Efrem Dianto, M. Th
Bekerja di Dinas Sosial Kabupaten Manggarai Timur
Kisruh sosial politik bangsa Indonesia akhir-akhir ini menyedot perhatian publik, baik di tingkat nasional maupun internasional. Betapa tidak, sejak bergulirnya sidang dugaan penistaan agama atas Basuki Cahaya Purnama (Ahok), Pembacaan Amar Putusan Ahok dan penetapan Habib Rizieq sebagai tersangka kasus chat sex, kebhinekaan menjadi goyah.
Semboyan Bhineka Tunggal Ika terancam runtuh. Berbagai ormas dan elemen masyarakat di seanterno Nusantara masing-masing ‘pasang badan’ untuk satu tujuan ‘save NKRI’. Bahkan berita ‘hoax-pun’ dijadikan sebagai kebenaran untuk tujuan tersebut.
Namun, cara untuk mencapai tujuan itulah yang menggiring publik pada sebuah perpecahan. Mungkinkah keringat, air mata dan pertumpahan darah Founding Father dan para pahlawan bangsa mesti dibayar dengan persepsi perpecahan yang digulirkan sekelompok orang? Inikah yang disebut sebagai negara demokrasi?
Di tengah kisruh bangsa yang memprihatinkan, Presiden Jokowi hadir dengan pernyataan yang mengguggah nurani anak bangsa sebelum peringatan Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017.
Video yang diunggah ke berbagai media sosial berdurasi 43 detik ini menjadi viral pada beberapa munggu terakhir. Jokowi dengan lantang memproklamirkan Pancasila sebagai jiwa dan raga kita sebagai bangsa Indonesia.
“Pancasila itu adalah jiwa dan raga kita. Ada di aliran darah dan detak jantung kita. Berkat keutuhan bangsa dan negara. Saya jokowi, saya indonesia, saya pancasila”.
Pernyataan yang mengundang banyak komentar dan perdebatan ini sesungguhnya hendak mengembalikan roh dari pancasila sebagai dasar negara. Roh yang menuntun perjalanan bangsa dan bukan menjadi biang perpecahan.
Pancasila Sebagai Jiwa Dan Raga
Pancasila merupakan asas, cara pandang dan cara hidup (way of life) yang ada dan dimiliki oleh Bangsa Indonesia. Pancasila sebagai roh atau jiwa yang memberi seluruh nilai kebenaran untuk dihidupi oleh seluruh komponen bangsa.
Founding Father merumuskan sila-sila Pancasila bukan ‘asal jadi’, akan tetapi lahir dari situasi bangsa. Tujuan utama dirumuskannya Pancasila adalah sebagai dasar negara RI.
Hal ini sesuai dengan dasar yuridis sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Di sini Pancasila merupakan suatu dasar nilai serta norma untuk mengatur pemerintahan negara atau dengan kata lain Pancasila menjadi suatu dasar untuk mengatur penyelenggaraan negara.
Soekarno memandang Pancasila sebagai philolosofiche grondslag yang menjadi fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa hasrat untuk diatasnya didirikan gedung Indonesia merdeka (Wawan T. Alam, 2003, 178).
Itu berarti Pancasila sebagai prinsip yang harus ada dan dijalankan oleh seluruh rakyuat Indonesia. Ideologi Pancasila yang digagaskan Founding Father merumuskan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Merawat Kebhinekaan
Situasi bangsa Indonesia akhir-akhir ini menggiring kita semua kepada sebuah kesadaran bahwa membangun dan merawat kebhinekaan di tengah heterogenitas tidak semudah membolakbalikan telapak tangan.
Kebhinekaan menjadi berat untuk dijalankan ketika disusupi oleh kepentingan tertentu. Dia akan menjadi bumerang keutuhan. Ketika kepentingan mengalahkan keutuhan, maka yang muncul adalah perpecahan. Untuk menjawabi kebhinekaan ini, nilai-nilai yang terkandung dalam lima sila, khususnya sila ketiga menjadi landasan dan titik pijak mengembalikan keutuhan bangsa.
Sila ketiga Pancasila secara nyata mendeskripsikan tentang nilai persatuan, kebhinekaan dan kesamaan. Persatuan Indonesia menggambarkan nilai kebangsaan yang universal. Ideologi kebangsaan yang termuat dalam lima sila pancasila lahir dari sebuah refleksi yang panjang founding father bangsa Indonesia.
Situasi perpecahan karena terjadinya perang yang berkepanjangan, rakyat menjadi terpecah belah. Atas dasar itulah, Soekarno secara lantang memproklamirkan tentang persatuan dan kesatuan bangsa, bukan hanya untuk melawan musuh dari luar, akan tetapi lebih pada kesamaan visi bangsa dan negara demi terjaganya NKRI.
Soekarno sebagai penggaggas lahirnya Pancasila, menjabarkan konsep kebangsaa ini dari pemikiran Ernest Rennan dan Otto Bauer.
Kedua tokoh ini yang menginspirasi Soekarno tentang paham kebangsaan dalam asas pancasila. Menurut Otto Bauer, bangsa merupakan suatu persamaan, suatu persatuan karakter, watak yang tumbuh dan lahir serta terjadi karena persatuan pengalaman senasib.
Sementara menurut Ernest Rennan, bangsa merupakan segeromolan manusia yang mempunyai keinginan untuk bersatu dan hidup bersama (H. A. Notosoerdjo, 1965, 175-176).
Soekarno memadukan kedua pemikiran ini dengan konsep geopolitik yang memberi penekanan pada unsur-unsur kehendak untuk bersatu, perangai serta senasib yang sama dan persatuan bangsa dan tanah air. Sila ini kemudian diamandemenkan dalam sebuah konstitusi negara sebagai Persatuan Indonesia.
Sila ketiga Pancasila merupakan tuntutan dasariah bangsa Indonesia untuk mengenal, mencintai, menghormati dan mempertahankan NKRI sebagai bangsa dan tanah air dalam keadaan bersatu dan membela persatuan itu sambil tidak merendahkan bangsa lain.
Warna dasar terciptanya bangsa yang utuh adalah semangat persatuan dan kesatuan. Sila ini menjiwai seluruh tatanan kehidupan rakyat indonesia dalam mencintai tanah airnya. Untuk membangun perasaan cinta akan bangsa dan tanah air, maka perlu adanya sebuah kesadaran individual dan kolektif untuk membangun dan merawat kebhinekaan.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang pluralistik. Pluralitas kebangsaan itu dapat dipandang dari sudur rasial, geografis, ekonomis, linguistik, agama, sosial bduaya serta ekologis.
Identitas keberagaman ini, tidak mesti menjadi pemicu lahirnya perpecahan, justru dia menjadi ‘tali pengikat’ untuk persatuan dan kesatuan. Hal ini ditegaskan oleh Soekarno yang melihat persatuan dan kesatuan sebagai epoche (keutuan dalam keseluruhan).
Bangsa Indonesia mesti membangun semangat persatuan dan kesatuan. Soekarno dalam Pidato Pembukaan Konggres Raya II menggambarkan secara jelas konsepnya tentang persatuan, “suatu bangsa tidak dapat bersatu layaknya pasir yang muda tersebar oleh hembusan angin. Tetapi kalau pasir bersatu, dipadatkan dengan semen, ia bisa menjadi beton yang kuat, beton tekad Nasional, yang melahirkan tindakan-tindakan nasional”, (St. Sutarto, 2001, 152).
Dengan demikian semangat persatuan dan kesatuan mesti menjadi bangian integral dari perasaan kebangsaan segenap rakyat Indonesia.
Keberagamaan bangsa bukan menjadi tameng untuk sebuah perpecahan, akan tetapi dia menjadi pion untuk membangun semangat kebhinekaan. Perlunya menciptakan situasi kondusif agar perasaan kebangsaan tidak dimanipulasi, dipolitisir, namun tetap eksis dalam kehidupan polis.
Hal ini terwujud apabila seluruh masyarakat merasa dihormati sebagai manusia dan diperlakukan secara adil dan beradab; apabila religiositas orang Indonesia dihormati; apabila rakyat diikutsertakan dalam mewujudkan demokrasi dan ikut bertanggungjawab terhadap gerak maju pembangunan nasional; apabila para pemangku kepentingan tidak menjadikan rakyat sebagai ‘kuda tunggangan’ untuk kepentingan tertentu dan apabila kehidupan masyarakat betul-betul diwarnai dengan asas keadilan dan kesejahteraan. Biarkan rakyat selalu memproklamirkan Saya Indonesia, Saya Pancasila. Selamat Hari Lahir Pancasila.***