Jakarta, Vox NTT – Anggota DPR RI Komisi III, Benny K. Harman, mendukung rencana revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk mencegah penyimpangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum di Indonesia.
Hal ini disampaikan Benny dalam rapat kerja bersama Komisi Yudisial di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, pada Senin, 10 Februari 2025.
Benny menyebutkan, penyimpangan sering terjadi pada tahap penyelidikan dan penyidikan, yang berakibat pada penetapan tersangka secara sewenang-wenang dan rekayasa peristiwa pidana, terutama dalam kasus-kasus tindak pidana umum non-korupsi.
“Penyimpangan ini tidak hanya merugikan korban tetapi juga mencoreng integritas sistem peradilan kita,” katanya.
Menurut Benny, kewenangan penyidikan pada umumnya berada di tangan kepolisian, namun karena Indonesia menganut sistem bifurkasi, penyidik juga terdapat di institusi lain seperti KPK, Kejaksaan, dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Ia menegaskan, penyelidikan dan penyidikan hanya dapat dilakukan apabila ada bukti permulaan yang cukup.
“Setelah seseorang ditetapkan sebagai tersangka, penahanan juga harus memenuhi syarat hukum yang jelas,” tegasnya.
Benny juga mengkritik penyidik yang kerap melakukan tindakan sewenang-wenang, seperti memeriksa orang tanpa dasar hukum yang jelas, mengancam, memaksa pemanggilan, dan menetapkan tersangka secara tiba-tiba.
“Hal ini menyebabkan hukum menjadi alat yang disalahgunakan, dan penegak hukum juga sering kali dijadikan alat oleh pihak tertentu,” ujar Benny.
Selain itu, Benny menyoroti soal kewenangan penyadapan yang menurutnya masih kabur. Ia mengungkapkan bahwa saat ini, banyak lembaga seperti polisi, KPK, jaksa, dan BIN yang dapat melakukan penyadapan tanpa batasan yang jelas.
“Alat penegak hukum juga menjadi boneka bagi oligarki,” kata politisi Demokrat itu.
Untuk itu, Benny mengusulkan agar revisi KUHAP memastikan transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan hak asasi manusia.
“Penting untuk mengawasi penggunaan kewenangan luar biasa yang dimiliki penyidik agar tidak ada penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM,” tambahnya.
Sebelumnya, Ketua Komisi Yudisial, Amzulian Rifai menyatakan, KUHAP saat ini hanya mengatur pengawasan setelah putusan pengadilan, padahal penyalahgunaan wewenang bisa terjadi sejak tahap penyelidikan.
Ia juga menyarankan agar pasal pengawasan terhadap aparat penegak hukum diatur dalam bab tersendiri dalam revisi KUHAP untuk memberikan legitimasi yang kuat bagi lembaga pengawas.
Menurut Rifai, Komisi Yudisial setiap tahunnya menerima ribuan pengaduan terkait perilaku hakim. Pada 2024, tercatat ada 2.274 laporan dan 966 permohonan pemantauan persidangan untuk semua tingkatan pengadilan.
Penulis: Herry Mandela