Oleh: Yoseph Yoneta Motong Wuwur
Penyuluh Pertanian di Kabupaten Lembata
Indonesia memperingati Hari buku Nasional pada tanggal 17 Mei. Keputusan 17 Mei ditetapkan sebagai Hari buku nasional bertepatan dengan pembangunan perpustakaan nasional.
Sebagai “jendela dunia” buku menyajikan fakta-fakta dan informasi yang dapat diperoleh melalui kegiatan membaca. Meskipun begitu, tak dapat dipungkiri bahwa peranan buku sebagai sumber informasi mulai dilupakan oleh banyak orang.
Keberadaan media sosial juga menjadikan buku kerap dinomorduakan. Tidak sedikit pula yang lebih memilih mencari informasi di mesin pencari seperti Google agar lebih cepat dan praktis.
Adanya hari Buku Nasional ini tentunya menjadi ruang dan waktu untuk mrefleksikan betapa pentingnya buku dan juga betapa pentingnya perpustakaan sebagai sarana dan media untuk memperoleh informasi.
Sudah berapa banyak buku yang kita baca selama ini? seberapa penting membaca buku? Rendahnya minat membaca buku tentu memberi dampak buruk bagi generasi mudah bangsa ini dan juga kualitas pendidikan di Indonesia.
Untuk itu setidaknya dapat meluangkan waktu untuk membaca. Dengan membaca, pembaca dapat mengisi kepalanya dengan berbagai macam informasi baru yang selama ini belum diketahui.
Seperti yang diungkapkan seorang negarawan Romawi kuno Marcus Tullius Cicero “ life without book is like body without soul (kehidupan tanpa buku bagai tubuh tanpa jiwa)”, peranan buku bukanlah hal yang bisa dianggap sepele. Keberadaan buku di muka bumi inilah yang membantu manusia menemukan segala sesuatu informasi dari apa yang belum pernah dilakukannya, belum pernah dikunjunginya, belum pernah dilihatnya, atau juga apa belum pernah dirasakannya.
Dengan buku manusia tidak perlu benar-benar terlibat pada masa lalu, tapi tetap bisa mendapatkan ilustrasi tentang sejarah yang pernah ada dan tidak bisa terhapuskan. Serupa pula dengan pameo yang mengatakan “verba valet, scripta manent”.
Pameo tersebut mengandung pengertian bahwa lisan atau ucapan bisa saja hilang begitu saja, namun tulisan/buku tetap ada sepanjang masa. Itulah kenyataan yang terjadi pada kehebatan sebuah buku. Tanpa buku, suatu pengetahuan tidak akan pernah terwariskan pada generasi selanjutnya.
Dewasa ini, tidak banyak kutu-kutu buku yang memenuhi perpustakaan atau duduk di taman kota dengan buku-buku yang terbuka di hadapannya. Perpustakaan menjadi sepi pengunjung kalaupun ada, keberadaan mereka minoritas. Apalagi ketiadaan sarana yang mendukung kegiatan membaca dengan baik. Negeri ini memang memiliki perpustakaan.
Bahkan setiap kota memiliki lebih dari satu perpustakaan. Tapi jangan ditanya bagaimana isinya! Bisa dibilang tidak lengkap! Hanya bangunan besar semi klasik yang deretan rak-raknya kebanyakan kosong dan tidak tertata dengan baik.
Kalau pun penuh, bisa dipastikan bahwa buku-buku dari beberapa jenis buku dengan judul yang sama agar terlihat memenuhi rak. Hal yang memicu rendahnya minat masyarakat terhadap buku adalah kemajuan teknologi dunia datar.
Dunia memang bulat tetapi manusia menciptakan suatu dunia baru yang semakin datar. Dalam bukunya “ The world is Flat” Thomas Friedman memberi analisis bahwa manusia telah menyusutkan dunia dalam format yang lebih kecil dan cendrung mendatar.
Manusia telah membangun tatanan dunia datar yang ditandai dengan konektivitas dan penyatuan antar manusia sejagat dengan koneksi yang lebih mudah cepat dan luas. Jatung dunia datar adalah teknologi berbasis internet.
Dengan kemajuan teknologi digital perpustakaan menjadi sepi pengunjung karena orng lebih senang mengakses ebook di langsung dari laptop atau ponsel androidnya ketimbang harus pergi ke perpustakaan. Dengan mengkases ebook melalui sarana internet orang tidak perlu membuang banyak waktu, tenaga dan pikiran.
Dengan kemajuan teknologi digital dan dengan hadirnya internet menjadikan orang lebih asyik berselancar di dunia maya dalam mencari informasi daripada mengupas informasi melalui buku.
Zaman sekarang menemukan kutu buku memang sulit. Generasi saat ini lebih suka mengkases internet dengan dan membaca blog-blog yang boleh jadi keakuratan sumbernya dapat dipertanyaakan. Apalagi sekarang-sekarang ini sebagian besar buku telah diformat dalam bentuk e-book.
Tentu semakin sedikit orang yang memerlukan buku dan memadati perpustakaan. Memang internet mempermudah akses informasi, tapi sisi buruknya membuat orang lebih senang cara instan, membaca sekilas, dan bahkan memplagiasi/membajak seenaknya. Tentu berbeda dari mereka yang lebih gemar membaca melalui buku. Pengilhaman ilmunya bisa dikatakan akurat dan bertahan lama daripada membaca melalui situs-situs informasi yang terkadang telah “didaur ulang”tanpa sumber yang jelas.
Hal ini mrupakan dampak dari suatu peradapan manusia dan memang tak dapat dipungkiri. Dengan hadirnya internet perpustakaan pun harus mampu membenah diri misalnya dengan menyediakan sarana dan prasarana yang aman bagi para pengunjung atau dengan menyadiakan buku-buku baru, kebanyakan perpustakaan menjadi perpustakaan tua dengan koleksi buku-buku tua. Dan hal ini menjadi tanggung jawab semua pihak agar perpustaan tidak sepih dari pengunjung.
Jika kembali kepada esensi dari perayaan Hari Buku Nasional, yaitu sebagai bentuk penghargaan antara penulis, penerbit, distributor, organisasi perbukuan, serta komunitas dan masyarakat umum. Semuanya bekerja sama untuk mempromosikan buku dan literasi, serta meningkatkan nilai–nilai sosial budaya kemanusiaan.
Indonesia yang memiliki minat baca tersebut masih mengeluhkan soal harga-harga buku yang mahal. Namun dampak dari buku adalah menciptakan dan menjadikan manusia menadi kaum intelektual yang bernas isi otak mereka.
Pemerintah sebagai garda depan misi pembudayaan minat baca, didukung oleh sekolah-sekolah, pendidik, komunitas, organisasi. Sementara regulasi pemerintah pun sudah semestinya menggandeng industri penerbitan buku, dan distributor sebagai sayap samping yang ikut melahirkan sebuah negara yang ramah buku.
Ada satu hal yang kita tidak boleh luput, yaitu pembudayaan minat baca di skala keluarga atau basis rumahan. Jika hari kemarin, yang bertepatan dengan Hari Buku Sedunia, negara kita masih senyap, kelak, dengan sinergitas, optimisme, dan konsistensi semua komponen, tak mustahil kita pun bisa ikut riuh dalam perayaan tersebut.
Jadi, daripada sinis dengan fakta-fakta lesunya minat baca, lebih baik mulai ambil bagian dalam revolusi budaya baca. Oleh karena itu, marilah bersama-sama saling menghimbau dan membudayakan kegiatan membaca dan menulis.
Satu tulisan yang bermanfaat menjadi ilmu bagi ribuan orang yang membacanya. Dan dari kegiatan membaca, ribuan ilmu bisa digenerasikan. Tak ada salahnya menyisihkan sedikit penghasilan untuk membeli satu buku setiap bulannya. Semakin banyak yang kita baca dan kita tulis, semakin banyak pula ilmu yang menjejal otak kita. Semakin cerdas bangsanya, semakin maju pula peradabannya. Selamat merayakan hari buku Nasional.***