Oleh: Fortunatus Hamsah Manah
Muara Teweh masih diselimuti kabut pagi saat Emanuel duduk di sudut warung kopi kecil yang menjadi saksi perjalanan komunitas yang ia cintai: Toto Kopi atau komunitas orang muda yang gandrung akan perubahan demokrasi di daerah mereka, Kabupaten Barito Utara.
Warung sederhana dengan meja-meja kayu yang mulai usang dan dinding yang dihiasi poster-poster usang bertuliskan “Tolak Politik Uang”, “Politik Uang itu Akar Korupsi” itu bukan sekadar tempat singgah; ia adalah ruang tumbuh bagi gagasan, harapan, dan keberanian.
Emanuel menggagas komunitas ini bersama Dika, Nanet, Sari, Gerlin, dan beberapa teman alumni Sekolah Kader Pengawasan Partisipatif yang digagas bersama Bawaslu di daerah mereka.
Di atas meja, secangkir kopi hitam mengepul, menggiring pikirannya pada rencana diskusi sore nanti. Usianya baru 22 tahun, tetapi semangatnya mengalahkan mereka yang dua kali lebih tua.
Ia tahu, perubahan tak datang dari kemarahan atau keluhan semata, melainkan dari kerja kecil yang konsisten dan menyala.
Dika datang lebih dulu. Ia membawa buku catatan penuh coretan, wajahnya bersemangat seperti biasa.
“Em, aku sudah rancang rundown buat sore nanti. Tapi kita perlu cara baru. Anak-anak sekarang cepat bosan,” katanya sambil menarik kursi.
Emanuel mengangguk. “Diskusi kita butuh lebih dari sekadar informasi. Kita perlu sentuh hati mereka. Tunjukkan bahwa politik bukan dunia yang jauh, tapi sesuatu yang menentukan harga beras dan masa depan kita dan juga anak-anak kita nantinya.”
Beberapa saat kemudian, Nanet, Sari, dan Gerlin datang menyusul. Mereka membawa berbagai perlengkapan diskusi: flyer, spanduk kecil, dan tentu saja kopi untuk persiapan malam panjang.
“Bayangkan, teman-teman,” kata Nanet setelah mereka duduk, “berapa banyak dari kita yang menganggap suara kita tak bermakna? Padahal, ketidakpedulian itulah yang menciptakan ruang bagi politik uang, bagi kekuasaan yang tak berpihak.”
Sari menimpali, “Kita hidup dalam budaya yang terlalu lama digiring untuk percaya bahwa politik itu kotor. Saat kita acuh tak acuh, yah, politik cenderung kotor. Kita lupa bahwa politik adalah alat. Siapa yang memegangnya, itu yang menentukan bentuknya—bisa jadi pisau, bisa jadi pelita.”
Gerlin mengaduk tehnya pelan. Ia lebih pendiam di antara mereka, tetapi ketika bicara, kata-katanya mengalir dalam dan tegas. “Aku pernah bertanya ke adikku: ‘Kenapa kamu tidak mau ikut memilih?’ Dia pun menjawab, ‘Karena siapa pun yang menang, hidupku tetap susah.’ Saat itu, aku sadar, kita bukan cuma butuh edukasi. Kita butuh menyentuh harapan mereka yang sudah hilang bahkan mati.”
Obrolan mereka sejenak hening. Masing-masing tenggelam dalam pergulatan yang berkecamuk dalam hati dan pikiran mereka tentang viralnya pemberitaan Kompas.com berjudul,”MK Diskualifikasi Semua Paslon Pilkada Barito Utara akibat Politik Uang”.
Emanuel menatap keluar jendela, kabut sudah mulai mengangkat. Sinar matahari menerobos masuk perlahan, seolah membuka hari baru.
“Kalau begitu,” kata Emanuel pelan, “kita tidak hanya harus hadir dengan argumen. Kita harus hadir dengan hati yang terbuka.
Dengan telinga yang rela mendengarkan keluh kesah teman-teman muda kita. Dengarkan dulu apa yang mereka takutkan, apa yang mereka alami, baru kita ajak bicara.”
Sore pun datang. Warung kopi mereka mulai dipenuhi anak-anak muda dari sekitar Muara Teweh. Beberapa wajah tampak penasaran, sebagian canggung, dan ada pula yang datang karena diajak temannya. Di antara keramaian itu, Emanuel berdiri dan membuka diskusi dengan suara yang tenang namun penuh daya.
“Menurut kalian, suara kita di pilkada itu penting atau tidak?”
Seorang remaja bernama Doni mengangkat bahu. “Jujur, Kak, saya rasa tidak terlalu berpengaruh. Siapa pun yang terpilih, hidup kita tetap begini-begini saja.”
Suasana sedikit hening. Emanuel tidak langsung menjawab. Ia mengambil cangkir kopinya, menyeruput perlahan, lalu menatap Doni sambil tersenyum.
“Doni, coba bayangkan kalau pemimpin yang terpilih tidak peduli dengan pendidikan. Apa yang akan terjadi?”
Doni berpikir sejenak. “Mungkin… sekolah makin mahal kak?”
“Betul,” Emanuel mengangguk. “Atau kalau pemimpin yang menang mendukung eksploitasi alam tanpa batas, apakah Barito Utara akan tetap hijau dan sejuk seperti sekarang, iya kan?”
Wajah-wajah muda yang hadir pun mulai berubah. Sorot mata mereka tak lagi ragu. Dika lalu melanjutkan dengan menjelaskan bagaimana anggaran daerah bisa digunakan dengan bijak—atau disalahgunakan—bergantung pada siapa yang duduk di kursi pengambil keputusan.
“Kita sering merasa kecil,” kata Dika. “Tapi suara kita bisa mengubah daerah kita. Satu suara bisa menentukan arah kebijakan yang berdampak langsung ke kehidupan kita sehari-hari.”
Nanet pun menimpali, “Pilkada bukan hanya tentang memilih lima tahun sekali. Pilkada itu wujud nyata dari sistem demokrasi kita”. “Demokrasi”, kata Nanet melanjutkan, “juga soal bagaimana kita mengawal janji-janji para pemimpin kita setelahnya.
Di sinilah peran kita sebagai warga: menjadi pengawas, bukan sekedar penonton.”
Diskusi pun berlangsung semakin hangat. Tak ada tekanan, tak ada ceramah. Hanya obrolan santai di bawah cahaya lampu warung dan aroma kopi yang menenangkan. Malam itu, Toto Kopi bukan hanya tempat bertukar pikiran. Ia menjelma jadi ruang belajar, tempat banyak hati muda kembali percaya bahwa mereka memiliki peran.
Menjelang Pemungutan Suara Ulang 2025 pasca putusan Mahkamah Konstitusi, komunitas ini semakin aktif.
Mereka membuat konten edukatif di media sosial, kampanye tolak politik uang, kampanye anti-hoaks, turun ke desa-desa memberi pelatihan tentang pengawasan partisipatif.
Emanuel bahkan menginap dari satu dusun ke dusun lain, membangun jejaring pengawas muda yang independen.
Hari pemungutan suara tiba. Emanuel berdiri di salah satu TPS dengan rompi pengawas partisipatif. Ia melihat wajah-wajah muda yang dulu hadir dalam diskusi, kini mencoblos dengan kepala tegak.
Ia tahu, perubahan tidak selalu datang dengan gegap gempita. Tapi hari itu, sebuah langkah kecil telah diambil bersama.
Setelah pilkada usai, Toto Kopi tak berhenti. “Ini bukan akhir,” kata Gerlin saat mereka evaluasi kegiatan.
“Justru ini awal dari perjuangan yang lebih berat,” timpal Sari. “Sekarang, kita harus awasi janji. Kita harus terus bersuara.”
Suatu malam, saat Emanuel duduk di sudut warung kopi yang dibangun bersama komunitasnya itu—tempat favoritnya merenung—seorang pemuda menghampiri. Ia tampak ragu, lalu membuka suara.
“Kak, terima kasih. Karena Toto Kopi, saya sadar suara saya berarti. Saya ingin ikut bergerak bersama kakak.”
Emanuel mempersilakan dia duduk. Ia menyodorkan secangkir kopi. “Selamat datang. Perubahan bukan milik satu orang. Ini milik kita Bersama,” ujar Emanuel sumringah.
Ia menatap cangkir kopinya, menggenggamnya erat-erat dan menyeruput kopi itu dengan nikmat. Di dalam kehangatan itu, ia melihat cahaya—cahaya kecil yang kini menjalar dari satu hati ke hati lain, dan cahaya perubahan itu bernyala di balik secangkir kopi.
Tinggalkan Balasan