Oleh: Yohanes Abrianto Loni
Asal NTT, sekarang di Kalimantan Timur
Juni tahun 2023, saya baru saja menyelesaikan tugas ahkri-SKRIPSI di Kampus STFK Ledalero. Pada saat itu saya masih menunggu untuk diwisudakan.
Waktu yang cukup lama hidup di kota Maumere, terkadang membosankan. Namun sebuah pertanyaan yang terus mengusik pikiran saya kala itu ,“kuliah sudah selesai, ke mana saya melamar untuk bekerja?
Merenung di bawah bukit sandaran matahari Ledalero, saya pun bertekad mengambil sebuah keputusan -‘ah saya merantau ke Kalimantan!
Tepatnya 13 Juni 2023, saya berangkat dari Pelabuhan Maumere menuju Kalimantan Timur. Dalam perjalananannya di atas kapal Lambelu, saya berjumpa dengan sahabat-sahabat PMKRI.
Mereka utusan dari Cabang Maumere untuk mengikuti Kongres di Balikpapan. Perjumpaan begitu singkat bersama sahabat PMKRI ahkirnya kami berpisah di Pelabuhan Senayan Balikpapan.
Kisaran jarak dari Pelabuhan Senayan menuju kota Balikpapan hanya membutuhkan waktu 15 menit.
Saya dan berapa teman perantau menggunakan angkutan umum menuju Balikpapan, di dalam mobil yang kami tumpangi, saya melontarkan sebuah kalimat ini kepada sopir, om sopir ternyata kota Balikpapan sangat ramai.
Om sopir tersenyum sipu sambil menyahut dengan candaan yang humoris, kawan sebentar lagi kita tidak akan melihat Kota Balikpapan, ada kota yang lebih ramai lagi, di sana kamu akan melihat nona Dayak yang manis dan cantik. Saya pun tersenyum manis dan berkata “Nona Dayak itu yang saya cari om sopir”.
Sampailah kami di Balikpapan, dan melanjutkan perjalanan menuju Kota Samarinda. Di Kota Samarinda kami mampir dan rehat sejenak dan siap-siap untuk melanjutkan perjalanan.
Menghirup udara Kota Samarinda yang begitu segar dengan sebatang rokok sampai lupa kalau kami tidak melihat lagi kota yang secantik itu.
Melewati kota Samarinda, saya melihat beberapa rumah saja di sekitar pinggiran jalan, lebih banyak dikelilingi pepohonan sawit.
Dalam hati kecilku, ‘oe Om Sopir joak saya, di mana kota yang secantik Nona Dayak itu? Ternyata hitan sawit.
Tepatnya pukul 24.00, saya dan beberapa kawan tiba di perusahan sawit. Malam yang begitu hening, tak ada satupun cahaya yang menerangi kami kala itu, hanya bermodalkan cahaya Handphone.
Scroll HP cuman melihat fotonya pacar namun sayangnya tidak bisa dihubungi (jaringan darurat) pikiranku- sayang kita hilang hanya sebentar saja, ah?
Enam bulan saya bergulat bekerja di perusahan sawit. Menikmati pekerjaan di bawah trik matahari yang sangat panas, baju basah berteskan keringat sampai air mata mengalir dipipih memikul pekerjaan yang sangat berat.
Tuhan, saya tidak mampu dengan pekerjaan ini. Demi uang sampai lupa memberikan kabar untuk orang tua, apalagi pacar?
Mungkin kendala utama saat itu adalah jaringan yang sulit untuk dihubungi. Hari berganti hari saya lewati dengan penuh rasa syukur namun terkadang merasa jenuh dan membosankan.
Perjumpaan sesama karyawan, kami hanya berdiskusi seputaran persawitan saja- ‘bagaimana buah sawitmu hari ini? Berondol di lahan banyak sekali?
Ikan gabus yang saya mancing kemarin sebesar ikan paus?’ Pada sisi yang lain kami sering ditegur oleh atasan dengan melontarkan kalimat ‘buah mentah jangan di turunkan!, berondol tolong dikutip, jangan pulang cepat, dan masih banyak lagi’. Sungguh ini sudah menjadi topik yang sering dibicarakan.
Situasi dan kondisi yang jauh dari kata keramaian sudah menjadi hal yang biasa bagi kami, setiap hari makan seadanya saja, pengen beli ikan terkadang berpikir dengan biaya hidup yang sangat mahal.
Tumpukan hutang di warung hampir setengah dari uang gaji, mau irit namun lonceng lambung memanggil, ‘mau sehat atau sakit’! pada sisi yang lain, pro dan kontra sesama karyawan seringkali terjadi, percecokan antara atasan dan karyawan panen berujung pada saling adu fisik sampai meneteskan darah hanya kesalapahaman sepele saja.
Saat itu saya pun jadi saksi untuk pertamakalinya berhadapan dengan pihak kepolisiaan. Namun masalah itu berahkir secara kekeluargaan.
Seiring berjalannya waktu, tepatnya di bulan Desember, saya mengambil keputusan untuk resain dari perusahan, dan pamit pulang menuju NTT untuk mengurus berkas ijazah.
Di kampus STFK Ledalero- saya berjumpa dengan P. Ignas Ledot SVD. Beliau bercerita kalau kampus STFK sudah diubah menjadi IFTK. Sungguh luar biasa.
Saya sedikit ingin bernostalgia selama mengenyam pendidikan Filsafat, kecemasan yang paling ditakutkan adalah Skripsi.
Sebagai mahasiswa awam saya sangat minim pengetahuaan dibandingkan dengan para frater.
Hal inilah yang membuat saya cemas. Tapi saya terus berusaha, berdiskusi dan berkonsultsi dengan P. Otto Gusti SVD sebagai dosen pembimbing.
Dalam proses bimbingan, Pater sangat meragukan tulisan karya ilmiah saya, sebab saya menggagas tentang organsasi PMKRI yang notabene sangat tidak cukup sebagai buku referensi.
Dengan niat yang tulus saya terus berusaha, berdikusi dengan kader-kader PMKRI, teman-teman PMA IFTK, dan ase kae dari organisasi IMAMM.
Berkat dan dukungan yang tulus dari P. Otto Gusti SVD, ahkrinya saya bisa sampai ke tahap finish.
Tuhan sungguh baik, dan ahkirnya saya bisa menyelesaikan kuliah di IFTK Ledalero walaupun tidak pernah merasakah pakian wisuda yang seindah itu, intinya ijazah sudah saya miliki. Terima kasih banyak untuk semuanya.
Ijazah sudah beres saatnya saya pamit pulang dari Kota Maumere menuju Manggarai untuk merayakan Natal bersama keluarga (Bapa, Mama, kaka) yang cukup lama kami tidak pernah berjumpa.
Ayah dan Ibu memluk dan tersenyum melihat anaknya pulang? sungguh bahagia melihat orang tua tersenyum meskipun raut wajah ayah dan ibu sudah semakin keriput.
Natal dan tahun baru telah usai, sudah saatnya saya harus mencari pekerjaan, saya tidak ingin lagi ke Kalimantan-(pikiranku saat itu ?)- 11 Januari merenung tentang perjalanan hidup! Harus kemana lagi langkah kaki ini harus berpijak?
Hidup di kampung jadi pengangguran. Ah Bingung. Malam sebelum istirahat, Saya bilang ke ayah dan Ibu ‘Bapa-Mama tidak ada pilihan lain, selain saya berangkat lagi ke Kalimantan!
Ayah dan ibu terpaku diam sejenak dan mengatakan ‘jangan nak? Ayah dan Ibumu sendirian di rumah’ air mata sayapun menetes begitu cepat memebelakangi wajah ayah dan ibu sambil berkata ‘Bapa-Mama besok saya berangkat, ada jadwal kapal dari Maumere menuju Kalimantan. Saya izin pamit malam ini.
Setiap doa terus saya panjatkan, Semoga Tuhan melindungi ayah dan ibu agar selalu sehat dan tersenyum. Bapa dan Mama, anakmu rindu sekali?
Sekian saja pengalaman singkat ini, mungkin pengalaman ini pernah dialami oleh banyak orang, pilihan hidup ini adalah kita menentukan.
Mengutip kalimat dari Mother Theresia ‘Tuhan tidak memanggilku untuk sukses tetapi untuk setia’.
Salam hangat dari Borneo Kalimantan untuk kalian semua. Minta maaf jika ada kesalapahaman dalam menulis pengalaman singkat ini. Sekian dan terima kasih.