Oleh: Rikardus Mbusa
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menghadapi dua tantangan besar pada awal 2025: kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat dan warisan budaya Belis yang membebani ekonomi masyarakat.
Kebijakan Presiden Prabowo Subianto memangkas anggaran belanja negara sebesar Rp 306,7 triliun—termasuk transfer daerah ke NTT senilai Rp 184 miliar—berdampak langsung pada perekonomian lokal yang 80% bergantung pada belanja pemerintah.
Di sisi lain, tradisi Belis, seperti pesta adat dan pernikahan mahal, memperparah kemiskinan struktural.
Tulisan ini akan menganalisis bagaimana kedua isu ini saling beririsan dan upaya transformasi yang diperlukan untuk membangun NTT yang mandiri.
Efisiensi Anggaran: Antara Penghematan dan Ancaman Kemiskinan
Kebijakan efisiensi anggaran Prabowo melalui Inpres Nomor 1/2025 bertujuan mengoptimalkan belanja publik.
Gubernur NTT, Melki Laka Lena, menyatakan dukungannya dengan menegaskan fokus pada belanja publik seperti pendidikan dan kesehatan.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa pemangkasan dana transfer ke NTT (Rp 184 miliar) telah mengganggu aktivitas ekonomi lokal.
Usaha kecil kehilangan pendapatan karena berkurangnya pesanan dari instansi pemerintah serta berkurangnya aktivitas pemerintah.
Sektor transportasi juga terdampak: sopir rental kehilangan pelanggan ASN yang biasa menyewa mobil.
Ekonomi NTT yang 80% bergantung pada belanja pemerintah membuat kebijakan ini berisiko memperburuk kemiskinan.
Data BPS Maret 2024 menunjukkan 19,48% penduduk NTT hidup di bawah garis kemiskinan, tertinggi ketiga secara nasional.
Pengamat ekonomi Tuti Lawalu memprediksi penurunan daya beli dan peningkatan migrasi non-prosedural akibat tekanan ini.
Di tengah situasi ini, upaya Gubernur NTT untuk mengalihkan ketergantungan ke investasi swasta misalnya melalui hilirisasi rumput laut dan garam—menjadi krusial, meski masih dalam tahap awal .
Budaya Belis: Antara Tradisi dan Beban Ekonomi
Budaya Belis, seperti pesta adat dan pernikahan, menjadi salah satu akar kemiskinan di NTT.
Tradisi ini tidak hanya memakan biaya besar tetapi juga memaksa keluarga berutang untuk memenuhi tuntutan sosial.
Seorang akademisi menyebutkan, banyak keluarga mengorbankan kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan demi mempertahankan status sosial melalui pesta mewah.
Misalnya, biaya pernikahan adat bisa mencapai puluhan juta rupiah, sementara pendapatan per kapita bulanan di NTT hanya sekitar Rp533.944 .
Budaya ini juga menghambat investasi produktif. Dana yang seharusnya digunakan untuk modal usaha atau pertanian justru dialokasikan untuk acara seremonial.
Ironisnya, tradisi ini tetap dipertahankan karena dianggap sebagai identitas kultural, meski secara ekonomi kontraproduktif. Kombinasi antara tekanan budaya dan minimnya infrastruktur (seperti akses transportasi dan irigasi) memperparah stagnasi ekonomi.
Titik Temu: Efisiensi Anggaran Vs Transformasi Budaya
Kebijakan efisiensi anggaran dan budaya Belis sama-sama membutuhkan pendekatan transformatif.
Pertama, pemerintah harus memastikan pemangkasan anggaran tidak mengorbankan program strategis seperti bantuan sosial dan infrastruktur.
Sri Mulyani, Menteri Keuangan, menegaskan bahwa efisiensi tidak boleh mengurangi belanja wajib seperti pendidikan 20%.
Namun, di NTT, pemotongan dana transfer telah mengganggu operasional lembaga seperti Komisi Yudisial dan Ombudsman, yang kini kesulitan menjalankan tugas pengawasan .
Kedua, transformasi budaya Belis perlu dilakukan tanpa menghilangkan nilai sosialnya.
Pemerintah daerah bisa mengkampanyekan “Belis Moderat” yang memprioritaskan kebutuhan dasar.
Misalnya, mendorong masyarakat mengalokasikan dana untuk investasi usaha kecil atau pendidikan anak, alih-alih pesta mewah.
Program “Satu Desa, Satu Produk” yang diusung Melki-Johni bisa diintegrasikan dengan edukasi tentang pengelolaan keuangan keluarga.
Ketiga, kolaborasi antar-pemangku kepentingan seperti forum Duduk Ba Omong 2025 yang diinisiasi BI NTT perlu diperkuat.
Optimalisasi sektor pertanian melalui digitalisasi dan Good Agricultural Practices (GAP) bisa menjadi solusi jangka panjang.
Sektor pariwisata dan energi terbarukan juga berpotensi menciptakan lapangan kerja baru, mengurangi ketergantungan pada belanja pemerintah.
Kritik dan Tantangan ke Depan
Meski memiliki niat baik, kebijakan efisiensi anggaran Prabowo dinilai “brutal” oleh ekonom Bhima Yudhistira.
Pemotongan anggaran di sektor publik justru menggerus pertumbuhan ekonomi, terutama di daerah miskin seperti NTT.
Selain itu, upaya Melki-Johni untuk menarik investasi swasta masih menghadapi kendala geografis dan infrastruktur.
Hanya 55% lahan pertanian di NTT yang memiliki irigasi memadai, sehingga produktivitas tetap rendah.
Di sisi budaya, perubahan tradisi Belis tidak bisa instan. Butuh pendekatan partisipatif melibatkan tokoh adat dan agama.
Misalnya, mengadakan workshop pengelolaan keuangan bagi calon pengantin atau memberikan insentif bagi desa yang mengurangi pesta berlebihan.
Tanpa itu, tekanan sosial akan terus mendorong masyarakat ke dalam lingkaran utang.
Rekomendasi
Untuk mengatasi kompleksitas ini, beberapa langkah konkret perlu diambil:
Pertama, Realisasi Investasi Swasta: Pemerintah pusat dan daerah harus mempercepat hilirisasi produk lokal seperti rumput laut dan garam, sekaligus membuka akses pasar ekspor
Kedua, Reformasi Budaya: Kampanye “Belis Berkelanjutan” melalui edukasi dan kolaborasi dengan LSM untuk mengurangi beban ekonomi tradisi.
Ketiga, Perbaikan Infrastruktur: Prioritas pada pembangunan jalan, irigasi, dan listrik untuk mendukung sektor produktif.
Keempat, Pengawasan Anggaran: Memastikan efisiensi tidak mengorbankan layanan publik, dengan melibatkan lembaga pengawas seperti Ombudsman.
Kelima, Sinergi Multisektor: Memperkuat forum seperti Duduk Ba Omong untuk merancang strategi ekonomi inklusif.
Efisiensi anggaran dan reformasi budaya bukanlah tujuan akhir, melainkan alat untuk mencapai NTT yang mandiri.
Tanpa keseimbangan antara penghematan fiskal dan keberpihakan pada akar masalah kemiskinan, upaya ini hanya akan menjadi lip service.
Sejarah membuktikan, gotong royong nilai inti masyarakat NTT bisa menjadi kunci transformasi jika diarahkan secara tepat .