahlawan.
Mungkin tidak tepat bagi negara yang besar tetapi pahlawan bagi negara kecilnya di rumah. Dyah ingin sekali membentuk negaranya sendiri yang dipimpin langsung oleh kekasihnya yang kurus itu.
Dyah yakin keadilan akan dinikmati siapa saja termasuk para udang yang masih bersembunyi di balik bebatu. Sesederhana itu Dyah menggambarkan keadilan.
Meskipun ruang geraknya telah dibatasi, namun keterlibatan Widodo dalam mempertahankan hak kaum buruh tak pernah usai. Sajak-sajaknya dianggap berbahaya dan ancaman bagi para pemerintah orde baru.
Dalam satu kesempatan Widodo membacakan sajaknya di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia “Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan menganggu keamanan maka hanya ada satu kata: lawan!.” Itulah kali terakhir beliau muncul di depan publik. Beberapa hari setelahnya ia hilang hingga hari ini.
Masa itu para tentara membentuk beberapa tim untuk menculik para aktivis secara diam-diam. Katakan saja menangkap bukan menculik. Menculik sama dengan mencuri.
Tak pantas penjaga keamanan dicap mencuri. Kalau tak salah pak Praproroo juga ada di sana. Para aktivis yang beda rel dengan pemerintah dianggap sebagai orang-orang kiri.
Mereka dinilai dalang dari kerusuhan dan selanjutnya dijadikan buronan yang wajib ditangkap kalau bisa dilumpuhkan saja hingga selesai.
Sudah banyak aktivis yang berhasil ditangkap hanya Widodo seorang diri yang masih tecatat sebagai target selanjutnya. Para tentara menyiksa aktivis lain agar mereka membocorkan keberadaan Widodo terkini.
“Kamu kenal Widodokan, di mana dia sekarang?” aktivis itu tak menjawab apa-apa, beberapa pukulan mendarat di perutnya. Aktivis menjerit kesakitan.
21 Mei 1998 tercatat masa orde baru sudah tamat. Banyak aktivis yang telah lama mengurung diri berani naik ke permukaan. Para aktivis yang ditahan sudah dilepaskan tanpa syarat dan tekanan.
Dyah bersama dengan putrinya memiliki harapan besar untuk bisa bertemu dengan pahlawan kecil mereka itu. Namun Widodo tak muncul-muncul. Ia masih dinyatakan hilang hingga saat ini.
Banyak kerabat yang mencari Widodo. Namun Widodo masih saja bersembunyi. Mungkin ia sedang memberi pelajaran kepada siapa saja agar bertobat menunda-nunda keadilan dan mengekang kebenaran.
Ada yang mengaku kalau Widodo tiba di Raja Ampat. Ia bersama dengan orang-orang kecil di sana sedang bertarung melawan puluhan gigi eksa dam loder.
Mereka membela hak-hak mereka yang terancam. Ada yang membawa kabar kalau-kalau Widodo sudah bunuh diri gara-gara cadel, tak bisa melafalkan huruf “R” dengan baik dan benar.
Ia malu, akhirnya mencekik lehernya sendiri dengan dasi yang ia beli di toko pakayan milik pak Harto. Segerombolan anjing pelajak menangis sepanjang hari karena tak sempat menyampaikan permohonan maaf lahir dan batin.
Panggil saja penulis ini Risky Agato yang terlahir diawal Januari. Beliau adalah alumnus SMAK Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo dan beberapa karyanya sudah terbit dibeberapa media online lain.