Jakarta, Vox NTT – Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyampaikan keraguannya atas pembentukan tim investigasi proyek panas bumi (geotermal) oleh Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Melkiades Laka Lena.
Mereka menilai langkah tersebut hanya bersifat demokratis yang berpotensi membajak aspirasi masyarakat serta suara kritis Gereja.
Koordinator Jatam, Melky Nahar mengatakan, tim investigasi yang diklaim akan menghimpun fakta dari berbagai pihak sejatinya tidak menyentuh akar persoalan. Menurutnya, forum ini justru menjadi mekanisme partisipasi semu yang dimanfaatkan untuk melegitimasi keberlanjutan proyek geotermal di Flores dan Lembata.
“Dalam skema ini, keterlibatan tokoh-tokoh masyarakat digunakan untuk menghalalkan kebijakan yang arah utamanya sudah ditentukan: mempertahankan dan memperluas proyek geotermal,” kata Melky dalam keterangannya yang diterima VoxNtt.com, pada Senin, 28 April 2025.
Proyek geotermal di NTT selama ini mendapat penolakan luas dari masyarakat adat dan Gereja Katolik, khususnya di Flores dan Lembata.
Penolakan itu ditegaskan melalui surat pastoral enam Uskup dari Provinsi Gerejawi Ende pada Maret 2025. Para Uskup menilai proyek tersebut mengancam kelestarian lingkungan dan mencederai keadilan sosial bagi masyarakat lokal.
Jatam menilai pembentukan tim investigasi ini sebagai bentuk pengalihan isu dan pelanggengan pola lama. Alih-alih menghentikan proyek yang bermasalah sejak awal, pemerintah justru mendorong skema teknokratis yang mengabaikan suara rakyat.
Melky menyebut bahwa sejak awal proses perizinan proyek geotermal dilakukan tanpa transparansi dan melibatkan praktik manipulatif.
“Gubernur tidak memiliki kewenangan substantif untuk mencabut izin eksplorasi maupun eksploitasi karena semuanya dikeluarkan oleh pemerintah pusat,” katanya.
Dengan kondisi tersebut, Jatam menyangsikan efektivitas dan integritas tim investigasi yang dibentuk. Bahkan jika ditemukan pelanggaran, tidak ada jaminan bahwa proyek tersebut akan dihentikan.
“Yang terjadi justru pola lama: hentikan sementara, lalu aktifkan kembali,” ujar Melky, merujuk pada kasus serupa di Mandailing Natal, Sumatera Utara, yang berakhir dengan jatuhnya korban jiwa.
Jatam memuji sikap Keuskupan Agung Ende dan elemen masyarakat yang menolak terlibat dalam forum-forum buatan pemerintah.
Menurut Melky, langkah ini merupakan bentuk integritas untuk menjaga gerakan rakyat dari kooptasi kekuasaan.
“Ini adalah bentuk keberanian untuk menjaga jarak dari manipulasi politik dan menegaskan bahwa perjuangan rakyat tidak tunduk pada desain kekuasaan yang abai terhadap hak asasi dan kelestarian lingkungan,” ujarnya.
Sebagai respons, Jatam menyerukan kepada seluruh masyarakat sipil, komunitas basis, dan jaringan gerakan rakyat di NTT untuk menolak terlibat dalam forum partisipasi kosmetik dan konsisten memperjuangkan hak atas ruang hidup.
“Karena masa depan ruang hidup kita tidak boleh ditentukan sepihak oleh kekuasaan yang hanya berpihak pada korporasi,” tutup Melky. [VoN]