Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM
Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)
Love of learning dan deep learning mencerminkan sikap “kasmaran belajar” di mana otak secara alami terpacu oleh rasa ingin tahu, emosi positif, dan keterlibatan mendalam yang memperkuat koneksi saraf melalui neuroplastisitas.
Ketika seseorang jatuh cinta pada proses belajar, otak melepaskan dopamin yang meningkatkan motivasi, fokus, dan daya ingat, menjadikan pembelajaran bukan beban, melainkan pengalaman yang menyenangkan dan transformatif.
Love of learning sangat penting sebagai dasar deep learning karena cara otak bekerja paling efektif saat dipicu oleh rasa ingin tahu, keterlibatan emosional, dan motivasi intrinsik.
Proses ini memperkuat jalur neurologis melalui neuroplastisitas, memungkinkan pemahaman yang mendalam, tahan lama, dan selaras dengan cara otak membangun pengetahuan secara alami.
Menurut Michael Fullan, love of learning adalah inti dari transformasi pendidikan yang bermakna, di mana siswa didorong untuk mengembangkan rasa ingin tahu, semangat, hasrat, gairah (eros) dan keterlibatan yang mendalam dalam proses belajar.
Dalam kerangka ini, deep learning bukan sekadar penguasaan konten, tetapi mencakup pengembangan enam kompetensi global yaitu karakter, kewargaan, kolaborasi, komunikasi, kreativitas, dan berpikir kritisyang menumbuhkan pembelajar seumur hidup.
Fullan menekankan bahwa cinta terhadap proses belajar memperkuat motivasi intrinsik dan menjadi fondasi dari pembelajaran mendalam yang transformatif, relevan, dan berdampak bagi kehidupan nyata.
Dengan menggabungkan nilai-nilai kemanusiaan dan strategi pembelajaran inovatif, Fullan melihat love of learning sebagai pendorong utama untuk membentuk sistem pendidikan yang lebih bermakna dan berkelanjutan.
Menurut Michael Fullan, love of learning dan deep learning sejalan dengan cara otak belajar secara alami, yaitu melalui keterlibatan emosional, hubungan sosial, dan pengalaman bermakna.
Otak berkembang paling efektif ketika pembelajaran memicu rasa ingin tahu dan relevansi, bukan sekadar hafalan, sehingga menumbuhkan motivasi intrinsik yang memperkuat koneksi neurologis.
Dengan pendekatan ini, deep learning menjadi proses transformatif yang menumbuhkan karakter, kreativitas, dan pemikiran kritis, sesuai dengan cara otak membentuk pemahaman jangka panjang dan pembelajaran seumur hidup.
Cara Otak Bekerja
Dalam bukunya The Neuroscience of Learning and Development, Marilee J. Bresciani Ludvik menguraikan bagaimana pemahaman tentang cara kerja otak dapat digunakan untuk meningkatkan kreativitas, belas kasih (compassion), berpikir kritis, dan kedamaian dalam pendidikan.
Ia menekankan bahwa proses pembelajaran yang mendalam tidak hanya bergantung pada aspek kognitif, tetapi juga melibatkan regulasi emosi, kesadaran diri, dan hubungan sosial yang sehat, semuanya didukung oleh temuan neuroscience.
Dengan menciptakan lingkungan belajar yang memfasilitasi keamanan psikologis dan refleksi diri, mahasiswa dapat mengakses potensi tertingginya dalam berpikir inovatif dan penuh empati.
Ludvik juga menekankan pentingnya praktik kontemplatif seperti mindfulness untuk menumbuhkan kesadaran, yang pada gilirannya memperkuat kapasitas otak dalam pengambilan keputusan etis dan berpikir jernih di tengah kompleksitas dunia akademik dan sosial.
Pendekatan ini bertujuan menciptakan pengalaman belajar yang transformatif dan holistik di lingkungan pendidikan tinggi.
Kesadaran Diri
Self Comes to Mind karya Antonio Damasio menjelaskan bagaimana kesadaran diri (self-awareness) muncul sebagai hasil interaksi kompleks antara otak, tubuh, dan lingkungan.
Damasio berargumen bahwa pikiran tidak bisa dilepaskan dari tubuh, dan bahwa emosi serta perasaan adalah komponen biologis penting dalam membentuk “diri” (self).
Dalam konteks pendidikan, pemahaman ini mendasari gagasan bahwa proses belajar tidak hanya kognitif, tetapi juga afektif.
Ketika siswa menyadari keberadaan dan perasaan mereka sendiri dalam proses belajar, mereka lebih mampu membentuk makna secara pribadi dan membangun hubungan mendalam dengan materi pelajaran—mewujudkan apa yang disebut sebagai love learning.
Prinsip-prinsip utama dari Self Comes to Mind dalam konteks pendidikan meliputi:
(1) Emosi sebagai fondasi kognisi, artinya emosi bukanlah gangguan, tetapi pendorong utama perhatian dan ingatan;
(2) Tubuh dan otak sebagai satu kesatuan sistemik, menandakan pentingnya kondisi fisik dan emosional siswa dalam proses belajar;
(3) Kesadaran diri sebagai pusat pengalaman belajar, yaitu kemampuan siswa mengenali emosi, motivasi, dan nilai personal mereka dalam interaksi kelas.
Damasio juga menekankan bahwa kesadaran bukan muncul tiba-tiba, melainkan dibentuk secara bertahap melalui pengalaman reflektif dan hubungan sosial yang bermakna.
Untuk menerapkan ide-ide Damasio secara praktis di kelas yang menumbuhkan love learning, guru dapat menggunakan beberapa strategi: pertama, praktik refleksi emosional seperti jurnal perasaan atau diskusi terbuka tentang pengalaman belajar siswa; kedua, membangun hubungan sosial yang aman dan suportif, agar otak sosial siswa dapat berkembang optimal; ketiga, mengaitkan materi pelajaran dengan pengalaman nyata siswa, sehingga pembelajaran terasa relevan secara emosional dan eksistensial.
Guru juga perlu peka terhadap body-mind connection siswa dengan memperhatikan kebutuhan fisik mereka, seperti istirahat, gerak, dan ruang tenang.
Dengan mengintegrasikan prinsip neuroscience ini, kelas tidak hanya menjadi tempat belajar, tetapi juga ruang pembentukan kesadaran diri dan cinta terhadap proses belajar itu sendiri.
Meaningful Learning
Meaningful learning adalah proses pembelajaran di mana siswa mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan atau pengalaman yang telah mereka miliki, sehingga informasi yang dipelajari menjadi relevan dan membekas dalam jangka panjang.
Konsep ini sangat erat kaitannya dengan love of learning, cinta terhadap proses belajar itu sendiri karena ketika pembelajaran terasa bermakna secara personal, siswa cenderung lebih termotivasi secara intrinsik, mengalami keterlibatan emosional, dan membentuk koneksi yang mendalam dengan materi.
Love of learning bukan sekadar menikmati pelajaran, tetapi mengalami kepuasan batin saat menemukan makna dan identitas diri melalui proses belajar.
Dalam konteks neuroscience, meaningful learning dijelaskan melalui kerja sistem limbik dan prefrontal cortex, bagian otak yang terlibat dalam emosi, motivasi, dan pengambilan keputusan.
Pakar seperti Eric Jensen, dalam bukunya Teaching with the Brain in Mind, menekankan bahwa otak manusia belajar paling baik ketika materi pelajaran memiliki kaitan emosional dan relevansi nyata.
Ketika siswa merasa bahwa apa yang mereka pelajari berharga dan terhubung dengan kehidupan mereka, pelepasan neurotransmiter seperti dopamin dan oksitosin meningkat, yang memperkuat pembentukan memori dan mempercepat proses belajar.
Ini berarti bahwa strategi pengajaran yang memicu rasa ingin tahu, koneksi personal, dan rasa memiliki akan secara biologis memperkuat pembelajaran.
Untuk menghadirkan meaningful learning yang mendorong love learning di ruang kelas, guru dapat menerapkan strategi berbasis neuroscience seperti pembelajaran berbasis proyek (project-based learning), diskusi reflektif, dan pemberian otonomi belajar.
Sejalan dengan pemikiran Mary Helen Immordino-Yang dalam bukunya Emotions, Learning, and the Brain, emosi bukanlah pengganggu dalam proses berpikir, melainkan fondasi dari semua proses kognitif.
Ia menegaskan bahwa siswa akan belajar lebih dalam dan tahan lama jika mereka terlibat secara emosional dan sosial dalam pengalaman belajar.
Oleh karena itu, ruang kelas yang memanusiakan proses belajar, menghargai emosi, memberi makna, dan membangun hubungan akan menjadi tempat tumbuhnya pembelajar sejati yang mencintai pengetahuan.
Joyful Learning
Joyful learning dalam konteks love learning di ruang kelas merupakan pendekatan pembelajaran yang menekankan pada rasa senang, aman, dan penuh makna dalam proses belajar.
Ini bukan tentang hiburan semata, melainkan tentang menciptakan suasana belajar yang memicu rasa ingin tahu, keterlibatan emosional, dan kepuasan batin.
Ketika siswa merasa bahagia dan dihargai, mereka tidak hanya menikmati proses belajar, tetapi juga mulai mencintai belajar itu sendiri.
Love of learning muncul ketika siswa merasa bahwa belajar adalah pengalaman hidup yang menyenangkan, bukan tekanan atau kewajiban semata.
Dalam konteks ini, joyful learning menjadi jembatan yang kuat antara pengalaman emosional positif dan pencapaian akademik.
Dalam perspektif neuroscience, joyful learning memiliki dasar biologis yang kuat.
Ketika siswa merasa senang, otak mereka melepaskan dopamine, neurotransmiter yang berperan dalam motivasi, perhatian, dan pembentukan memori jangka panjang.
Judy Willis, seorang ahli neurologi dan pendidik, dalam bukunya Research-Based Strategies to Ignite Student Learning, menekankan bahwa rasa senang dan keterlibatan emosional memperkuat koneksi sinaptik di otak, sehingga mempercepat proses belajar.
Ia juga menjelaskan bahwa stres dan tekanan yang tinggi justru menghambat fungsi korteks prefrontal—bagian otak yang penting untuk berpikir kritis, pemecahan masalah, dan kreativitas.
Oleh karena itu, pembelajaran yang menyenangkan secara emosional dapat menciptakan kondisi otak yang optimal untuk belajar mendalam.
Strategi untuk menghadirkan joyful learning di kelas antara lain dengan menciptakan iklim belajar yang positif, memberi ruang untuk bermain dan bereksplorasi, serta menyusun aktivitas belajar yang menantang namun dapat dicapai.
Eric Jensen, dalam bukunya Brain-Based Learning, menekankan pentingnya ritme kelas yang dinamis, gerakan fisik, musik, dan interaksi sosial dalam menjaga keterlibatan emosional siswa.
Ia menunjukkan bahwa otak merespons dengan antusias terhadap variasi dan kejutan yang menyenangkan, yang dapat dimanfaatkan guru untuk menciptakan pengalaman belajar yang membekas.
Joy tidak hanya meningkatkan keterlibatan, tetapi juga memperluas kapasitas otak untuk berpikir reflektif dan kreatif.
Joyful learning dalam konteks love learning tidak hanya menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, tetapi juga membentuk karakter siswa yang resilien, percaya diri, dan mencintai proses belajar sepanjang hayat.
Dengan memahami dasar-dasar neuroscience dan menerapkannya dalam praktik kelas, guru tidak hanya mengajar isi pelajaran, tetapi juga menumbuhkan jiwa belajar dalam diri siswa.
Pembelajaran yang penuh kegembiraan, kehangatan, dan relevansi personal akan mengubah kelas menjadi ruang pertumbuhan yang memanusiakan dan memberdayakan.
Dalam dunia yang serba cepat dan kompetitif, joyful learning adalah fondasi yang kokoh bagi pendidikan yang berpihak pada kehidupan dan kemanusiaan.
Peran Guru
Untuk menjadikan love of learning sebagai fondasi dasar deep learning, guru perlu menciptakan ruang belajar yang menumbuhkan rasa ingin tahu, kebebasan berpikir, dan hubungan emosional yang sehat antara guru dan murid.
Hal ini dapat dimulai dengan membangun kepercayaan, empati, dan penghargaan terhadap setiap potensi siswa, bukan hanya dari segi kognitif, tetapi juga emosional dan sosial.
Guru yang memfasilitasi pembelajaran berbasis proyek, kolaborasi, dan refleksi diri membantu siswa mengalami makna dalam belajar, sehingga mendorong keterlibatan yang mendalam dan motivasi dari dalam diri.
Pembelajaran menjadi lebih dari sekadar transfer pengetahuan; ia berubah menjadi pengalaman personal yang memperkuat koneksi antar manusia dan nilai-nilai kehidupan.
Dalam konteks ruang belajar yang holistik, humanis, ekologis, dan bahagia berkelanjutan, guru berperan sebagai fasilitator ekosistem belajar yang sadar lingkungan, peka terhadap kesejahteraan batin, dan mendukung pertumbuhan utuh peserta didik.
Pendekatan ini mengintegrasikan praktik kontemplatif seperti mindfulness, pembelajaran berbasis alam, dan nilai-nilai keberlanjutan untuk menumbuhkan kepedulian terhadap diri, sesama, dan bumi.
Guru mendorong siswa untuk belajar dengan hati dan pikiran secara seimbang, sehingga deep learning tidak hanya menghasilkan kecerdasan kognitif, tetapi juga membentuk karakter dan kesadaran ekologis.
Dengan menciptakan atmosfer belajar yang bahagia dan bermakna, guru menanamkan semangat belajar sepanjang hayat yang selaras dengan cara otak bekerja secara alami dan berkelanjutan.