Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM
Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)
Paus Fransiskus melalui ensiklik Laudato Si’ menggemakan seruan profetik tentang krisis planet bumi yang dihadapi umat manusia dewasa ini.
Ia menegaskan bahwa krisis lingkungan bukan semata-mata persoalan teknis atau ilmiah, melainkan persoalan moral dan spiritual yang menuntut pertobatan ekologis dari seluruh umat manusia.
Pendidikan memiliki peran sentral dalam proses ini, karena melalui pendidikan, kesadaran, tanggung jawab, dan cinta terhadap bumi sebagai rumah bersama dapat ditanamkan dan ditumbuhkan sejak dini.
Oleh karena itu, Paus Fransiskus menempatkan pendidikan ekologis sebagai jalan strategis menuju transformasi budaya dan peradaban cinta kasih persaudaraan manusia semesta.
Dalam pandangan Paus Fransiskus, pendidikan ekologis tidak hanya sebatas menambah pengetahuan tentang lingkungan, tetapi merupakan jalan formasi hati, akal budi, dan tindakan.
Pendidikan harus menyentuh dimensi terdalam manusia—kesadaran akan relasi yang harmonis antara diri sendiri, sesama, alam, dan Allah.
Ia mengajak lembaga-lembaga pendidikan, termasuk sekolah Katolik, untuk mengembangkan kurikulum yang mencakup dimensi ekologis, dengan memadukan ilmu pengetahuan, nilai spiritualitas, dan praktik konkret yang membentuk gaya hidup baru yang lebih sederhana, berkelanjutan, dan berbelarasa.
Paus Fransiskus menyoroti bahwa krisis ekologis bersumber dari relasi yang keliru antara manusia dengan ciptaan, yang didominasi oleh sikap eksploitatif dan konsumerisme.
Melalui pendidikan ekologis, umat diajak untuk membangun kembali relasi yang benar dengan ciptaan—bukan sebagai penguasa mutlak, tetapi sebagai penjaga dan sahabat bumi.
Kesadaran bahwa bumi bukan hanya sumber daya, tetapi rumah yang hidup dan penuh makna spiritual, menjadi dasar bagi munculnya rasa tanggung jawab dan kepedulian yang otentik.
Sekolah Katolik dipanggil untuk menjadi pusat transformasi budaya ekologis yang berlandaskan iman. Paus Fransiskus menekankan bahwa institusi pendidikan harus menjadi “laboratorium ekologi integral,” tempat di mana peserta didik belajar tidak hanya dengan kepala, tetapi juga dengan hati dan tangan.
Lingkungan sekolah harus mencerminkan praktik-praktik ekologis nyata: pengurangan sampah, penghijauan, penggunaan energi terbarukan, serta keterlibatan aktif dalam isu-isu sosial-ekologis lokal. Dengan demikian, pendidikan menjadi sarana transformatif yang konkret.
Paus Fransiskus mengajak seluruh umat, terutama generasi muda, untuk mengembangkan spiritualitas ekologis yang mengakar dalam pengalaman iman sehari-hari.
Ia menekankan pentingnya rasa syukur, kontemplasi alam, serta hidup dalam kesederhanaan dan keterbatasan.
Spiritualitas ini bukan sesuatu yang abstrak, melainkan nyata dalam pilihan hidup: mengurangi konsumsi berlebihan, menghargai ciptaan, dan berbagi dengan yang miskin dan tersingkir.
Pendidikan ekologis harus menumbuhkan dimensi batiniah ini agar perubahan perilaku bersumber dari transformasi hati.
Konsep ekologi integral yang diusung Paus Fransiskus menegaskan bahwa isu lingkungan tidak bisa dipisahkan dari keadilan sosial.
Pendidikan ekologis harus mengajarkan bahwa kerusakan alam seringkali berdampak langsung pada kehidupan kaum miskin, dan bahwa kepedulian terhadap bumi harus seiring sejalan dengan perjuangan melawan ketimpangan sosial.
Sekolah-sekolah Katolik diajak untuk membuka mata siswa terhadap keterkaitan ini, serta mendorong aksi nyata yang menumbuhkan solidaritas global demi terciptanya bumi manusia yang lebih adil dan beradab.
Melalui pendidikan ekologis, Paus Fransiskus mengajak semua pihak untuk membentuk generasi baru yang mampu merancang masa depan secara berbeda—bukan berdasarkan keserakahan, melainkan pada cinta, tanggung jawab, dan spiritualitas ekologis.
Bumi manusia baru yang dicita-citakan bukanlah utopia, tetapi mungkin terwujud melalui perubahan budaya dan struktur sosial yang dimulai dari ruang-ruang pendidikan.
Pendidikan yang berakar pada iman dan peduli terhadap bumi menjadi harapan besar Gereja dan dunia untuk menciptakan masa depan yang berkelanjutan, damai, dan penuh kasih.
Ekoliterasi
Ekoliterasi, atau literasi ekologi, merujuk pada kemampuan untuk memahami prinsip-prinsip dasar ekosistem dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari untuk menciptakan keberlanjutan.
Di tengah krisis planet yang ditandai oleh perubahan iklim, kepunahan spesies, pencemaran, dan eksploitasi sumber daya alam, ekoliterasi menjadi fondasi penting untuk menciptakan kesadaran kolektif.
Dengan pemahaman yang mendalam tentang keterkaitan antar makhluk hidup dan lingkungan, masyarakat dapat mengambil keputusan yang lebih bijak dalam menjaga bumi sebagai satu-satunya rumah bersama.
Dalam konteks ini, ekopedagogi holistik muncul sebagai pendekatan pendidikan yang menyeluruh, menekankan hubungan antara manusia, alam, dan sistem sosial.
Berbeda dengan pendidikan konvensional yang cenderung terfokus pada pencapaian akademik, ekopedagogi holistik mengajarkan nilai-nilai empati terhadap alam, keadilan sosial, dan tanggung jawab ekologis.
Pendekatan ini menumbuhkan kesadaran kritis siswa terhadap dampak gaya hidup modern dan membuka ruang untuk mengevaluasi serta mengubah pola pikir dan tindakan yang merusak lingkungan.
Gerakan ekopedagogi holistik juga mendorong transformasi budaya melalui integrasi nilai-nilai lokal dan pengetahuan tradisional yang selama ini terbukti selaras dengan alam.
Pendidikan yang mengangkat kearifan lokal mampu membangun hubungan emosional yang kuat antara manusia dan lingkungannya.
Misalnya, praktik pertanian organik tradisional atau ritual penghormatan terhadap alam dalam budaya lokal bisa menjadi sumber inspirasi untuk solusi berkelanjutan yang kontekstual dan relevan.
Lebih jauh, ekoliterasi yang dipupuk melalui ekopedagogi holistik bukan hanya menyasar anak-anak di sekolah, tapi juga melibatkan komunitas luas, termasuk orang dewasa, pengambil kebijakan, dan pelaku industri.
Kesadaran kolektif ini penting untuk menciptakan perubahan sistemik yang berdampak besar.
Kolaborasi lintas sektor menjadi kunci, di mana pendidikan memainkan peran sebagai penggerak transformasi sosial dan ekologis menuju masa depan yang berkelanjutan.
Untuk menjawab krisis planet yang semakin kompleks, kita tidak cukup hanya dengan solusi teknologis, tetapi juga membutuhkan perubahan cara berpikir dan hidup manusia.
Ekoliterasi melalui ekopedagogi holistik mengajak kita kembali memahami bahwa manusia adalah bagian dari jaringan kehidupan yang saling terhubung.
Dengan mengembangkan kesadaran ekologis yang mendalam dan sikap etis terhadap alam, kita dapat merancang masa depan yang lebih adil, lestari, dan penuh harapan.
Langit dan Bumi Baru
Langit dan bumi baru merupakan metafora transformasional yang mencerminkan harapan akan terciptanya tatanan kehidupan yang lebih adil, lestari, dan harmonis antara manusia dan alam.
Dalam konteks gerakan ekopedagogi holistik integral, gagasan ini tidak sekadar simbolis, tetapi menjadi arah perubahan konkret dalam kesadaran dan tindakan kolektif.
Tujuh indikator langit dan bumi baru dapat dipahami sebagai tolok ukur keberhasilan upaya transformatif dalam menjawab krisis ekologis dan kemanusiaan secara menyeluruh.
Indikator pertama adalah kesadaran ekologis yang mendalam, di mana individu dan komunitas menyadari bahwa kehidupan manusia tidak terpisah dari alam.
Kesadaran ini melampaui pengetahuan teoretis dan menumbuhkan keterikatan emosional dan spiritual terhadap bumi sebagai rumah bersama.
Kesadaran semacam ini mendorong perubahan gaya hidup yang lebih selaras dengan prinsip keberlanjutan, seperti konsumsi bijak, penghargaan terhadap keanekaragaman hayati, dan pengurangan jejak ekologis.
Indikator kedua adalah keadilan sosial-ekologis, yakni terciptanya relasi sosial yang adil dalam pengelolaan sumber daya alam.
Ekopedagogi holistik integral menuntut
pengakuan dan perlindungan terhadap kelompok rentan, masyarakat adat, dan generasi mendatang.
Hal ini berkaitan erat dengan indikator ketiga, yaitu demokratisasi pengetahuan, di mana pendidikan inklusif membuka ruang dialog antara ilmu modern dan kearifan lokal, serta membongkar struktur pendidikan yang hegemonik dan eksploitatif.
Indikator keempat adalah ekonomi yang regeneratif dan relasional, yang menggantikan sistem ekonomi eksploitatif dengan sistem yang memperkuat keseimbangan ekologi dan solidaritas antar manusia.
Ini berpadu dengan indikator kelima, yakni budaya kepedulian dan spiritualitas ekologis, di mana nilai-nilai kasih, pengorbanan, dan kesadaran transenden terhadap kehidupan menjadi pondasi tindakan.
Budaya ini mengajak kita memuliakan bumi bukan hanya sebagai sumber daya, tetapi sebagai entitas hidup yang patut dihormati.
Akhirnya, dua indikator penutup adalah rekonstruksi sistem pendidikan yang holistik dan transformatif, serta keterlibatan aktif komunitas global dalam aksi kolektif.
Pendidikan tidak lagi hanya bertujuan mencetak tenaga kerja, melainkan menciptakan warga dunia yang kritis, peduli, dan berdaya untuk menjaga planet ini.
Langit dan bumi baru menjadi kenyataan saat manusia hidup dalam kesadaran integral—spiritual, ekologis, sosial, dan kultural—sehingga seluruh makhluk dapat berkembang dalam harmoni. Inilah arah sejati dari gerakan ekopedagogi holistik integral.