Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM

Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)

Di tengah riuh dunia abad ke-21 yang sering kehilangan arah, guru hadir laksana pelita di malam sunyi, menjadi komunikator pengharapan yang berbahasa kasih lemah lembut dari hati yang terhubung dengan hati Ilahi.

Ia tidak hanya mengajar, tetapi bersaksi melalui tatapan yang memahami, kata yang menguatkan, dan diam yang mendengarkan.

Dalam setiap sapaan dan kehadirannya, mengalir kasih yang membangkitkan keberanian hidup pada jiwa-jiwa muda yang rapuh dan mencari makna.

Ia menuntun murid bukan sekadar menuju prestasi, tetapi kepada pertumbuhan yang holistik: nalar yang tajam, hati yang lembut, jiwa yang peduli, dan roh yang senantiasa bersyukur.

Dengan kesadaran ekologis dan semangat humanis, ia merajut pembelajaran yang menyatu dengan ciptaan, membangun masa depan yang bahagia bukan karena gemerlap, tetapi karena berakar pada cinta, harapan, dan tanggung jawab bersama.

Guru seperti inilah, yang dengan bahasa kasihnya, merawat tunas-tunas kehidupan agar tumbuh menjadi pohon-pohon yang kuat, rindang, dan memberi naungan bagi dunia yang sedang haus akan harapan dan cinta akan kebenaran (Amor Veritatis).

Era VUCA

Dalam konteks sekolah unggul Katolik yang berakar pada nilai-nilai cinta kasih Injili, guru memegang peran maha penting sebagai komunikator pengharapan di tengah dunia yang dilanda ketidakpastian seperti era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity), Post-Truthism, dan Post-Humanisme.

VUCA adalah akronim dari Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity, yang menggambarkan dunia yang cepat berubah, tidak pasti, penuh kerumitan, dan sulit diprediksi.

Konsep ini digunakan untuk menjelaskan tantangan besar yang dihadapi individu, organisasi, dan masyarakat dalam mengambil keputusan di tengah realitas global yang dinamis dan kacau.

Post-Truthism ditandai dengan kondisi di mana fakta objektif kurang berpengaruh dibandingkan emosi dan keyakinan pribadi dalam membentuk opini publik, sehingga kebenaran menjadi relatif dan sering dipolitisasi.

Sementara itu, Post-Humanism menolak pandangan manusia sebagai pusat segala sesuatu dan mengaburkan batas antara manusia, teknologi, dan makhluk lain, menantang konsep tradisional tentang identitas dan kemanusiaan.

Dalam konteks Post-Humanism, moralitas, makna, dan kemanusiaan dieksplorasi ulang melalui lensa yang melampaui batas-batas tradisional manusia, menantang kita untuk meredefinisi nilai-nilai etis, tujuan hidup, dan penghargaan terhadap keberadaan dalam hubungan yang semakin terjalin antara manusia, teknologi, dan ekosistem yang lebih luas.

Di saat kebenaran relatif digantikan oleh opini yang emosional dan teknologi mulai menggantikan relasi antarmanusia, guru Katolik dipanggil untuk menjadi saksi hidup nilai-nilai kekal yang bersumber dari iman dan kasih Kristus akan martabat manusia sebagai citra Allah.

Perannya bukan sekadar pengajar pengetahuan, melainkan pembawa terang yang menyalakan harapan di hati para peserta didik.

Ia membentuk karakter dengan teladan hidup yang otentik dan membimbing siswa untuk menemukan kebenaran sejati di tengah banjir informasi palsu dan krisis moral.

Lebih dari itu, guru sebagai komunikator pengharapan menjadi penjaga dan pengarah moralitas serta makna hidup dalam proses pendidikan yang menyeluruh dan berpusat pada manusia sebagai citra Allah.

Dalam dunia Post-Humanisme yang mengaburkan batas antara manusia dan mesin, guru Katolik menghadirkan kembali nilai-nilai kemanusiaan sejati seperti belas kasih, pengampunan, keadilan, dan penghargaan atas martabat manusia.

Ia menjadi narasumber otoritatif dalam membentuk visi hidup yang bermakna, bukan berdasarkan efisiensi atau utilitas belaka, melainkan pada relasi yang penuh cinta dan nilai-nilai kekal.

Dengan demikian, guru di sekolah unggul Katolik tidak hanya membentuk insan cerdas, tetapi juga pribadi-pribadi yang bermoral, penuh harapan, dan siap mewujudkan peradaban kasih di tengah dunia yang sedang kehilangan arah.

Metakomunikasi

Menurut Paul Watzlawick dalam teorinya Pragmatics of Human Communication, semua persoalan dalam relasi manusia pada dasarnya berakar dari komunikasi yang tidak tepat, tidak jelas, atau disalahartikan.

Watzlawick menegaskan bahwa one cannot not communicate artinya, setiap perilaku manusia, baik verbal maupun nonverbal, selalu menyampaikan pesan.

Persoalan muncul karena komunikasi bersifat multi-level (isi dan relasi), dan sering kali orang tidak menyadari bahwa pesan yang disampaikan bukan hanya tentang apa yang dikatakan, tetapi juga bagaimana dan dalam konteks apa itu dikatakan.

Perbedaan persepsi terhadap makna, ketidaksesuaian antara pesan verbal dan nonverbal, atau kegagalan dalam memahami pola komunikasi simetris dan komplemen, dapat menimbulkan konflik, kesalahpahaman, hingga rusaknya hubungan.

Oleh karena itu, pemahaman mendalam terhadap pragmatik komunikasi menjadi kunci untuk memperbaiki hubungan interpersonal dan mengatasi berbagai masalah sosial yang bersumber dari interaksi yang keliru.

Metakognisi komunikasi dalam konteks pragmatic communication menurut Paul Watzlawick merujuk pada kemampuan untuk menyadari, mengamati, dan merefleksikan proses komunikasi itu sendiri—bukan hanya isi pesan, tetapi bagaimana pesan disampaikan dan diterima dalam hubungan interpersonal.

Prinsip dasarnya mencakup kesadaran bahwa setiap komunikasi mengandung dua level pesan, yaitu level isi (apa yang dikatakan) dan level relasi (bagaimana hubungan antara komunikator dibingkai); serta bahwa komunikasi bersifat tidak terhindarkan, kita selalu berkomunikasi, bahkan dalam diam.

Selain itu, penting untuk mengenali pola interaksi yang berulang (simetris atau komplemen), serta kemampuan untuk melakukan metakomunikasi, berbicara tentang cara kita berkomunikasi, untuk memperbaiki miskomunikasi dan meningkatkan pemahaman.

Dengan menerapkan prinsip-prinsip metakognitif ini, individu menjadi lebih reflektif, adaptif, dan bijak dalam membangun relasi yang sehat dan bermakna.

Etika Komunikasi Digital

Etika komunikasi di era digital, menurut pakar etika media Clifford G. Christians dalam bukunya “Media Ethics: Cases and Moral Reasoning”, menekankan tanggung jawab moral dalam penggunaan media digital yang semakin cepat, luas, dan berpengaruh.

Etika ini didasarkan pada prinsip-prinsip dasar seperti kebenaran (truth-telling), keadilan (fairness), tanggung jawab sosial (social responsibility), penghormatan terhadap martabat manusia (human dignity), dan transparansi.

Di tengah banjir informasi dan misinformasi, Christians menegaskan bahwa komunikasi digital harus menjunjung integritas, tidak menyebarkan kebohongan atau manipulasi, dan harus membangun dialog yang menghormati keberagaman.

Etika ini tidak hanya berlaku bagi jurnalis, tetapi juga bagi setiap pengguna media digital, karena dalam era partisipatif ini, setiap orang adalah sekaligus produsen dan konsumen informasi.

Dengan demikian, etika komunikasi digital menjadi panduan penting dalam menjaga keadaban publik dan memperkuat nilai-nilai kemanusiaan di ruang maya.

Cinta Mendasari Etika Komunikasi

Cinta akan kebenaran merupakan fondasi utama dalam etika komunikasi menurut para filsuf komunikasi seperti Jürgen Habermas dan Emmanuel Levinas.

Habermas menekankan bahwa komunikasi yang etis harus berlandaskan diskursus rasional yang bebas dari dominasi, di mana semua pihak memiliki kesempatan yang setara untuk menyampaikan pendapat secara jujur dan terbuka.

Dalam kerangka ini, cinta akan kebenaran berarti keberanian untuk mencari dan menyatakan kebenaran, meskipun tidak selalu nyaman atau menguntungkan.

Levinas, di sisi lain, menggarisbawahi pentingnya tanggung jawab etis terhadap “yang lain” (the Other), di mana komunikasi bukan hanya soal menyampaikan pesan, tetapi mendengarkan dengan hati dan menghormati keberadaan orang lain sebagai pribadi yang layak dihargai.

Keduanya sepakat bahwa komunikasi yang benar harus berakar pada integritas moral, keterbukaan hati, dan ketulusan untuk memahami, bukan sekadar untuk memanipulasi atau memenangkan argumen.

Dalam psikologi komunikasi, khususnya melalui pendekatan Nonviolent Communication (NVC) yang dikembangkan oleh Marshall Rosenberg, cinta akan kebenaran juga menjadi inti dari etika komunikasi yang sehat dan membebaskan.

Rosenberg menekankan pentingnya mengkomunikasikan kebutuhan, perasaan, dan nilai secara jujur, tanpa menyalahkan atau menghakimi, sehingga tercipta ruang empatik untuk saling memahami.

Bagi Rosenberg, cinta akan kebenaran bukan sekadar menyatakan fakta, tetapi mengungkapkan kebenaran batin, apa yang sungguh dirasakan dan dibutuhkan dengan cara yang mempererat hubungan, bukan memecah.

Etika komunikasi menurut NVC bertumpu pada kejujuran yang penuh kasih dan kepedulian terhadap kesejahteraan bersama, menjadikan komunikasi sebagai sarana transformasi diri dan sosial.

Maka, baik dalam filsafat maupun psikologi, cinta akan kebenaran menjadi fondasi yang menuntun manusia untuk berkomunikasi secara otentik, bermoral, dan membangun kemanusiaan.

Bahasa Kehidupan ( A Language of Life)
Guru sebagai komunikator pengharapan di sekolah unggul Katolik memiliki ciri-ciri utama yang berpijak pada tatabahasa cinta kasih sebagai bahasa kehidupan (a language of life), yakni komunikasi yang menyentuh hati, membangun moralitas, makna (meaning), dan kemanusiaan (humanitas) para murid.

Mengacu pada Gary Chapman, guru mengungkapkan cinta melalui lima bahasa kasih, kata-kata peneguhan, waktu yang berkualitas, tindakan melayani, sentuhan fisik yang tepat, dan pemberian yang bermakna yang membuat setiap murid merasa dihargai dan dicintai.

Carl Rogers menambahkan bahwa guru menunjukkan unconditional positive regard, empati yang tulus, dan keaslian diri (authenticity), menciptakan ruang aman bagi murid untuk tumbuh secara psikologis dan spiritual.

Sementara itu, menurut Marshall Rosenberg, guru menggunakan Nonviolent Communication (NVC), yakni mengungkapkan kebutuhan dan perasaan dengan jujur serta mendengarkan dengan empati, menjadikan komunikasi sarana pembebasan dan pembinaan karakter.

Dengan ciri-ciri ini, guru tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi memelihara jiwa, membangkitkan harapan, dan menuntun murid pada hidup yang bermakna dan penuh kasih dalam terang iman Katolik.

Guru Saksi Kelembutan Hati Ilahi

Paus Fransiskus dalam berbagai pesan dan ensikliknya, terutama Christus Vivit dan Laudato Si’, menekankan peran guru sebagai komunikator pengharapan yang berbahasa dari hati ke hati dengan kelembutan dan cinta.

Ia melihat guru bukan sekadar pengajar akademik, tetapi sebagai pendamping rohani dan pribadi yang menghadirkan kasih Allah dalam kehidupan sehari-hari murid.

Komunikasi yang sejati menurut Paus Fransiskus adalah komunikasi yang menjembatani, bukan menghakimi; yang membangun, bukan meruntuhkan.

Bahasa hati yang digunakan guru harus mencerminkan belarasa, kesabaran, dan sukacita dalam menyertai perjalanan murid menuju kedewasaan.

Di tengah dunia yang sering bising oleh persaingan dan kekerasan simbolik, guru diundang menjadi saksi kelembutan Allah yang mampu menyentuh hati murid dengan kebaikan dan harapan.

Lebih lanjut, Paus Fransiskus menekankan pentingnya pendidikan yang holistik dan humanis, di mana guru membantu murid berkembang secara utuh yaitu  akal budi, hati nurani, spiritualitas, dan tanggung jawab sosial.

Guru harus menciptakan ruang pembelajaran yang tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga membina karakter dan mendorong dialog antara iman dan ilmu.

Dalam terang Global Compact on Education yang digagas Paus Fransiskus, guru dipanggil untuk menjadi agen perubahan yang mendorong budaya perjumpaan, solidaritas, dan keadilan sosial.

Komunikasi yang digunakan harus memampukan murid menemukan panggilan hidupnya dengan gembira, penuh semangat pelayanan, dan kesadaran akan martabat dirinya sebagai citra Allah.

Pendidikan Katolik, dalam pandangan Paus, adalah medan subur untuk menanam benih harapan, yang hanya bisa tumbuh jika guru berbicara dengan hati dan mendengarkan dengan cinta.

Paus Fransiskus juga menekankan dimensi ekologis dan keberlanjutan dalam pendidikan abad ke-21.

Guru sebagai komunikator pengharapan harus menanamkan kesadaran ekologis dan tanggung jawab terhadap bumi sebagai rumah bersama, sejalan dengan visi Laudato Si’.

Pendidikan harus membentuk murid menjadi pribadi yang peduli lingkungan, hemat, dan mampu hidup selaras dengan ciptaan Tuhan.

Guru memfasilitasi bukan hanya pertumbuhan intelektual, tetapi juga spiritualitas ekologis mengajarkan murid untuk mencintai alam dengan penuh rasa syukur dan tanggung jawab.

Dengan berbahasa dari hati, guru menuntun murid tidak hanya menjadi cerdas dan sukses, tetapi juga menjadi pribadi yang bahagia secara berkelanjutan, yang tahu bahwa hidup ini bermakna ketika dijalani dengan kasih, kepedulian, dan pengharapan bagi sesama dan seluruh ciptaan.