Oleh: Veronica Claudia Mone
Penulis adalah siswa SMAK St. Josef Freinademetz Tambolaka- Sumba Barat Daya, NTT.
“Lari, ayo cepat… cepat”
Terdengar dari kejauhan kakak-kakak panitia Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) meneriaki para siswa-siswi baru untuk segera memasuki area sekolah.
Yeah, hari ini adalah hari pertamaku untuk memulai kisahku pada masa putih abu-abu, perkenalkan namaku Audi. Saat ini aku adalah siswi baru SMA Katolik Sta Monika, salah satu SMA di kota Sumba.
Memasuki dunia putih abu-abu adalah hal yang paling ku nantikan sejak beberapa bulan belakangan ini.
Membayangkan menghabiskan masa-masa remaja dengan berbagai pengalaman indah ke depannya membuatku bersemangat untuk memulai hari ini.
Setelah mendapatkan banyak pencerahan dari panitia MPLS di lapangan tempat semua siswa baru berbaris, kami pun diarahkan untuk memasuki aula sekolah untuk memulai masa MPLS hari pertama.
“Audi, ayo duduk sini” Teriak seseorang dari kejauhan dan Yaps, tepat sekali dia adalah Julia sahabatku sejak SMP dan ini adalah plan kami dengan sengaja memilih SMA yang sama agar bisa terus bersama.
Tak terasa sudah hampir seminggu berlalu dan masa MPLS hampir selesai. Hari ini adalah pengumuman pembagian kelas dan betapa senangnya aku dan Julia karena kami sekelas lagi. Hie… petualangan putih abu-abu, I’m coming.
Waktu datang dan pergi tak pernah meninggalkan jejak. Hari demi hari terus berganti semuanya terasa sangat indah, mendapatkan teman sekelas yang sefrekuensi adalah hal yang paling menyenangkan, bersama-sama kami lalui hari dengan segala keusilan dari teman laki- laki atau sebaliknya, segala bentuk kepedulian sesama teman sekelas dan guru-guru yang sangat kreatif serta menyenangkan.
Hal yang menyenangkan juga adalah ketika pertama kali merasakan jatuh cinta dan disukai oleh seseorang dan berbagai hal indah lainnya yang sangat menyenangkan menurutku.
Hingga akhirnya hal yang tak pernah ku bayangkan terjadi.
“Bu, Audi sakit” kata temanku Julia ketika melihat wajahku yang pucat. Aku pun segera diantar ke UKS untuk beristirahat.
Awalnya aku berpikir hanya kecapean karena berbagai aktivitas sekolahku atau sekadar demam biasa dan palingan beristirahat saja sudah cukup.
Namun, sejak saat itu hal yang sama terus terjadi padaku. Aku menjadi sering sakit dan izin tidak datang sekolah.
Kondisiku yang tak kunjung membaik dengan mengomsumsi obat-obatan apotek membuat kedua orangtuaku panik dan membawaku untuk melakukan pemeriksaan lengkap di salah satu rumah sakit terkenal di Sumba.
Setelah selesai melakukan pendaftaran dan mengantri bersama pasien lain, tibalah giliranku untuk diperiksa oleh dokter. Setelah aku menyampaikan keluhan-keluhan dan melakukan pemeriksaan.
“Sepertinya adek perlu melakukan rekam jantung karena dari yang saya amati detak jantung adek tidak normal buk” ucap doker ketika memeriksa detak jantungku.”
Hari itu aku melakukan rekam jantung untuk pertama kalinya dalam hidupku. Setelah menunggu beberapa saat hasil pemeriksaannya keluar, dokter menyampaikan bahwa kondisi jantungku tidak normal dan menyarankan untuk dirawat inap agar mendapatkan penanganan lebih lanjut serta dapat diobservasi tentang penyakitku. Aku yang selama 16 tahun tidak pernah diinfus akhirnya untuk pertama kali dalam hidupku merasakannya.
Hari pertama diinap semuanya berjalan dengan baik, kondisiku masih terlihat sama seperti biasa aku diberikan perawatan, obat dan beberapa tindakan umum lainnya.
Hingga keesokan harinya kondisi kesehatanku menjadi sangat menurun. Aku yang awalnya masih bisa duduk dan makan sendiri kini terbaring lemah di kasur rumah sakit dengan selang oksigen di hidungku.
Badanku menjadi sangat lemas bahkan untuk menopang tubuhku saja aku tak mampu, makananku harus dihaluskan, ketika hendak minum pun aku menggunakan sedotan bahkan untuk duduk saja aku tak sanggup, segala aktivitas sederhana pun harus selalu dibantu oleh mamaku.
Hingga pada malam hari seluruh anggota keluarga datang menjenggukku termasuk Julia sahabatku bersama kedua orang tuanya.
Aku menatap heran pada orang-orang yang datang menjengukku saat itu.
“Mengapa mereka menatapku begitu aneh? Mengapa semua orang menangis?” Terbesit pertanyaan dalam benakku. Tanpa kusadari sebenarnya bahwa kondisiku memang sangat memprihatinkan. Semua orang takut itu akan menjadi malam terakhir mereka bersamaku.
Beruntungnya aku dapat melewati malam itu dan perlahan-lahan kondisiku menjadi pulih hingga semakin membaik dan aku diperbolehkan pulang.
Aku berpikir bahwa itu adalah akhir dari sakitku. Saat itu aku dapat bersekolah lagi seperti biasanya. namun ternyata itu adalah awal dari perjuanganku.
Belum sampai seminggu sejak aku dipulangkan dari rumah sakit, sakitku mulai kambuh lagi. Badanku menjadi lemas bahkan kali ini aku tak mampu berjalan.
Bahkan untuk ke kamar mandi pun aku harus dibantu oleh salah satu anggota keluargaku, dan hal ini pun yang membuatku harus dirawat lagi ke rumah sakit.
Hari- hari kujalani dengan segala perawatan medis yang bahkan terkadang aku sendiri pun tak mengerti tindakan apa yang sedang diberikan padaku.
Infus, obat-obatan, dan jarum suntik sudah menjadi temanku sehari-hari bahkan perawat dan dokter pun sampai menghafal sakit yang kuderita hanya dengan melihat wajahku karena sudah sering itu aku berkunjung ke Rumah Sakit.
Namun meski berbulan- bulan aku dirawat dan menjalani segala perawatan medis kondisiku masih tetap sama, sakitku sering kambuh hingga dokter menyarankan untuk rujuk ke rumah sakit besar yang berbeda provinsi dengan tempat tinggalku yang mempunyai peralatan medis yang jauh lebih memadai.
Akhirnya orangtuaku mengurus surat ijin ke sekolahku dan memberitahukan kondisiku kepada guru-guru dan kepala sekolah. Dua hari sebelum keberangkatan aku mendapatkan kunjungan dari teman-teman, guru-guru dan kepala sekolah.
Aku yang mendapatkan kunjungan itu tentu saja sangat senang dan merindukan suasana sekolah dan hal itu pula yang memotivasiku untuk segera sembuh agar bisa menjalani segala aktivitas normal seperti biasanya.
Hari ini adalah hari keberangkatanku. Aku didamping oleh kedua orangtuaku yang setia menemaniku, dan tak ada kata lelah dari mulut mereka.
Raut wajah mereka penuh kasih sayang dan mengalirkan energi cinta yang sangat luar biasa.
Hari kedua setelah berada di sini aku melakukan pemeriksaan di rumah sakit yang telah disarankan dokter sebelumnya. Pemeriksaan dimulai dengan tes laboratorium, darahku diambil untuk melakukan pemeriksaan.
Setelah hasilnya keluar, dokter mendiagnosis bahwa kalium yang ada di dalam tubuhku sangat rendah namun dokter belum begitu yakin karena sebagian gejala yang aku alami mengarah ke penyakit lupus.
Di titik ini aku benar-benar merasa terpuruk mendengar hal itu, aku merasa hidup benar-benar tidak adil.
Mengapa aku harus mengalami hal ini di usia yang seharusnya aku habiskan dengan teman-teman, melakukan berbagai kegiatan sekolah, merasakan masa-masa remaja yang begitu bergejolak, yang harusnya saat ini aku sedang belajar agar dapat bersaing memperebutkan juara kelas dan merasakan cinta pada masa SMA seperti remaja pada umumnya, namun semua hal itu seakan benar-benar pupus tanpa harapan.
Aku kehilangan semangat hidup, aku merasa benar-benar tidak akan pernah merasakan masa-masa remaja yang seharusnya kujalani saat ini.
Aku menjadi depresi dan marah pada Tuhan “Mengapa aku harus merasakan ini semua Tuhan? Mengapa aku tak menjalani kehidupan remaja yang normal sebagaimana teman-teman yang lain? Aku iri melihat teman-temanku, mengapa aku yang terus-terusan menyusahkan dan menjadi beban berat untuk kedua orangtuaku” ucapku dalam setiap doaku.
Aku mulai membenci diriku sendiri, menyalahkan situasi dan bahkan orang-orang di sekitarku. Namun ketika segala keluhan yang kusampaikan pada Tuhan seakan tak didengar oleh- Nya, aku pun tak pernah mau lagi untuk berdoa.
Setiap malam kedua orang tuaku selalu mengajakku untuk berdoa bersama namun aku tak pernah benar-benar berdoa dengan seikhlas hati aku hanya berdoa sebagai formalitas karena tak mau membebani orang tuaku tapi di dalam hatiku aku benar-benar muak dengan doaku yang tak kunjung dijawab karena kondisiku benar-benar tak membaik.
Pada akhirnya kami dipulangkan ke Kota asal kami dengan membawa nama penyakit yang bahkan dokter pun ragu apa betul itu sakit yang kuderita.
Aku menjadi keras pada diriku sendiri, memaksakan diri untuk tidak sakit dan berusaha menjadi sesempurna mungkin dan melakukan aktivitas yang berat tanpa memikirkan kondisiku. Hal itu kulakukan karena aku tidak menerima bahwa diriku sakit.
Sebenarnya tanpa kusadari hal itulah yang membuat kondisi kesehatanku semakin menurun. Meski telah melakukan perawatan di rumah sakit yang lebih besar penyebab sakitku belum ditemukan yang membuat sakitku belum dapat diobati.
Namun beruntungnya aku diberi obat yang membuat kondisiku sedikit membaik meskipun kadang-kadang masih sering kambuh dan aku harus bergantung pada obat rutinnya.
Sebenarnya pertama aku masuk sekolah saat itu aku memiliki ketakutan bahwa kehadiranku kembali di sekolah tidak disambut baik oleh teman dan guru-guru karena izinku yang begitu lama.
Aku takut akan diasingkan karena penyakitku namun ternyata semua itu hanya ketakutanku semata.
Kedatanganku disambut baik oleh mereka. Hal ini membuatku legah dan merasa sangat bersyukur bisa berada di lingkungan sekolah yang seperti ini.
Hari- hari hidup kujalani dengan penuh semangat dan penuh ambisius untuk mendapatkan juara pararel di sekolah.
Aku belajar dengan sungguh-sungguh tanpa memikirkan waktu dan kesehatanku. Yang ada dipikiranku hanya menjadi juara, hal itu kulakukan sebagai bentuk rasa terima kasih dan rasa bersalah kepada kedua orangtuaku karena aku telah membuat mereka menjalani hari-hari yang begitu berat.
Aku ingin menjadi anak yang berbakti dan menjadi anak yang dapat dibanggakan.
Aku terus memaksakan diriku dan berusaha kuat dan sehat meskipun sebenarnya aku sedang tidak baik-baik saja.
Aku berpikir bahwa aku tak lagi sakit dan tak akan pernah bertemu lagi dengan rumah sakit namun ternyata salah. Aku masih saja sering dirawat di rumah sakit. Hal ini membuatku menjadi makin depresi dan terus menyalahkan Tuhan.
Aku semakin benci dengan diriku sendiri. Aku menjadi jarang minum obat dan terus menyiksa diriku sendiri.
Aku merasa iri dengan teman-teman seusiaku “mengapa aku harus berjuang dengan sakitku sedangkan anak seusiaku menikmati masa remaja mereka? Mengapa hanya aku yang mengalami ini?” protesku kepada Tuhan.
Namun hingga di suatu saat ketika aku sedang mengikuti kegiatan sharing Kitab Suci yang diadakan oleh sekolahku aku disadarkan oleh salah satu ayat yang benar-benar menyadarkanku, dimana ayat tersebut berbunyi “ Hati yang gembira adalah obat yang menjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang” (Amsal 17:22).
Saat itu aku pun mulai menyadari bahwa sebagian sakit yang kuderita saat ini yang terus- terusan kambuh adalah karena diriku yang begitu keras dan tak mau menerima keadaanku saat ini serta pikiran yang selalu berprasangka buruk pada keadaan, juga memicu kambuhnya sakitku.
Hingga berbagai nasehat yang kuterima dari orang tua, kakak, sepupu dan semua keluarga besarku menjadi faktor yang membuat aku untuk belajar ikhlas menerima kondisku saat ini serta sikap teman-teman dan guru-guruku yang sangat memahami situasiku.
Sikap keluarga serta teman-teman yang tak pernah menganggapku berbeda dari yang lain juga membuatku semakin belajar menerima diri dan menerima bahwa segala hal yang terjadi dalam diriku saat ini adalah karena Tuhan telah memilihku untuk menjalani hal ini.
Hingga aku akhirnya mulai kembali berdoa kepada Tuhan dan percaya padanya, serta memberikan seluruh hidupku kepada kehendak-Nya. Aku menyadari bahwa segala hal yang terjadi dalam hidupku adalah bagian dari kasih sayang Tuhan padaku agar aku dapat lebih kuat dan mampu bersyukur atas kesempatan-kesempatan kecil yang terjadi pada hidupku.
Hingga akhirnya karena bentuk penerimaan diriku saat ini aku dapat kembali menjalankan aktivitasku dengan normal meskipun masih sering mengomsumsi obat-obatan dan masih harus selalu rutin untuk melakukan check up.
Kini aku dapat lebih menerima kondisiku, aku mulai belajar mencintai diriku sendiri, mendahulukan kesehatanku, serta mengubah pola pikirku. Aku juga menyadari bahwa yang terpenting dalam hidupku adalah diriku sendiri bukan apa yang dapat aku berikan untuk orang lain dan percaya bahwa segala sesuatu terjadi karena suatu alasan.