Oleh: Yosef Valdo Leso
“Aku bersetubuh dengan buku-bukan dengan tubuh tapi dengan jiwa“
Langit sudah mulai jingga, gelapun perlahan tiba. Sunyi menyelimuti jiwa. Aku dan seutas kertas tak lagi bersahabat.
Dia berpaling muka dari pada ku, seketika aku lagi asyik berskrol layar handphone, jemari begitu lincah untuk mengusap wajah handphone.
Perlahan semesta menghantuiku dengan kecemasan, sekita aku tak lagi bercinta dengan buku. Semesta adalah jiwa bagi kucinta adalah roh bagi tubuhku.
Jemari perlahan menjamah tubuhnya dan hati yang ditemani akal mencoba merayu dia agar cemburunya tidak larut malam.
Aku telanjang bersama dia, diatas meja yang dilapisi kain kafan. Mataku tak bosan menatap dia dari atas sampai bawah, tuk mencari makna dari setiap isi tubuhnya.
Tubuhnya tebal 5 centimeter, isinya menarik membuat mataku semakin melotot bibir dan tak berhenti berketup. Detik semakin menumpuk membentuk menit, menit perlahan larut untuk menghadirkan jam, jemari semakin lincah untuk menjamah tubuhnya.
Jam demi jam bibirku belum bosan tuk mengecup tubuhnya, mataku belum puas melihat tubuhnya dari sudut ke sudut, otak semakin penasaran apa isi dari tubuhnya.
Kukecup tubuhnya sampai merah, perlahan ku buka pahanya dan pada akhirnya aku menemukan ilmu yang luas dan abstrak dari isi tubuhnya.
Akal semakin tajam menghadirkan seribu pertanyaan untuk membedah dia apa maksud dari semua isi tubuhnya.
Selama aku bercumbu dengan tubuhnya, otak makin diasah dan mata tak pernah layu, jemari tak lagi lincah mengusap wajah dia yang selalu menghadirkan ribuan informasi.
Malam makin larut Aku duduk termangu di sudut pondok tempat ku biasa bersetubuh dengan buku tempat ku biasa mengeletakkan pikiran yang belum terjawab.
Aku bingung pada siapa aku harus bercerita, dengan siapa aku harus mendayun aku cemas pada siapa aku harus berteduh menahan badai informasi yang setiap hari selalu berubah.
Aku hidup di zaman yang serba cepat, berita datang dengan cepat opini membanjiri timeline.
Di tengah banjirnya informasi aku butuh dia untuk berteduh, informasi melandai di setiap lorong hidupku dan merampas masa depanku.
Dalam diam aku teringat akan kata-kata dari Marcel Proust. Dia adalah seorang novelis, kritikus dan esais asal Prancis yang dianggap sebagai salah satu penulis terpenting dalam sastra dunia. “Buku adalah teman yang sabar; mereka menunggu dengan sabar ketika kita mengabaikannya.”
Aku mulai sadar dulu aku pernah jatuh cinta dengan buku, menggantung harapan pada dia, dan dia selalu menjanjikan sebuah hadiah yang bermakna untuk aku berpijak dalam menghadapi badai jaman.
Buku adalah senjata paling ampuh untuk menajamkan pikiran. Buku adalah tanjuk paling kuat untuk menatap masa depan.
Kini dunia semakin berubah, tantangan selalu menghantuiku, aku kehabisan cara untuk mengolah rasa menjadi kata-kata, karena aku mengalami kekosongan.
Bercinta dengan buku kini menjadi hal yang kaku, berteman dengan buku kini menjadi kejanggalan dalam melangkah.
Malam yang pekat dibungkus kesepian, aku menatap langit, diatas terbentang harapan yang hampa karena tak ada lagi tumpuan untuk berpijak.
Sunyi memanggil ku untuk mendekatkan diri pada rak buku. Aku perlahan merayu buku, membujuknya dengan meletakkan pantat di atas kursi merenggangkan jari untuk perlahan membuka bajunya.
Bajunya masih baru tubuhnya masih mulus, auratnya masih suci karena belum ada yang menyentuh.
Kucoba bersetubuh dengan dia, dengan berpijak pada kata-kata bijak, “pasangkan pantat di atas kursi, ajaklah kursi tuk bersahabat dengan pantat, bujuklah buku tuk mau bersetubuh denganmu, pasangkan pena pada jemari, ambilkan makna dari tubuhnya dan tuliskan itu pada dia yang masih bersih tanpa kotor, maka di sanalah kamu menyimpan emas berlian untuk menghiasi otakmu, karena dengan buku masa depan akan selalu cerah.”
Malam mulai menggugat, buku perlahan membujuk aku, apakah dirimu belum puas bersetubuh dengan diriku, mata berontak dan diikuti oleh gelap yang perlahan hilang, aku sadar ternyata fajar sebentar lagi akan menyingsing dan membawa hari baru untukku.
Aku dan dia semakin akrab, pagi-pagi buta sebelum fajar menyingsing, aku membuat secangkir kopi, kini aku tidak lagi berdua dengan buku tapi ditemani oleh secangkir kopi.
Menjadi kopi adalah takdir, menjadi penikmat adalah upaya. Aku bercinta segitiga sambil menyeduh kopi, mata tetap memberi perhatian pada buku, menikmati dia sambil membedah isi tubuh buku merupakan hal yang sungguh nikmat dalam cerita hidupku.
Kini tubuhnya semakin menipis, isi tubuhnya aku telan dan aku merasa cakrawala berpikir semakin luas. Namun aku belum puas karena buku selalu memberi harapan baru, buku selalu mewarnai isi kepalaku, dan tidak pernah bosan tuk menemani aku dan memberi aku keteduhan.
Sambil menyeduh kopi aku perlahan melangkah dan sunyi masih bersahabat dengan ku. Aku beranjak ke rak buku untuk mendekati teman-teman dari buku yang telah bercumbu dengan ku dari pada aku bercumbu dengan tubuh dia yang belum tentu memberi aku harapan pasti mendingan aku bercumbu dengan buku yang selalu setia menanti aku, karena aku yakin dia selalu pasti tanpa ada basa basi.
Namun sebelum aku membuka bajunya, kucoba mengeja rasa menjadi kata-kata dan menumpukkan kata-kata tuk membentuk kalimat.
Kucoba mencintaimu lewat kata. Sebab bila suatu saat nanti. Aku hilang minat membaca. Cinta tak berubah meski tak biasamu. Hanya dengan cara-cara mengeja.
Aku mengambil makna dari setiap kata
Perlahan mengeja menjadi sebuah puisi Tentang aku yang selalu bersetubuh dengan buku-bukan dengan tubuh tapi dengan jiwa.
Manusia berhenti berpikir saat mereka berhenti membaca. Berhenti berpikir sebuah nyata. Saat lembar berhenti. Cinta menghilang dalam diam. Kata-kata tak lagi terucap.
Duduk melongo sambil merenung. Menunggu hantaman banjir informasi. Manusia terbenam dalam kesunyian. Buku-buku tergeletak di sudut ruangan. Debu menempel memeluk kisah-kisah lama. Di saat itulah jiwa meronda merindukan cahaya cinta. Ilmu tak lagi mengalir. Akal berhenti berpikir. Diderot berpesan pada alam yang serba cepat. Bahwa membaca adalah napas_ jendela jiwa. Setiap huruf tangga menuju keabadian
Tanpa membaca kita hanyut di telan arus zaman. Tanpa membaca kita kehilangan nakhoda kehidupan. Mari ambil pena ukirkan kata-kata. Perlahan merajut menjadi seutas kertas yang berisi puisi. Jangan biarkan pikiran terkurung hidup didunia yang penuh warna. Karena manusia berhenti berpikir saat mereka berhenti membaca tuk menjelajahi makna.
Setelah aku mengeja makna aku kembali pada buku yang sedang menanti dalam sunyi aku dan dia selalu bersama aku selalu berusaha untuk mengabaikan kebisingan dunia dan selalu berusaha mencintai dia dalam diam.
Dalam ruangan yang hampa tanpa gema aku menghabiskan isi tubuhnya. Sambil menyeruput kopi ingatan kembali pada kata-kata dari seorang tokoh sastrawan Indonesia yaitu Pramoedya Ananta Toer; “buku adalah alat untuk menyelamatkan imajinasi, melawan lupa dan melawan kebodohan.”
Aku percaya dengan setia pada membaca aku pasti bisa melewati badai zaman yang terus menghantam benteng kehidupanku.
Aku menyusuri tubuh buku itu seperti menjelajah kekasih: lembut, penuh kejutan. Ia tidak diam.
Ia bicara—lebih jujur daripada manusia. Ia tidak menuntutku jadi siapa-siapa, hanya menjadi pembaca yang benar-benar hadir.
Dan ketika aku selesai, bukan klimaks yang kurasakan. Tapi kekosongan yang manis, seperti usai merindu dan akhirnya bertemu.
Tubuhku tetap di kasur, tapi pikiranku entah di mana—di sebuah lembah di Tibet, di reruntuhan Roma, di hati seorang penyair patah.
Aku mengukir sebuah paragraf yang adalah tumpukan dari Kalimat setelah aku menelan kata-kata dari tubuhnya.
Menapaki lorong-lorong kehidupan yang diselimuti kabut rahasia. Setiap langkah bagai ukiran takdir diatas kanvas waktu.
Jejak-jejak perjuangan terpatri dalam sunyi dan riuh menyulam luka menjadi pelajaran, dan harapan menjadi pelita yang menghalau kegelapan.
Hingga di titik ini segala canda, tawa, jatuh dan bangkit berbaur menjadi melodi kehidupan yang tak pernah berhenti mengalun, mengiringi jiwa yang terus mencari cakrawala baru melalui bersetubuh dengan buku.
Hidup bagai puisi tanpa judul dimana setiap episode adalah bait yang menunggu ditulis dan setiap napas adalah tanda baca yang menghidupkan cerita.
Hidup itu sebuah perjalanan yang belum pasti, tapi selalu penuh arti.
Setiap kali aku membaca, aku bersetubuh. Bukan dengan fantasi murahan, bukan dengan gairah murka, tapi dengan hasrat yang lebih dalam—hasrat untuk dimengerti, untuk menyatu, untuk menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diriku sendiri.
Kata-kata adalah kulitnya. Makna adalah dagingnya. Dan aku, pembaca yang lapar, melahap setiap inci keberadaannya dengan takzim dan cinta. Orang-orang melihatku aneh.
Mereka tidak tahu mengapa aku lebih sering menghabiskan waktu di perpustakaan atau toko buku bekas daripada di kafe atau konser.
Mereka pikir aku menghindar dari dunia. Padahal sebenarnya, aku sedang memasuki dunia—dunia yang lebih luas, lebih jujur, dan lebih menggairahkan.
Pernah suatu malam, aku tertidur di atas buku. Ketika bangun, aku merasa seperti baru saja bercinta.
Bukan karena mimpi basah atau adegan erotis. Tapi karena pikiranku dipenuhi oleh dialog, deskripsi, dan keheningan yang mendalam.
Ada kelelahan manis yang tertinggal. Aku merasa seperti telah menyatu—dan sekarang tercerabut kembali ke dunia nyata yang terlalu bising dan kosong.
Semakin dewasa, aku tak bisa berhenti. Hubungan ini makin kuat, makin rumit. Aku tidak lagi membaca buku hanya untuk lari dari kenyataan, tapi untuk memahami kenyataan itu lebih dalam.
Dari Milan Kundera, aku belajar bahwa beratnya hidup bisa terasa ringan, dan ringannya bisa terasa berat.
Dari Pramoedya, aku belajar bahwa kata-kata bisa melawan penjajahan. Dari Dazai, aku belajar bahwa patah hati bisa dijadikan karya abadi.
Pada akhirnya aku ingin mengatakan buku adalah cara terbaik untuk mempelajari masa lalu dan mempersiapkan masa depan.
*Yosef Valdo Leso adalah mahasiswa semester II IFTK Ledalero